Efek Kebijakan ASN DKI Jakarta WFH Masih Belum Terlihat
Penerapan kebijakan bekerja dari rumah bagi 50 persen aparatur sipil negara di Jakarta belum mampu mengurai kemacetan dan polusi udara. Pada Senin (21/8/2023), baru 13 persen dari 50 persen ASN yang bekerja dari rumah.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan sistem kebijakan bekerja dari rumah atau work from home bagi 50 persen aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mampu mengurai kemacetan dan menurunkan tingkat polusi udara. Beberapa ahli menganggap kebijakan tersebut bukan sebuah solusi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut, pada Senin (21/8/2023), baru 13 persen dari 50 persen ASN yang bekerja dari rumah.
Memasuki hari kedua penerapan work from home (WFH) bagi aparatur sipil negara di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, kualitas udara di Ibu Kota masih masuk kategori tidak sehat. Kondisi langit Jakarta juga terpantau masih diselimuti kabut polusi.
Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir, Selasa (22/8/2023) pukul 10.00 WIB, Jakarta mencatatkan konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM 2,5) sebesar 84,3 mikrogram per meter kubik. Pada waktu tersebut, Indeks Kualitas Udara (AQI) di Ibu Kota tercatat berada pada angka 166. Bahkan, Indonesia menempati peringkat ketiga kota dengan polusi udara terburuk di dunia.
Selain itu, kemacetan juga masih terjadi di sejumlah titik Jakarta pada Selasa (22/8/2023). Daerah yang masih terjadi kemacetan antara lain sepanjang Jalan Jenderal Sudirman di Jakarta Pusat, Jalan Gatot Subroto di Jakarta Selatan, Jalan Mampang Prapatan Raya di Jakarta Selatan, serta Jalan KH Mas Mansyur di Jakarta Pusat.
Seorang karyawan asal Jakarta Selatan yang sedang menunggu angkutan umum, Nirmala Ayunina (34), mengatakan, pemerintah harus promosi penggunaan transportasi umum dalam mengatasi masalah polusi udara, khususnya di wilayah Jabodetabek. Menurut dia, kebijakan pemberlakuan WFH bagi ASN DKI Jakarta demi mengurangi polusi udara dan kemacetan harus dibarengi dengan berbagai pendekatan lain.
”Pemerintah perlu meminimalisasi pergerakan kendaraan bermotor yang menjadi penyumbang gas karbon terbanyak melalui pembatasan kendaraan bermotor. Penyediaan transportasi umum, seperti KRL, Transjakarta, LRT, ataupun MRT, juga perlu ditambah,” kata Nirmala.
Warga Jakarta Timur, Wira Yuda Perdana (29), juga menilai penerapan kebijakan WFH bagi 50 persen ASN tidak akan efektif. Sebab, Jakarta memiliki banyak penduduk. Terlebih, banyak karyawan yang merupakan warga dari luar kota, seperti dari Bodetabek.
Menurut Yuda, akar masalah pencemaran udara di Jakarta adalah adanya jutaan kendaraan bermotor yang masih menggunakan bahan bakar berkualitas rendah. Sebab itu, pemerintah harus membenahi kualitas bahan bakar kendaraan bermotor terlebih dahulu.
Baru 13 persen
Diketahui, sejumlah ASN di DKI Jakarta mulai melakukan uji coba bekerja dari rumah atau WFH sejak Senin (21/8/2023) untuk mengurangi paparan polusi udara dan kemacetan Jakarta. Namun, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyebut baru 13 persen ASN yang menerapkan kebijakan 50 persen bekerja dari rumah.
Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta Etty Agustijani mengatakan, ASN Pemprov DKI Jakarta terdiri dari PNS 51.714 orang dan PPPK 6.395 orang. Dari jumlah tersebut, ASN yang tidak melakukan pelayanan secara langsung dan diinstruksikan untuk WFH sejumlah 15.335 orang.
”Baru sekitar 2.000 ASN yang menerapkan WFH pada Senin kemarin,” kata Etty.
Menurut Etty, hal tersebut lantaran surat edaran terkait WFH baru diterbitkan sehingga ada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang belum membuat jadwal mengenai penerapan kebijakan WFH. Meskipun demikian, ia mengatakan telah melakukan sosialisasi kebijakan 50 persen WFH ini kepada para ASN dan mendorong mereka untuk mematuhi kebijakan tersebut.
”Ada SKPD belum bikin jadwal siapa-siapa yang harus WFH. Kalau tidak ada jadwal, yang bersangkutan tidak berani melakukan WFH karena belum ada perintah,” ujar Etty.
Pelaksanaan kebijakan WFH sebesar 50 persen akan terus dipantau agar berjalan lancar. Pemprov DKI Jakarta juga mewajibkan ASN yang bekerja dari rumah tetap mengenakan pakaian dinas, mengisi presensi kehadiran, dan juga melarang ASN untuk mudik selama WFH.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dalam keterangan persnya mengatakan bahwa kebijakan WFH pada 21 Agustus-21 Oktober 2023 akan dievaluasi secara berkala. Jika terdapat ASN yang tidak disiplin, kebijakan WFH bakal dihapus.
”Penerapan WFH dievaluasi secara berkala. Hasilnya dilaporkan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),” kata Heru.
Heru menyebut, dalam penerapan WFH, para atasan pada pukul 10.00, 14.00, dan 16.00 dapat melakukan telepon atau video call untuk memastikan keberadaan para pegawai. Apabila kebijakan WFH tidak efektif atau terdapat ASN yang tidak disiplin, kebijakan akan dikembalikan ke keadaan semula.
Tidak cukup
Para ahli memandang WFH tak serta-merta mengurangi tingkat polusi. Sebab, sumber polusi udara di Ibu Kota bukan hanya bersumber dari transportasi saja, melainkan juga pembangkit listrik, emisi dari industri, dan pembakaran sampah.
Belajar dari PSBB (pembatasan sosial berskala besar) saat pandemi Covid-19. Meski tidak ada mobilisasi, polusi masih saja buruk. (Muhammad Aminullah)
Juru kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Muhammad Aminullah, menilai WFH bisa saja menjadi solusi untuk mengatasi polusi di Jakarta, tapi tentu tidak cukup. Kebijakan bekerja dari rumah tidak cukup untuk mengurangi polusi di Ibu Kota karena sumber polusi bukan hanya dari kendaraan.
”Belajar dari PSBB (pembatasan sosial berskala besar) saat pandemi Covid-19. Meski tidak ada mobilisasi, polusi masih saja buruk,” ujarnya.
Jika tujuan Pemprov DKI melindungi warga dari polusi, kebijakan WFH bagi ASN dinilai kurang tepat. Aminullah berpendapat, perlindungan terhadap warga perlu dilakukan dengan mendahulukan kelompok rentan, bukan asal pilih kelompok masyarakat.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Darmawan Budi Setyanto, juga menyatakan, pemberlakuan kebijakan WFH dengan tujuan mengatasi polusi udara di Jakarta bukan solusi terbaik. Menurut dia, Jakarta harus lebih dulu memperbaiki transportasi umum untuk mengubah kebiasaan warga beralih ke angkutan umum.
Jika kebijakan WFH tidak juga mengubah kualitas udara di Jakarta, kata Darmawan, pemerintah harus melakukan terobosan-terobosan baru dalam menanggulangi masalah polusi udara di Jakarta.