Pasar Baru, Ikon Wisata Jakarta yang Menanti Penataan
Kegiatan ekonomi dan wisata di Pasar Baru, Jakarta Pusat, kian lesu. Kawasan yang juga salah satu ikon Ibu Kota ini nyaris tergerus, habis daya tariknya karena penataan yang tidak menyeluruh.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya pengembangan sarana dan prasarana, serta ketidakjelasan rencana pengembangan kawasan, dinilai membuat kunjungan wisata dan kegiatan ekonomi di kawasan bersejarah Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat, terus menurun. Penataan kawasan yang direncanakan pun kerap tidak terlaksana akibat ketidakjelasan status kepemilikan aset di situs cagar budaya tersebut.
Ditemui di Jakarta, Rabu (16/8/2023) kemarin, Ketua Yayasan Jakarta Weltevreden Toto Irianto menjelaskan, kondisi kawasan yang dulunya ramai didatangi wisatawan ini terus menurun setiap tahunnya. Buruknya infrastruktur, seperti pencahayaan dan ruang pejalan kaki, membuat masyarakat tidak lagi melirik kawasan yang berdiri sejak tahun 1820 tersebut.
Padahal, kawasan Pasar Baru merupakan bagian dari Weltevreden, yang dahulu dibangun sebagai tempat wisata yang besar di era kolonial Belanda.
Menurut dia, kondisi sarana dan prasarana di Pasar Baru kian mengkhawatirkan. Pada malam hari, lampu yang berada di ruas jalan di dalam kawasan itu banyak yang tidak lagi berfungsi. Tidak hanya itu, banyaknya pedagang kaki lima yang mengokupansi trotoar membuat tempat ini semakin semrawut.
Akibat kondisi itu, banyak pedagang yang akhirnya gulung tikar karena usahanya tidak lagi ramai seperti dahulu. Tidak hanya merugikan pengusaha, ia menilai, hal ini juga berpengaruh pada pemasukan ke kas daerah mengingat potensi ekonomi di sana terus meredup. Pihaknya berharap agar pemerintah tidak menutup mata dengan kenyataan di lapangan.
”Pengembangan kawasan ini harus dilihat sebagai suatu hal yang utuh karena berhubungan dengan kawasan Monas, Lapangan Banteng, Istiqlal, Gereja Katedral Jakarta, dan sekarang ada Gedung Filateli, sekarang Posbloc, semakin ramai. Perlu ada tim yang dibentuk untuk mengembangkan kawasan ini secara utuh,” ucap pemimpin yayasan yang bergerak untuk membangkitkan lagi kawasan Pasar Baru.
Pungutan-pungutan liar dan lainnya perlu ditindak oleh pemerintah, atau semua yang berkepentingan di sana perlu duduk bersama agar kawasan ini menjadi nyaman bagi banyak orang.
Menjamurnya parkir liar juga membuat kawasan ini kehilangan daya tariknya. Ditambah, adanya ketidakjelasan mengenai siapa yang berhak mengelola keamanan di daerah tersebut. Hal-hal demikian dinilai membuat pengunjung dan pengusaha di sana menjadi tidak nyaman.
”Yang membayar pajak akhirnya kalah dengan yang tidak membayar pajak, banyak pungutan tidak jelas. Pemerintah bisa mulai mendata dan menindak tegas bila ditemukan hal demikian. Kalau memang sulit, mereka diajak berkolaborasi, diberi seragam, lalu bagi hasil, banyak cara. Pasar Baru punya potensi, dari pembiaran parkir liar saja, pemerintah sudah kehilangan banyak pendapatan,” ujarnya.
Pihaknya menyarankan, pemerintah dapat memulai pengembangan kawasan ini dengan menjadikan tempat ini ramah pejalan kaki. Selain itu, pemerintah dapat memastikan adanya akses integrasi transportasi yang mudah agar kawasan ini mudah dikunjungi. Toto mencontohkan, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, yang kini ramai setelah terhubung dengan berbagai stasiun MRT Jakarta.
Camat Sawah Besar, Jakarta Pusat, Prasetyo menjelaskan, berbagai perencanaan mengenai pengembangan dan revitalisasi Pasar Baru sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 2014, Pemprov DKI Jakarta bersama dengan Ikatan Arsitek Indonesia menggelar sayembara untuk mendesain kawasan ini. Kawasan Pasar Baru, menurut rencana, akan diarahkan menjadi kawasan khusus pejalan kaki saja.
Akan tetapi, rencana penataan dan implementasinya sulit dilakukan karena masih adanya perdebatan mengenai status aset jalan dan bangunan yang ada di sana. Hal ini menyulitkan Pemprov DKI Jakarta untuk secara penuh merevitalisasi kawasan tersebut.
Pihak Yayasan Weltevreden menjelaskan, kepastian hukum mengenai kepemilikan aset seharusnya sudah tidak perlu diberdebatkan. Hal ini karena pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 3048/2000 tentang Penunjukan Pasar Baru dan Sekitarnya Menjadi Kawasan Wisata Belanja Bertaraf Internasional dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 36/2022 tentang Penunjukan Pasar Baru Sebagai Situs Struktur Cagar Budaya.
Selain isu mengenai aset, masih adanya penolakan dari beberapa pengusaha, khususnya terkait pelebaran ruang pejalan kaki, juga masih menjadi masalah. Rencana implementasi tersebut sempat akan dilakukan pada tahun 2020, sekaligus memperingati 200 tahun kawasan Pasar Baru, tetapi urung dilaksanakan akibat pengalihan anggaran daerah ke anggaran penanganan pandemi Covid-19.
”Pemprov belum bisa masuk karena status aset jalan dan lainnya itu masih perlu ditelusuri lagi. Para pengusaha juga harus kompak agar nantinya aturan penataan kawasan, seperti melarang adanya parkir di dalam Pasar Baru, itu bisa diterima,” ucapnya.
Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Chaidir menjelaskan, revitalisasi tidak hanya akan dilakukan secara fisik, tetapi juga secara keseluruhan, khususnya kegiatan yang ada di sana. Ia menyebutkan, kawasan tersebut akan diarahkan menjadi tempat wisata sejarah dan tidak lagi hanya mengandalkan usaha pertekstilan.
Pria yang dulu menjabat sebagai Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta ini juga mengakui, permasalahan parkir liar memang menjadi isu yang perlu dituntaskan bersama dengan asosiasi pedagang dan pihak lain yang berkepentingan di sana. Penindakan yang dilakukan oleh pemerintah dinilai masih belum cukup meredam masalah tersebut.
”Ini secara teknis memang harus dibahas bersama supaya mendapatkan solusi yang tepat. Kawasan ini memang perlu revitalisasi karena terkait dengan Monas, Lapangan Banteng, dan tempat lainnya. Kalau semua terhubung, nantinya bisa menjadi ikon pariwisata Jakarta Pusat. Melihat kondisi infrastruktur di Pasar Baru sekarang, orang pasti mundur,” ucapnya.