Terkait dampak negatif polusi udara dan kemacetan, sebagian kalangan menganggap pemerintah perlu membatasi penggunaan kendaraan bermotor. Namun, opsi ”4 in 1” bakal mengulang kegagalan ”3 in 1” di masa lalu.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Rencana pemerintah untuk mengendalikan polusi udara lewat intervensi dengan membatasi penggunaan kendaraan bermotor mengundang beragam reaksi. Sebagian masyarakat menganggap intervensi diperlukan karena sudah mendesak, tetapi sejumlah kalangan mengingatkan agar pemerintah memperhatikan sejumlah hal terlebih dulu. Opsi pemberlakukan 4 in 1 dinilai tidak akan efektif.
Mobilitas tinggi masyarakat dengan kendaraan tengah menjadi sorotan pemerintah. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2022 terdapat 24,5 juta kendaraan bermotor di Jakarta. Adapun berdasarkan laporan inventarisasi emisi pencemar udara DKI Jakarta tahun 2020, penyumbang emisi terbesar dari sektor transportasi 44 persen, industri energi (33 persen), perumahan (14 persen), manufaktur industri (10 persen), dan kegiatan komersial di gedung (1 persen).
Sorotan ini muncul saat Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas pada Senin (14/8/2023) bersama jajaran menteri kabinet dan sejumlah kepala daerah tentang pengendalian polusi di Jabodetabek. Sejumlah pihak yang hadir menawarkan solusi, seperti pola kerja hibrida, rekayasa lalu lintas 4 in 1, dan uji emisi kendaraan guna menekan mobilitas masyarakat menggunakan kendaraan.
Sejumlah masyarakat dari kalangan pekerja berharap, intervensi pemerintah segera diterapkan di tengah kemacetan dan polusi udara yang semakin mendesak. Muhammad Alfy (26), pekerja yang berkantor di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, ini mengungkapkan, pola kerja hibrida bisa menjadi solusi sementara kendati tidak semua sektor pekerjaan bisa menerapkan.
”Jika sektor yang bisa menerapkan hibrida bisa mengimplementasikan, ini bisa menyumbang pengurangan mobilitas masyarakat dengan kendaraan bermotor,” kata Alfy, Senin (15/8/2023) kemarin.
Pekerja lain, Alwinda (28), menyatakan, polusi yang semakin buruk membuat produktivitas pekerja menjadi berkurang. Pekerja rentan dengan sejumlah penyakit akibat polusi udara dan risiko stres saat macet di jalan. Dengan demikian, kebijakan untuk memperlancar aktivitas pekerja perlu segera diterapkan.
Jika sektor yang bisa menerapkan hibrida bisa mengimplementasikan, ini bisa menyumbang pengurangan mobilitas masyarakat dengan kendaraan bermotor.
Meylinda (24), pekerja yang berasal dari Sawangan, Depok, berpendapat, rencana 4 in 1 dengan penumpang mobil minimal empat orang tersebut perlu kajian lanjutan lagi. ”Rencana seperti ini, kan, sudah ada. Sempat dihentikan, berarti ada masalah di sana. Jadi, kajiannya perlu lebih mendalam lagi,” ucapnya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Diana Dewi mengungkapkan, pola kerja hibrida sudah tidak relevan. Pelaksanaannya perlu regulasi sehingga pelaku usaha punya payung hukum dalam melaksanakan imbauan.
”Saya lebih berharap upaya lain yang diterapkan. Penyelesaian masalah dari akar lebih baik dari intervensi kebijakan yang berpotensi mengganggu produktivitas pekerja,” kata Diana.
Adapun pada saat rapat terbatas, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebutkan dua langkah yang dipertimbangkan. Salah satunya, penerapan 4 in 1 supaya kendaraan yang melintasi Jakarta ditumpangi tak kurang dari empat orang. Adapun langkah lainnya adalah memastikan kendaraan pengumpan ke berbagai transportasi publik, seperti stasiun MRT, LRT, dan BRT, lebih memadai. (Kompas.id, 14/8/2023).
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengungkapkan, kebijakan rekayasa lalu lintas seperti 4 in 1 sudah tidak efektif lagi. Bahkan, efek domino seperti saat 3 in 1 bisa kembali terjadi.
”Salah satu yang paling mungkin terjadi ada dampak permasalahan sosial, yakni muncul jasa-jasa joki seperti saat 3 in 1,” kata Trubus.
Dia mengingatkan, kebijakan ini sudah terbukti kurang berhasil diterapkan di Ibu Kota. Dalam catatan Kompas (12/5/2016), setelah lebih dari 12 tahun diterapkan di Jakarta, pada 2016 aturan pembatasan mobil berpenumpang minimal tiga orang disepakati dihapuskan.
Salah satu alasan penghapusan adalah aturan itu dipandang tak membawa perubahan signifikan pada kepadatan lalu lintas di lokasi penerapan 3 in 1. Pada perkembangannya, aturan ini memunculkan para joki yang menerima bayaran untuk ikut menumpang mobil yang berpenumpang kurang dari tiga orang. Munculnya joki ini menimbulkan masalah eksploitasi anak di saat kemacetan tetap tak teratasi.
Trubus lebih menyarankan pemerintah fokus pada uji emisi massal kendaraan bermotor. Uji emisi ini juga sekaligus bisa melihat seberapa besar kontribusi sektor transportasi pada masalah polusi dibandingkan sektor lain.
”Jika ini benar-benar dilaksanakan selain membantu mengurangi kendaraan emisi tinggi, juga bisa sekaligus mengukur dan membandingkan kontribusi (pada polusi udara) dari PLTU di sekitar Jabodetabek,” ucapnya.