”Co-Residence”, Konsep Lama untuk Solusi Hunian Baru
”Co-residence” merupakan cara bertinggal dalam sebuah rumah lintas generasi untuk saling memberikan dukungan sosial dan finansial. Namun, harus ada jaminan kepastian status kepemilikan rumah dan kenyamanan bermukim.
Oleh
STEFANUS ATO, RAYNARD KRISTIAN BONANIO
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian padat penduduk di Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Minggu (9/7/2023).
Konsep berbagi rumah dengan keluarga telah lama dilakukan masyarakat di Indonesia. Tinggal dan makan bersama, hingga kerap tidur bergantian sudah jadi kebiasaan sebagian warga di kampung-kampung Jakarta. Jika konsep seperti ini diatur dan diintervensi pemerintah, bakal jadi salah satu model bermukim baru yang turut berperan mengurai isu kekurangan rumah di Jakarta.
Berbagi tempat tinggal sudah dilakukan sejak lama oleh Atun (45), salah satu warga yang tinggal di Tembok Bolong, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Ada 11 orang yang tinggal di rumah semipermanen berlantai dua itu.
Atun tinggal bersama suami, kedua orangtua dari suami, tiga anaknya, dan dua adik dari suami yang juga telah berkeluarga. Rumah yang mereka tempati itu hanya memiliki empat kamar.
Dari empat kamar itu, Atun bersama suami dan tiga anaknya menggunakan satu kamar di lantai bawah sebagai kamar keluarga dan satu kamar lain dijadikan sebagai ruang keluarga atau ruang tamu.
Penghuni rumah susun melayani warga lain yang membeli makanan di Rusunawa Tambora, Jakarta Barat, sebelum dibawa ke kios makanan, Senin (7/8/2017).
Di lantai atas, mertuanya menggunakan satu kamar dan satu kamar lain digunakan bergantian dari adik-adik dari suami Atun. Adik-adiknya itu bergantian menggunakan satu kamar itu hanya untuk momen tertentu, termasuk saat menunaikan kewajiban sebagai suami istri.
”Kalau enggak ada apa-apa, istri mereka aja yang tidur di atas. Adik-adik saya mereka biasanya tidur di bawah, di kamar tamu,” kata perempuan asal Sulawesi Selatan itu saat dihubungi, Sabtu (5/8/2023), di Jakarta.
Pilihan untuk tinggal bersama keluarga terpaksa ditempuh Atun lantaran suaminya belum mampu membeli rumah. Penghasilannya sebagai buruh pikul di salah satu pelabuhan perikanan di pesisir Jakarta habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Dua adik dari suaminya belum lama berkeluarga. Penghasilan adik-adiknya juga masih tak menentu karena salah satu adiknya masih bekerja serabutan sebagai tukang parkir dan satunya lagi berdagang minuman.
”Mereka mau ngekos, tetapi mungkin tabungan belum cukup. Orangtua juga masih hidup. Kalau tinggal bareng, kan, kami bisa saling bantu,” katanya.
Warga Rusun Tambora, Jakarta Barat, antre untuk berbelanja bahan pangan dengan harga lebih murah pada program pangan bersubsidi di halaman rusun, Rabu (8/6/2022).
Sebagian warga juga berbagi rumah di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Tambora, Jakarta Barat. Setiap unit rusunawa tipe 21 itu sebenarnya didesain untuk satu keluarga yang beranggotakan 3 orang.
Kini unit tersebut dihuni hingga 2-3 keluarga. Haris Apriandi (47), warga yang tinggal di rusunawa sejak 2018, misalnya, tidak sendiri. Ia tinggal bersama keluarga dari kakak ipar dan juga dua keluarga lain.
Mereka pun bersiasat dengan menyulap unit rusun yang awalnya hanya memiliki dua kamar tidur dan satu ruang tamu. Unit rusunawa itu disulap penghuni menjadi beberapa kamar.
Meski sudah bersiasat, Haris bersama dengan istri dan kedua anaknya tidak bisa leluasa bergerak. Namun, mereka tetap memilih opsi tinggal bersama keluarga agar bisa saling menjaga sekaligus menyiasati tingginya harga sewa hunian di Jakarta.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Warga Rusun Tambora, Jakarta Barat, merapikan barang belanjaannya usai berbelanja bahan pangan dengan harga lebih murah pada program pangan bersubsidi di halaman rusun, Rabu (8/6/2022).
Harga sewa di unit yang ditinggali oleh Haris Rp 600.000-Rp 800.000 per bulannya. Namun, beban tersebut dibagi, Haris membayar Rp 450.000 per bulan lalu sisanya dibayar oleh keluarga lainnya. ”Dengan kondisi seperti ini memang tidak nyaman, tetapi dinyaman-nyamaninlah,” ujar pria yang bekerja sebagai pedagang ketoprak ini di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Ilan Sukarlan, Ketua RW 011 Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, mengatakan, banyak warga di wilayah yang menerapkan konsep tinggal berbagi rumah. Dari 1.012 keluarga di RW 011, ada sekitar 300 keluarga yang mempraktikkan cara hidup serupa.
”Dalam satu rumah awalnya hanya bapak, ibu, dan anak. Lalu anaknya sampai menikah tetap di rumah itu karena kalau pindah tidak memiliki cukup uang untuk mengontrak. Terpaksa satu unit dibagi-bagi menjadi banyak ruangan,” ujarnya.
Sebagian warga di Jakarta terpaksa harus berbagi rumah karena dipicu beragam faktor. Faktor antara lain kelangkaan tanah implikasi dari kepadatan kota, pasokan hunian terbangun tak sesuai permintaan, meningkatnya hunian sewa dibandingkan hunian milik, hingga perubahan demografi serta perilaku merumah, bertinggal, dan bermukim.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Bus pengumpan (feeder) Transjakarta menunggu penumpang di rusunawa Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, Minggu (17/1/2016).
Dari salah satu penelitian Jakarta Property Institute yang dituangkan dalam buku berjudul Potensi Pemenuhan Rumah Bagi Kelas Menengah dengan Tipe Co-Residence yang disusun oleh Joko Adianto, Farrah Eriska Putri, Mahfudh Zarqoni, dan Djoni Hartono, yang terbit pada 2023, diketahui kalau kelangkaan tanah berdampak signifikan pada harga jual rumah. Harga jual rumah yang kian tinggi mengakibatkan warga kelas menengah dan bawa tak mampu membeli rumah.
Semakin banyak warga yang tak mampu membeli rumah, maka semakin tinggi pula angka kekurangan rumah di Jakarta. Dari data Dinas Perumahan dan Permukiman DKI Jakarta, misalnya, angka kekurangan rumah atau backlog di Jakarta saat ini sebesar 280.489 unit.
”Co-residence”
Sebelumnya, Ketua Kelompok Perumahan dan Permukiman Perkotaan Universitas Indonesia Joko Adianto mengatakan, persoalan keterbatasan lahan, harga rumah yang terus meningkat, hingga ketergantungan warga lanjut usia bakal memunculkan tren atau konsep berbagi rumah dengan keluarga atau co-residence.
Co-residence merupakan cara bertinggal dalam sebuah rumah lintas generasi untuk saling memberikan dukungan sosial dan finansial. Konsep ini bukan hal baru karena telah menjadi fenomena di sejumlah negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara di Eropa.
DOKUMENTASI JAKARTA PROPERTY INSTITUTE
Suasana pemaparan survei Jakarta Property Institute (JPI) di Jakarta, Kamis (9/3/2023).
”Co-residence memungkinkan lebih banyak orang tinggal di lahan yang sama. Wujudnya sebaiknya hunian vertikal karena Jakarta sudah terlalu mahal untuk membangun hunian tapak,” kata Joko, (Kompas, 5/7/2023).
Konsep co-residence juga berdampak signifikan dalam menyediakan hunian terjangkau atau bahkan mampu menghapus backlog rumah di Jakarta. Dari simulasi yang dipaparkan Joko, jika konsep co-residence diterapkan di lahan seluas 360 hektar dengan luas per unitnya 36 meter persegi, ada 280.000 unit hunian yang dapat terbangun. Angka ini diperoleh jika hunian dibangun vertikal dengan ketinggian empat lantai.
Warga kelas menengah ke bawah seperti keluarga Atun dapat masuk dalam program intervensi pemerintah melalui prinsip co-residence agar dapat memiliki sedikitnya dua unit rusun untuk berbagi.
Bangunan yang awalnya hanya disiapkan satu atau dua lantai, ketika ditambah menjadi tiga sampai empat lantai, bagaimana kemampuan infrastruktur dari bangunan tersebut.
Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Iwan Kurniawan mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memiliki regulasi tentang pembangunan rumah tinggal hingga empat lantai. Regulasi itu tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta.
”Hal yang perlu dipikirkan, bangunan-bangunan yang awalnya hanya disiapkan satu atau dua lantai, ketika ditambah menjadi tiga sampai empat lantai, bagaimana kemampuan infrastruktur dari bangunan tersebut. Ada banyak risiko yang perlu dipertimbangkan,” katanya.
Hal lain yang tak kalah penting dari potensi co-residence yaitu kepastian status kepemilikan rumah dan kenyamanan bermukim. Sebab, meski berbagi rumah, setiap keluarga yang tinggal bersama harus tetap memiliki ruang privat dan memiliki rasa nyaman karena konsep dari rumah tak sebatas bangunan fisik.