Tersangka TPPO Jual Beli Ginjal Bertambah, Jangan Abaikan Hak Korban
Sejumlah petugas imigrasi di Bali akan jadi tersangka karena memuluskan perjalanan sindikat TPPO jual beli ginjal ke Kamboja.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya memeriksa sejumlah petugas imigrasi di Bali terkait kasus penjualan ginjal ke Kamboja. Petugas imigrasi itu berpotensi jadi tersangka lantaran memuluskan perjalanan ke Kamboja lewat jalur cepat dengan imbalan uang. Masyarakat sipil pun mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak mengabaikan hak korban.
Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menjual ginjal di Kamboja merupakan kejahatan transnasional atau kejahatan lintas negara yang terorganisasi dan sistematis. Kejahatan ini terungkap setelah penggerebekan rumah kontrakan penampung korban di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi memastikan bahwa penyidik tengah memeriksa dan mengejar orang-orang yang terlibat dengan praktik jual beli ginjal tersebut. Salah satunya pintu masuk sindikat ke Kamboja melalui imigrasi di Bali.
”Tim sedang di Bali memeriksa petugas imigrasi yang memperlancar kejahatan ini. Kami temukan modusnya dengan memberikan prioritas khusus, jalur cepat, karena membayar sejumlah uang,” kata Hengky di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Polda Metro Jaya dibantu Polda Bali tengah memeriksa sejumlah petugas imigrasi itu. Setidaknya sudah ada dua orang yang berpotensi jadi tersangka karena melonggarkan pemeriksaan imigrasi setelah diberi uang pelicin.
Ia mengatakan, petugas imigrasi yang nantinya ditetapkan sebagai tersangka akan digelandang ke Jakarta esok, Sabtu (29/7/2023). Mereka yang terlibat mendapatkan uang berkisar Rp 3,2 juta sampai Rp 3,7 juta dari memuluskan perjalanan sindikat ke Kamboja.
”Masih diperiksa intensif. Berpotensi lebih dari dua tersangka,” ujar Hengky.
Sindikat TPPO ini beraksi di media sosial Facebook dengan kedok Group Donor Ginjal Luar Negeri dan Donor Ginjal Indonesia. Mereka menawarkan kepada donor uang Rp 135 juta per ginjal. Anggota grup Facebook yang tertarik memberikan ginjal lantas diminta menghubungi sindikat melalui kontak pribadi. Mereka telah memperdaya 112 korban sejak beroperasi tahun 2019.
Sejauh ini sudah ada 12 tersangka, yakni sembilan perantara jual ginjal berinisial H (40), D (30), A (42), E (23), M (21), S (30), R (26), HS (43), G (31), dan L (23) serta anggota polisi Aipda M alias D dan dan seorang petugas imigrasi berinisial AH alias A.
Polisi juga masih menelusuri jejak broker lain bernama Miss Huang yang mengantarkan korban ke rumah sakit di Kamboja. Semua korban yang berangkat ke Kamboja mendonorkan ginjalnya di Rumah Sakit Preah Ket Mealea di ibu kota Phnom Penh.
Hengky menambahkan, penyidik intens berkoordinasi dengan Divisi Hubungan Internasional Polri dan Atase Pertahanan Kedutaan Besar Republik Indonesia Phnom Penh. Koordinasi itu mencakup data, target operasi, dan rencana mengajukan red notice Interpol atau permintaan negara anggota Interpol kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk mencari dan menangkap sementara seseorang yang menunggu ekstradisi, penyerahan, atau tindakan hukum serupa.
”Tentunya bisa membongkar jaringan ini secara keseluruhan. Salah satu targetnya Miss Huang,” ucapnya.
Usut tuntas
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta penyidik mengusut tuntas sindikat TPPO jual beli ginjal ini. Hal yang sama diharapkan dari kejaksaan untuk menjamin adanya tindak lanjut sampai tuntas.
ICJR berangkat dari kasus TPPO lain yang menjerat pelaku lapangan. Mereka ini berperan merekrut, menampung, mengurus perjalanan dan dokumen administrasi korban, serta menjadi penghubung korban dengan pihak rumah sakit di Kamboja.
”Auktor intelektualis harus dijerat. Jaksa harus aktif sedari awal untuk menjamin penyidik menyidik tuntas kasus, tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan,” kata peneliti ICJR, Lovina.
ICJR juga meminta adanya jaminan terhadap hak korban. Jaminan ini penting mengingat berdasarkan temuan ICJR, jaminan hak korban tidak cukup dijalankan oleh aparat penegak hukum sebagai bagian dari komitmen penegakan hukum TPPO.
ICJR dalam risetnya yang menganotasi putusan sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung mendapati dari 38 perkara yang diputus sampai tingkat kasasi, hanya dua perkara yang mendapatkan pendampingan korban dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Tercatat ada tiga korban meninggal, sedangkan sisanya 33 korban tidak mendapatkan pendampingan dan pemulihan hak. Sementara terkait restitusi untuk korban, dari 38 perkara, 26 perkara tidak diajukan tuntutan ganti kerugian oleh penuntut umum, 10 perkara dikabulkan restitusinya oleh hakim, dan 2 perkara putusannya disertai dengan penyitaan atau perampasan aset untuk kepentingan restitusi. Akan tetapi, putusan tidak memuat secara teknis detail bagaimana perampasan aset tersebut dilakukan.
”Aset dan rekening sindikat dapat dilacak, diblokir, dan digunakan untuk membayar restitusi korban yang mencapai ratusan orang. Hak korban untuk restitusi juga harus diajukan dalam tuntutan sejak awal pengusutan kasus ini,” ucap Lovina.