Integrasi Data Tidak Optimal, Ribuan Peserta Didik Kehilangan Kepesertaan KJP
Integrasi data lintas instansi di DKI Jakarta dibutuhkan untuk memastikan pelaksanaan program Kartu Jakarta Pintar berjalan dengan tepat sasaran. Hal ini penting karena warga kurang mampu sangat membutuhkan program itu.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Minimnya integrasi data sebagai acuan dasar penetapan penerima program Kartau Jakarta Pintar membuat banyak warga tidak mendapatkan haknya sebagai warga DKI Jakarta. Pemerintah diminta untuk serius membenahi sengkarut data tersebut karena prosesnya melibatkan banyak instansi. Hal ini penting mengingat program ini menjadi tumpuan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dihubungi di Jakarta, Jumat (28/7/2023), anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Idris Ahmad, mengatakan, validasi kepesertaan Kartu Jakarta Pintar (KJP) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum dilakukan dengan akurat, serta tidak terintegrasi dengan baik. Akibatnya, setidaknya 18.000 warga DKI Jakarta dicabut kepesertaan KJP-nya secara mendadak karena dinilai tidak lagi memenuhi syarat, khususnya mengenai kepemilikan harta benda.
Mengacu pada aturan, warga yang memiliki kendaraan roda dua lebih dari satu atau kendaraan roda empat memang tidak berhak mendapatkan manfaat dari program KJP.
Akan tetapi, verifikasi kepemilikan kendaraan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum optimal karena belum adanya integrasi lintas sektor yang melibatkan Dinas Sosial DKI Jakarta (Dinsos), Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, dan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap DKI Jakarta (Samsat). Hal ini dinilai membuat banyak warga tidak mendapatkan haknya.
Hal ini juga terjadi karena data warga kerap disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk membeli atau mencicil kendaraan bermotor.
”Kami menerima aduan dari warga mengenai ini. Mereka sudah mengajukan pemblokiran ke Samsat, tetapi Bapenda, sebagai instansi yang mengelola pajak kendaraan dan mencatat harta kekayaan, mereka masih tercatat. Data ini lalu dijadikan acuan untuk verifikasi. Belum ada kesatuan antara data Samsat dan Bapenda,” ucapnya.
Ia menjelaskan, verifikasi penerima KJP menggunakan beberapa data dari lintas instansi sebagai acuan dasar. Beberapa data utama yang menjadi acuan adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola Dinsos DKI Jakarta, dan data kepemilikan kendaraan di Bapenda.
Warga sudah blokir di Samsat, tapi masih tercatat di Bapenda. Akibatnya, kepesertaan KJP mereka dicabut.
Tidak hanya itu, verifikasi KJP juga membutuhkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta sebagai dasar agar KJP diberikan kepada peserta didik yang tercatat sebagai warga Ibu Kota. Untuk itu, Dinas Sosial DKI Jakarta diharapkan menggandeng instansi tersebut dalam verifikasi penerima KJP.
”Cleansing data (pembersihan) harus menggunakan data Samsat dan Bapenda perlu segera dilakukan karena ini sudah mau masuk ke semester baru anak sekolah. KJP Tahap I 2023 akan berjalan, jadi harus segera diselesaikan, kalau tidak, banyak yang kehilangan haknya. Ini memang harus ada koordinasi dari instansi lebih tinggi karena lintas instansi,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinsos DKI Jakarta Premi Lasari mengatakan, pihaknya terus berupaya melakukan verifikasi data dengan baik dan akurat dengan turun langsung ke lapangan. Ia menyebut, proses verifikasi memang sedikit berubah.
Pada awalnya, penerima KJP tidak harus terintegrasi dengan DTKS. Namun, kini pemerintah mewajibkan semua tipe bantuan sosial termasuk KJP menggunakan DTKS sebagai acuan. Agar verifikasi berjalan dengan baik, pihaknya juga akan turun ke lapangan untuk mengecek apakah warga tersebut memang berhak atau tidak untuk menerima KJP.
”Sekitar 110.000 penerima KJP tidak terdaftar di DTKS, ini yang kami coba cek ke lapangan. Setelah kami cek juga banyak yang tidak lagi tinggal di Jakarta yang mendapatkan KJP, padahal warga asli Jakarta butuh. Data dari Disdukcapil ada 20.000 warga yang sudah tidak lagi di Jakarta,” ucapnya.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan DKI Jakarta, jumlah penerima KJP Tahap I 2023 sebanyak 674.559 peserta didik. Angka ini turun bila dibandingkan dengan jumlah penerima di tahap sebelumnya, yaitu KJP Tahap II 2022 sebanyak 803.121 peserta didik.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru Iman Zaenul Haeri menuturkan, verifikasi yang dilakukan oleh pemerintah harus transparan dan dapat dipantau agar pelaksanaanya berjalan baik. Hal ini mengingat KJP menjadi sumber utama biaya bagi masyarakat kurang mampu untuk bisa mendapatkan pendidikan yang terjangkau.
Permasalahan data yang menjadi tantangan seharusnya tidak lagi menjadi alasan mengingat pemutakhiran rutin dilakukan oleh pemerintah. Ia mengkritik, proses verifikasi manual dengan turun langsung ke lapangan membuktikan pemutakhiran dan integrasi data yang dilakukan tidak berjalan dengan optimal.
”Alasan data seharusnya tidak lagi bisa diterima karena sistem pendataan sekarang sudah lebih canggih dari tahun-tahun sebelumnya. Hal-hal yang seperti ini menimbulkan pertanyaan bagi warga proses verifikasi yang dilakukan seperti apa. Perlu ada pembenahan manajemen data agar warga yang ingin mengoreksi juga dimudahkan sehingga haknya sebagai penerima KJP bisa didapatkan,” ucapnya.