Jalur di sepanjang jalur kereta mendesak disterilisasi guna meminimalkan gangguan yang berpotensi mengancam keselamatan penumpang. Mitigasi risiko operasi juga perlu diperbaiki.
Oleh
Helena F Nababan, Wisnu Wardhana Dany, AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Insiden truk yang menabrak tiang listrik aliran atas di lintas Pondok Ranji-Kebayoran di Km 17+5, Selasa (25/7/2023), melumpuhkan layanan KRL di jalur itu beberapa jam. Ribuan penumpang terdampak. Insiden ini ibarat membuka kotak pandora kerentanan operasional dan aspek keselamatan KRL.
Truk barang menabrak tiang listrik aliran atas (LAA) saat hendak putar balik pukul 08.30. Tidak ada korban jiwa akibat kecelakaan itu. Edi Sarwono (52), sopir truk, dimintai keterangan terkait insiden itu.
”Kondisi sopir sehat, surat-surat lengkap. Kami akan periksa lebih lanjut setelah proses evakuasi selesai. Ini memang jalurnya bukan untuk truk besar,” kata Kepala Kepolisian Sektor Pesanggrahan Komisaris Tedjo Asmoro.
Untuk keselamatan dan keamanan perjalanan KRL, LAA di lintas Pondok Ranji-Kebayoran dimatikan. Truk dipindahkan, tiang LAA diperbaiki. Prosesnya memakan waktu hingga lebih dari enam jam.
Imbas dari insiden itu, hingga pukul 12.20, sedikitnya 13 perjalanan komuter terganggu dan delapan perjalanan dibatalkan. Insiden pada jam sibuk itu juga mengakibatkan ribuan penumpang menumpuk di sejumlah stasiun. Sebagian dari mereka mencari sendiri solusi angkutan menuju tempat kerja, sebagian lagi pasrah menanti KRL kembali beroperasi.
”KAI Commuter memohon maaf atas kendala operasional yang terjadi hari ini,” kata Manager External Relations and Corporate Image Care KAI Commuter Leza Arlan.
Terkait insiden itu, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta Yusa C Permana menyatakan, kemungkinan adanya kecelakaan atau kejadian yang mengganggu layanan dan operasional KRL seharusnya sudah disimulasikan dalam identifikasi dan mitigasi risiko operasional. Penyediaan angkutan pengganti semestinya juga masuk dalam standar pelayanan minimum KAI Commuter.
Sterilisasi jalur rel
Belajar dari insiden itu, Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian MTI Pusat Aditya Dwi Laksana menyatakan, KAI Commuter seharusnya membuat seluruh jalur rel steril untuk menjaga keselamatan layanan dan operasional. Upaya menutup pelintasan sebidang yang sudah dilakukan sebagian mesti dibarengi dengan pembuatan pagar di sepanjang jalur rel
Di perkotaan harusnya steril, pagar itu krusial. (Aditya Dwi Laksana)
Merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, diatur ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api. Setiap ruang itu sudah diatur letak dan fungsinya serta aturan terkait sanksi atas pelanggarannya.
Konsekuensinya, menurut dia, KAI Commuter perlu melakukan sterilisasi dengan membangun pagar di sepanjang tepi jalur rel. Upaya itu minimal dilakukan di jalur rel yang bersisian dengan jalan raya. ”Di perkotaan harusnya steril, pagar itu krusial,” katanya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menilai, jalur kereta selama ini tergolong rawan karena tidak steril. Idealnya sepanjang trase rel, di kiri dan di kanan rel harus dipagari permanen.
Sesuai regulasi, jarak pemagaran dari sisi rel kiri 6 meter dan dari sisi rel kanan 6 meter atau total 12 meter steril. Dengan begitu, tidak ada orang atau binatang yang melintas.
”Kejadian Selasa ini menjadi momentum KAI dan DJKA (Direktorat Jenderal Kereta Api) menginventarisasi kembali aset-asetnya untuk keselamatan KA,” katanya.
Agus Sujatno dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mendukung sterilisasi jalur kereta. ”(Sterilisasi) Termasuk pelintasan sebidang yang masih cukup banyak. Selain berbahaya, tentu juga mengganggu headway dan kecepatan kereta,” imbuhnya.
Secara terpisah, VP Public Relations KAI Joni Martinus menjelaskan, guna mencegah insiden serupa, KAI rutin menyosialisasikan agar warga tidak beraktivitas di jalur KA.