Layanan KRL Terganggu, Penumpang Mencari Sendiri Solusi Angkutan
Gara-gara truk menabrak tiang listrik aliran atas di lintas Ponsok Ranji-Kebayoran, perjalanan kereta komuter terganggu. Penumpang pun mencari sendiri solusi angkutan pengganti.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan dan pengoperasian kereta komuter Rangkasbitung terganggu pada Selasa pagi setelah truk menabrak tiang listrik aliran atas. Penumpang yang terdampak mencari sendiri solusi angkutan mereka menuju tempat kerja.
M Alina (40), warga Bintaro, Tangerang Selatan, hendak berangkat ke tempat kerjanya di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (25/7/2023) pagi. Ia tiba di Stasiun Pondok Ranji pukul 09.00.
”Tadi sampai Stasiun Pondok Ranji pukul 09.00. Stasiun penuh, padat dengan penumpang yang menunggu kereta,” katanya.
Setelah mendapatkan info layanan kereta komuter terganggu, ia memilih keluar dari area stasiun. ”Saya mau pesan ojek daring untuk menuju Stasiun MRT Lebak Bulus, tapi sulit sekali mendapatkan ojek daring,” ucapnya.
Ia berjalan kaki menuju pusat perbelanjaan di dekat Stasiun Pondok Ranji dan di sana dia mendapatkan ojek daring yang mengantarnya ke Stasiun MRT Lebak Bulus. ”Beruntung saya masih bisa memilih angkutan alternatif. KRL gangguan, ada MRT. Saya bisa turun di Stasiun MRT Setiabudi atau Dukuh Atas, lalu berganti ojek daring,” katanya.
Hal yang sama juga terjadi dengan Mawar. Warga Pamulang, Tangerang Selatan, itu juga tidak bisa menuju tempat kerja di Jakarta Pusat karena layanan yang terganggu.
Ia berencana naik kereta yang diatur sebagai layanan rekayasa. Seperti diketahui, gara-gara truk menabrak tiang LAA di kilometer 17+5 pada lintas Pondok Ranji-Kebayoran pada Selasa (25/7/2023) pukul 08.30, tujuh perjalanan kereta diatur tidak sampai stasiun akhir Stasiun Tanah Abang, melainkan hanya sampai Stasiun Sudimara atau Stasiun Kebayoran atau Stasiun Palmerah.
”Rencananya mau naik kereta yang dari Serpong sampai Sudimara, lalu ganti ojek daring. Tapi, tadi sudah 20 menit menunggu tidak datang juga keretanya,” ujar Mawar.
Sama seperti Alina, ia akhirnya juga mencari alternatif angkutan. Ada ojek daring yang ia pakai mengantarnya ke halte Transjakarta Giant BSD untuk naik rute S11 BSD-Jelambar.
”Ojek daring bayar Rp 15.000, bus Transjakarta Rp 3.500. Kalau naik ojek daring dari Stasiun Rawabuntu ke tempat kerja bisa Rp 100.000 lebih,” ujarnya.
Itu baru penumpang yang bisa mendapatkan alternatif angkutan. Di media sosial banyak penumpang yang karena keterbatasan finansial, mengajak penumpang lain yang searah tujuan untuk berbagi biaya angkutan, ada yang memilih menunggu perbaikan selesai, juga ada yang meminta KAI Commuter mengganti tiket yang sudah dibayarkan penumpang.
Terkait gangguan perjalanan, pihak KAI Commuter menawarkan surat keterangan keterlambatan kepada para penumpang. ”Menurut saya itu baik, ada surat keterlambatan itu. Bagus buat karyawan kantor,” kata Mawar.
Meski demikian, baik Alina maupun Mawar sama sekali tidak berpikir terkait angkutan alternatif yang mesti disediakan operator KAI Commuter manakala terjadi gangguan. ”Kalau saya harapannya penanganannya cepat saja,” kata Mawar.
Sementara Alina berpendapat, akan sedikit sulit untuk KAI Commuter menyediakan angkutan alternatif. ”Ini, kan, kecelakaan. Saya memaklumi,” katanya meski mengakui ia akhirnya harus membuang banyak waktu untuk mencari angkutan alternatif dan biaya perjalanan yang lebih mahal.
Namun, keduanya sepakat, KAI Commuter harus selalu memastikan fasilitas dan infrastruktur untuk layanan kereta komuter itu berfungsi baik dan terjaga.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang menyatakan, penyediaan angkutan alternatif atau angkutan pengganti bagi penumpang KRL manakala ada gangguan itu tidak ada dalam standar pelayanan minimum (SPM) kereta komuter. ”Untuk KA perkotaan atau KRL tidak ada. Tapi, untuk KA antarkota bisa ada moda pengganti karena ada di SPM-nya,” ujar Deddy.
Artinya, memang kalau ada kejadian gangguan pada kereta perkotaan, penumpang mencari sendiri angkutan pengganti. ”Ini termasuk force majeur,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta Yusa C Permana menegaskan, untuk angkutan pengganti bagi penumpang KRL memang operator tidak memiliki kewajiban. Namun, terkait kemungkinan adanya kecelakaan atau kejadian yang mengganggu layanan dan operasi, seharusnya sudah disimulasikan dalam proses identifikasi dan mitigasi risiko operasi.
Artinya, penyediaan angkutan pengganti mesti masuk dalam SPM layanan dan operasi KAI Commuter, serta harus masuk dalam perhitungan subsidi atau public service obligation (PSO) untuk angkutan pengganti, kalau bukan karena kesalahan operasi.