Pinisi di Gerbang Kuno Jakarta Tertatih-tatih Mengarungi Zaman
Aktivitas kapal-kapal pinisi di Sunda Kelapa mati suri sejak April 2023. Saat itu, beragam aneka barang yang telah dimuat gagal berlayar karena pada 3 Mei 2023, salah satu kapal di terbakar dan tenggelam di tempat itu.
Puluhan pinisi yang bersandar di area Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, seakan mati suri. Anak buah kapal hingga buruh pikul yang saban hari meramaikan kawasan dermaga pelayaran rakyat itu menjauh dan pergi dari sana.
Aktivitas di Pelabuhan Sunda Kelapa sejatinya tetap ramai pada Senin (17/7/2023) siang. Kendaraan bertonase berat masih lalu lalang di pelabuhan itu. Bongkar muat peti kemas pun tetap berjalan.
Singkat kata, urat nadi pelabuhan itu sebenarnya tetap berdenyut. Namun, aktivitas itu berada di sisi lain pelabuhan, yakni area kapal General Cargo dan Peti Kemas Pelabuhan Sunda Kelapa.
Aktivitas di dermaga pelayaran rakyat tempat bersandarnya sejumlah pinisi itu mati suri sejak April 2023. Saat itu, beragam aneka barang yang telah dimuat gagal berlayar setelah pada 3 Mei 2023, salah satu kapal di tempat itu terbakar.
Kapal yang terbakar bersama muatan semen seberat 500 ton itu lalu karam dan tenggelam. Kondisi itu pula yang menyebabkan 43 kapal yang masih bersandar terjebak dan tak bisa berlayar sejak April 2023 hingga saat ini.
Sejak terjebak, anak buah kapal di setiap pinisi yang rata-rata berjumlah 7 orang (termasuk kapten kapal), seakan kehilangan induk. Mereka masing-masing sibuk dengan kegiatan sendiri. Ada yang kembali ke rumahnya, ada yang mencari pekerjaan lain, ada pula yang memilih kembali ke rumahnya.
Buruh pikul yang biasanya meramaikan kawasan dermaga pelayaran rakyat itu pun menjauh dari sana. Padahal, saban hari, saat kondisi normal, sangat mudah menemukan buruh yang naik turun kapal membawa beragam aneka barang.
Telah lama berubah
Aktivitas pinisi telah lama berubah. Tanpa ada gangguan akses pun, pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa tiap hari terus terimpit dan tergeser perannya seiring kemajuan zaman.
Pada 2009, jumlah pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa diperkirakan masih mencapai ratusan kapal. Area di pelabuhan Sunda Kelapa saat itu pun belum sepenuhnya dikuasai peti kemas.
Baca juga: Kapal Tenggelam Ganggu Akses Pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa
”Dulu itu, area pelabuhan sini isinya kayu-kayu semua. Kayu jadi muatan utama pinisi dari sejumlah daerah di Indonesia, terutama Kalimantan,” kata Sulaeman (43), salah satu kapten kapal yang ditemui Senin siang, di Sunda Kelapa.
Sulaeman jadi salah satu saksi hidup kian berkurangnya pinisi di Sunda Kelapa. Saat awal bekerja sebagai anak buah kapal pada 2008, jumlah pinisi yang dimiliki perusahaannya mencapai 11 kapal. Kapal-kapal yang dimiliki perusahaannya kini tersisa 6 kapal.
Ada banyak faktor yang membuat pinisi kian kehilangan peran di Sunda Kelapa. Salah satunya kapal-kapal tua yang telah rusak tidak lagi diperbaiki atau diganti dengan kapal baru. Sebagian kapal ada yang tenggelam atau karam saat dalam pelayaran.
”Mau buat kapal baru pun sudah sulit karena bahan bakunya sangat susah. Kapal-kapal ini pakai kayu ulin, kayunya hanya ada di Kalimantan dan sudah susah. Biaya pembuatannya juga tidak sedikit. Dulu pada tahun 2010, satu kapal bisa habis Rp 5 miliar. Kalau sekarang saya tidak tahu lagi, pasti lebih besar,” ujar lelaki asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu.
Pinisi masih dimanfaatkan sebagian pengusaha sebagai alat angkut barang antarpulau karena lebih murah. Kapal yang dikemudikan Sulaeman dengan tujuan pelayaran Jakarta-Jambi, misalnya, tarif angkutnya Rp 180.000 per ton. Artinya, dengan kapasitas angkut kapal yang mencapai Rp 600 ton, pendapatan yang diperoleh sekali berlayar mencapai Rp 100 jutaan.
Pendapatan itu digunakan untuk keperluan operasional kapal, tarif parkir di pelabuhan, upah anak buah kapal dan pemilik perusahaan. Singkatnya, sekali berlayar, uang yang dikantongi masing-masing anak buah kapal rata-rata Rp 7 juta.
”Cuma pendapatan kami tidak pasti karena kami cari sendiri muatan. Kalau lagi ramai, setiap bulan kami bisa dapat sampai Rp 14 juta,” kata Sulaeman.
Baca juga: Evakuasi Bangkai Kapal di Sunda Kelapa Ditargetkan Rampung Dua Hari
Topang ekonomi
General Manager PT Pelindo Regional 2 Pelabuhan Sunda Kelapa Agus Edi Santoso saat ditemui, Minggu (16/7/2023), di Sunda Kelapa, mengatakan, keberadaan pinisi di Sunda Kelapa selain memiliki fungsi ekonomi juga sebagai daya tarik wisata. Setiap hari, ada saja turis-turis asing yang mampir ke Sunda Kelapa demi memantau atau sekadar berpose di kapal-kapal tradisional itu.
”Kapal kayu ini juga sangat berarti, terutama di Bangka Belitung dan Sumatera. Kapal-kapal ini membawa muatan ke pelabuhan-pelabuhan yang tak bisa dilalui kapal-kapal besar,” kata Agus.
Daerah-daerah yang tak bisa dilalui kapal-kapal besar itu juga bergantung pada suplai kebutuhan pokok yang diangkut oleh pinisi. Di satu sisi, PT Pelindo pun tak memberi tarif yang mahal bagi pinisi yang beroperasi di Sunda Kelapa.
Tarif murah pinisi, kata Agus, sebagai wujud keberpihakan Pelindo menjaga eksistensi pinisi sebagai pelayaran rakyat yang masih bertahan mengarungi zaman. Namun, pinisi disebut perlu mendapat dukungan lain, termasuk dijadikan sebagai bagian dari paket wisata di Kota Tua.
Jumlah pinisi di Sunda Kelapa saat ini tersisa 73 kapal. Dari jumlah itu, 43 kapal terjebak, 2 kapal tak lagi beroperasi karena rusak dan termakan usia.
Pinisi dari catatan Kompas, sudah menguasai lalu lintas Sunda Kelapa sejak 1950-an. Armada pinisi yang kini berkembang menjadi perahu layar motor itu rata-rata dimiliki dan diawaki pelaut Bugis-Makassar.
Pinisi yang bertonase 850-1.000 ton tersebut mengangkut kayu, ikan, tanah kaolin, terigu, beras, gula, garam, serta barang-barang kelontong dan furnitur ke dan dari berbagai pelabuhan, seperti Surabaya, Palembang, Pekanbaru, Banjarmasin, dan Makassar sesuai pesanan pemilik barang (Kompas, 24/8/2015).