Kontrak Pembelian KRL Baru, baik Impor maupun “Retrofit“, Perlu 14-15 Bulan
KCI menyebut, untuk pengadaan KRL baru impor dan proses “retrofit“ sama-sama memerlukan waktu 14-15 bulan. Dengan kebutuhan sarana yang mendesak, dalam jangka pendek tidak ada sarana baru.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — KAI Commuter menyebut kontrak pembelian tiga train set atau rangkaian kereta baru produksi pabrikan Jepang bisa dilakukan pada Agustus atau September 2023. Sementara proses retrofit kereta dimulai pada Agustus 2023. Dengan waktu pengadaan yang diperkirakan sama, yakni 14-15 bulan, pengamat menilai tetap tidak ada sarana baru dalam jangka pendek.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang, Jumat (14/7/2023), mengatakan, melihat skema pengadaan kereta-kereta baru yang diperlukan untuk layanan dan operasional KRL, akan ada pengadaan kereta baru, baik impor maupun produksi dalam negeri, serta retrofit atau pembenahan dan peningkatan kondisi sarana kereta.
Sebelumnya, VP Corporate Secretary KAI Commuter Erni Sylviane Purba dalam diskusi dengan media, Selasa (11/7/2023), mengatakan, pengadaan sarana KRL adalah untuk penggantian (replacement) dan untuk penambahan kapasitas angkut.
Penambahan kapasitas angkut dilakukan pada kereta-kereta baru yang diproduksi INKA. Kereta dari INKA itu akan datang pada 2025 dan 2026 sebanyak 16 train set. Adapun replacement dalam lima tahun ke depan dilakukan dilakukan dengan pengadaan tiga KRL baru impor, 19 rangkaian yang di-retrofit, dan 8 KRL baru dari INKA yang datang pada 2027.
Untuk KRL baru yang diimpor, kata Purba, kontrak pengadaannya akan dilakukan pada Agustus atau September 2023 sehingga bisa sampai di Indonesia pada Oktober-November 2024. “KRL baru tambahan akan muncul di akhir 2024. Waktu 14 bulan itu waktu paling panjang yang kita harapkan,“ ucapnya.
Untuk pengadaan KRL baru impor, saat ini pihak KAI dan KAI Commuter bersama dengan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan dan tim Jepang sedang menyusun spesifikasi teknis, yaitu untuk bisa menyesuaikan dengan prasarana kereta yang ada di Indonesia.
“Kita juga sedang siapkan secara administrasinya untuk tiga train set ini karena masih di tahap negosiasi,“ kata Purba.
Adapun tahapan retrofit sudah diawali dengan proses asesmen oleh PT INKA di Juli ini. INKA dan KCI menyepakati retrofit dilakukan bertahap. Empat rangkaian kereta pertama akan ditarik pada Agustus 2023. Lalu setiap tahun sampai dengan 2027, empat kereta akan di-retrofit.
Proses retrofit ini juga akan membutuhkan waktu sekitar 14 bulan. Artınya, di akhir 2024 kereta hasil retrofit pertama baru tersedia.
Deddy melanjutkan, melihat waktu kedatangan sarana yang bersamaan, pembelian rangkaian kereta baru dari luar negeri lebih menjadi prioritas walau membutuhkan waktu daripada retrofit. “Membeli baru itu jelas produknya dan sudah tersertifikasi. Lalu, masa pakai lebih lama bisa 40-50 tahun,“ katanya.
Adapun untuk retrofit, Deddy mengatakan, PT INKA belum memiliki pengalaman, apalagi me-retrofit KRL ke KRL. “Selain belum punya pengalaman, regulasi atas retrofit tidak ada. Jadi, retrofit ini seperti gambling,“ ujar Deddy.
Dengan penilaian retrofit seperti berjudi, Deddy menyatakan, ada konsekuensi yang dihadapi. Kalau bisa tepat waktu, syukur. Kalau gagal, akan membuat mundur waktu kedatangan kereta.
Di sisi lain, KAI Commuter memerlukan penggantian (replacement) yang cepat atas rangkaian-rangkaian kereta yang segera dikonservasi dan di-retrofit. Seperti diketahui, pada 2023 dan 2024 akan ada 29 rangkaian kereta yang dikonservasi dan di-retrofit
Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, melihat lintasan waktu (timeline) itu, artinya tidak ada penggantian sarana dari kereta yang dikonservasi. “Padahal, 2023 juga mestinya harus ada sarana baru,“ katanya.
Deddy menilai, dengan skema itu, lagi-lagi pengguna yang menjadi korban. “Saya sering mengatakan bahwa pemerintah itu tidak pernah menggunakan angkutan umum. Kita yang di bawah ini sebagai korban. Ada juga korban lain, yaitu operator KRL itu sendiri. Namun, korban utamanya tetaplah end user, konsumen,“ ucapnya.