Kapal Tenggelam Ganggu Akses Pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa
Dari 73 kapal pinisi yang beroperasi di Pelabuhan Sunda Kelapa, ada sekitar 30 kapal yang selama dua bulan tak beroperasi karena tak ada akses untuk keluar.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas pelayaran dan bongkar muat barang puluhan kapal pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, selama dua bulan terakhir lumpuh. Nakhoda dan anak buah puluhan kapal itu terpaksa menganggur. Mereka terjebak di pelabuhan dan tak bisa berlayar karena bangkai kapal yang karam akibat kebakaran pada awal Mei 2023 belum dapat dievakuasi.
Puluhan kapal pinisi, yang melayani pengiriman aneka barang antarpulau, pada Selasa (11/7/2023) siang, berjejer tertambat di sepanjang dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagian dari kapal yang telah berisi muatan semen, beras, dan pupuk itu tak jua berlayar.
”Sudah dua bulan lebih, begini saja. Tidak ada kegiatan. Istilahnya, kejebak, menganggur,” kata Hasyim (50), nakhoda kapal pinisi, saat ditemui di Pelabuhan Sunda Kelapa, Selasa (11/7/2023) siang.
Kapal Hasyim sudah sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa sejak pertengahan April 2023 lalu. Saat itu, kapalnya telah penuh muatan semen. Namun, kapal itu gagal berlayar hingga kini lantaran pada awal Mei 2023 salah satu kapal pinisi bermuatan 510 ton semen terbakar dan tenggelam.
Kapal itu terbakar persis dekat jalur keluar masuk kapal-kapal pinisi itu. Akibat kebakaran tersebut, ratusan ton semen yang tertinggal di kapal ikut karam bersama puing kapal yang terbakar.
”Kapalnya tenggelam, halangi jalan keluar. Kami sebenarnya tinggal berangkat saja,” katanya.
Selama dua bulan menganggur, Hasyim dan enam anak buah kapalnya kehilangan penghasilan. Mereka tak memiliki upah tetap dari perusahaan pemilik kapal. Mereka bakal mendapat upah jika kapal tersebut berlayar mengantar barang atau muatan. Hasyim dan sebagian anak buah kapalnya bertahan hidup, terutama memenuhi kebutuhan makan dan minum, dengan mengutang kepada pedagang langganan yang berjualan di area pelabuhan.
”Ada sebagian anak buah kapal saya yang terpaksa harus kabur. Mereka pulang ke rumah dan cari kerjaan lain. Tidak mungkin juga tiap hari kami begini,” kata lelaki asal Makassar itu.
Kondisi yang dialami Hasyim dan anak buah kapalnya turut dialami puluhan kapal pinisi lain yang ikut terjebak. Terjebaknya puluhan kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa itu berdampak pada pendapatan buruh pikul kapal pinisi. Saat normal, setiap kapal biasanya mempekerjakan 20 buruh pikul untuk mengangkut atau membongkar barang di kapal.
”Kalau normal, ramai sekali aktivitas di sini. Tiap kapal itu dulunya pasti ramai dengan buruh kapal. Sejak terjebak, dua bulan terakhir seperti ini sepi sekali,” kata Hasyim.
Antre sandar
Lumpuhnya akses kapal pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa turut berdampak pada armada yang masih berlayar. Kapal-kapal itu tak bisa masuk Pelabuhan Sunda Kelapa bersamaan karena sempitnya jalur yang aman dari bangkai kapal tenggelam tersebut.
Iwan (43), nakhoda kapal yang membawa muatan dari Kalimantan Barat, misalnya, telah mengantre hampir dua minggu di sisi lain Dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa. Kapalnya belum mendapat giliran untuk membongkar muatan karena terbatasnya alat bongkar muat.
”Dalam waktu normal, mengantrenya paling tiga sampai empat hari. Ini, sudah dua minggu, masih antre karena alat bongkar hanya satu,” katanya.
Manajer Komersial atau Hubungan Masyarakat PT Pelindo Regional 2 Sunda Kelapa Laode M Imran, yang dihubungi terpisah, mengatakan, karamnya kapal pinisi di jalur akses Pelabuhan Sunda Kelapa turut merugikan Pelindo, Syahbandar Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Sunda Kelapa. Berdasarkan Pasal 203 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pemilik kapal memiliki kewajiban untuk menyingkirkan kerangka kapal yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran. Batas waktu yang diberikan sesuai undang-undang adalah 180 hari atau enam bulan.
”Jadi, siapa pun yang utak-atik di situ, bisa dituntut sama pemilik kapal. Jadi, waktu itu, dari hasil koordinasi, pemilik kapal akan melakukan evakuasi secepat mungkin,” kata Laode.
Komitmen untuk mengevakuasi bangkai kapal diwujudkan pemilik kapal dengan mengontrak pihak ketiga untuk mempercepat proses evakuasi. Rencana evakuasi itu awalnya ditargetkan berlangsung selama 7 hari.
Namun, upaya evakuasi tak berjalan lancar karena banyak hambatan, termasuk pihak yang bertugas mengevakuasi material dan bangkai kapal berganti-ganti. Peralatan yang saat itu digunakan untuk proses evakuasi juga peralatan yang masih konvensional.
”Jadi, target yang dicapai tidak bisa (tidak terpenuhi). Ini yang menyebabkan proses evakuasi berlarut-larut,” ucapnya.
Menurut Laode, Pelindo bersama pemangku kepentingan lain juga terus mendesak pemilik kapal agar mempercepat proses evakuasi bangkai kapal tersebut. Sebab, bangkai kapal yang masih tertanam di dasar laut itu tak hanya merugikan puluhan kapal pinisi yang beroperasi di Pelabuhan Sunda Kelapa, tetapi juga berpengaruh terhadap pendapatan negara dari aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Mitigasi
Laode mengatakan, evakuasi bangkai kapal yang terhambat dan berlarut-larut itu terus diupayakan pemilik kapal. Dari hasil koordinasi terakhir, pihak pemilik kapal kini kembali menggandeng kontraktor baru yang memiliki teknologi mumpuni untuk mempercepat proses evakuasi bangkai kapal.
Di tengah proses evakuasi yang masih terus berjalan, Pelindo bersama KSOP Sunda Kelapa telah memitigasi kapal-kapal pinisi yang tidak terdampak. Kapal-kapal itu difasilitasi untuk tetap bisa beroperasi, baik itu untuk aktivitas bongkar maupun muat barang.
Dari data Pelindo, diketahui kalau ada 73 kapal yang beroperasi di Pelabuhan Sunda Kelapa. Dari keseluruhan kapal pinisi yang beroperasi itu, sedikitnya 30 kapal selama dua bulan terakhir tak beroperasi karena tak ada akses untuk keluar.