Ketika Sekolah Negeri Jadi ”Kemewahan” bagi Sebagian Keluarga Jakarta
Minimnya daya tampung membuat sebagian anak usia sekolah tidak dapat mencicipi ”kemewahan” sekolah negeri. Sekolah swasta yang kemudian menjadi pilihan akhir membuat keluarga kurang mampu semakin merana.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Adinda menghampiri ibu dan bapaknya di warung nasi uduk di satu sisi Jalan Petamburan VII, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (11/7/2023) pukul 11.00. Ia baru saja kembali dari kegiatan perkenalan murid baru kelas VII di sebuah SMP swasta, di kawasan Bendungan Hilir.
Tanpa banyak bicara, perempuan 11 tahun itu merapat ke ibunya, Supisunarti (55) yang masih melayani beberapa pembeli jelang siang hari. Ayahnya, Suprapto (58), yang sudah kesulitan bekerja karena kondisi kesehatan yang membuatnya glaukoma dan harus rutin cuci darah, hanya ikut menemani sang istri berdagang.
Supisunarti yang biasa disapa Bu Bowo itu menyadari anak bungsunya itu kasihan kepadanya sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga. Dua anak pertama Bu Bowo dan Suprapto yang telah lulus sekolah tidak bekerja. Suaminya lima tahun terakhir terganggu kesehatannya karena mengalami komplikasi penyakit.
Dalam kondisi keluarga kurang berpunya, Adinda terpaksa harus masuk sekolah swasta. Sebuah pilihan yang tidak pernah ia harapkan. Sebelumnya, Adinda bersekolah di SD negeri dengan bantuan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Ia tidak hanya bebas dari biaya operasional sekolah, biaya personal untuk kebutuhan sekolah sampai pangan pun terpenuhi.
Begitu mendaftar ke SMP swasta awal Juli lalu, orangtua Adinda harus mengeluarkan Rp 300.000 untuk uang pendaftaran dan Rp 1 juta untuk uang pangkal. Bahkan, untuk kegiatan hari pertama tadi, pihak sekolah meminta orangtua membayar Rp 150.000. Pengeluaran itu dinilai untuk keperluan tidak jelas karena tanpa penjelasan penggunaan yang transparan.
”Berasa banget, biasanya gratis, sekarang bayar ini bayar itu,” kata Bu Bowo.
Suprapto menaksir mereka membutuhkan sekitar Rp 5 juta untuk menanggung biaya awal sekolah putrinya. Di sisi lain, belum ada pendataan ulang KJP. Ia pun sampai harus berutang dengan saudaranya untuk mempersiapkan ini.
Situasi ini menjadi konsekuensi akibat tidak lolosnya Adinda masuk ke sekolah negeri melalui berbagai tahapan seleksi pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Beberapa hal menjadi kendala, mulai dari usia yang kalah dengan calon siswa lain hingga rendahnya nilai rapor.
Suprapto mengakui, ia tidak memahami kalau nilai rapor kelas IV hingga VI akan jadi faktor penentu selain nilai akhir sekolah. Nilai anaknya di kelas IV anjlok karena sistem belajar jarak jauh di tahun pertama pandemi. Pada periode itu, anaknya terkendala karena harus berbagi ponsel dengan kakaknya yang saat itu masih duduk di kelas X SMK.
”Kami enggak dikasih tahu kalau proses belajar jarak jauh itu akan berpengaruh ke seleksi ini. Saya pun down begitu tahu itu dijadikan nilai,” ujarnya.
Kemudian, keluarganya ketinggalan mendaftarkan Adinda di jalur PPDB Bersama yang diperuntukkan untuk calon siswa yang ingin masuk ke sekolah swasta yang bekerja sama dengan Dinas Pendidikan DKI. Lewat pendaftaran itu, siswa baru yang lolos akan dibantu biaya pendidikannya sejak awal.
Kasus sama juga pernah terjadi pada anak keduanya. Nilai sekolah yang kurang saat seleksi PPDB membuat anak laki-lakinya tidak bisa lanjut ke sekolah negeri. Namun, Suprapto tetap berprinsip, anak-anaknya tetap harus melanjutkan sekolah di mana pun itu. Ia pun mendukung istrinya yang berjuang banyak untuk menopang ekonomi keluarga.
Jadi sorotan
Masalah seperti yang dihadapi keluarga Suprapto juga menjadi sorotan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Dalam keterangan pers, Senin (10/7/2023), mereka menyebut kelebihan calon peserta didik baru sebagai satu dari beberapa masalah krusial yang masih muncul dalam tahun keenam penyelenggaraan PPDB secara nasional.
Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, menyebutkan, masalah sekolah kelebihan calon peserta didik baru karena terbatasnya daya tampung dibandingkan calon siswa banyak terjadi di wilayah perkotaan, seperti DKI Jakarta.
Contoh, di Jakarta, jumlah calon peserta didik baru 2023 jenjang menengah pertama adalah 149.530 siswa, tetapi total daya tampung hanya 71.489 kursi (47,81 persen). Untuk jenjang menengah atas ada 139.841 calon siswa dengan total daya tampung hanya 28.937 kursi (20,69 persen) di SMA/MA, dan hanya 19.387 kursi (13,87 persen) di SMK.
Data menunjukkan, kondisi sekolah negeri di Jakarta, makin tinggi jenjang sekolah, makin sedikit ketersediaan bangkunya. ”Implikasinya adalah dipastikan tidak semua calon siswa dapat diterima di sekolah negeri, swasta menjadi pilihan terakhir,” kata Satriwan.
Dampak ini, menurut dia, sudah disiasati Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mengadakan PPDB Bersama yang bekerja sama dengan sekolah swasta untuk calon siswa kategori afirmasi atau yang membutuhkan bantuan finansial.
”Sayangnya, PPDB Bersama ini tak begitu diminati oleh sekolah swasta terbaik di Jakarta,” katanya.
Tahun ini, yang terlibat dalam seleksi PPDB 2023 mencapai 257 sekolah swasta standar menengah di tingkat SMP dan SMA, dengan kuota 6.909 kursi. Jumlah ini, menurut beberapa analisis lembaga swadaya masyarakat hanya dapat membantu 4 persen dari sekitar 170.000 siswa yang tidak lolos sekolah negeri.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Purwosusilo, mengakui, tidak lolosnya anak ke sekolah negeri menjadi hal yang banyak dikeluhkan warga kepada mereka di akhir masa seleksi PPDB.
”Kami jelaskan, ini wajar, enggak apa-apa. Kami jelaskan kalau daya tampung sekolah terbatas. Kami lalu arahkan mereka agar melihat sekolah (negeri) lain atau waktu PPDB Bersama masih terjadwal kami arahkan masuk sekolah swasta lewat jalur itu,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon.
Kalau penerima KJP di sekolah negeri hanya dapat biaya personal karena sekolah gratis. Kalau di swasta dapat dua jenis, ada personal dan pendidikan untuk kebutuhan uang masuk dan SPP
Terhadap calon siswa yang terpaksa masuk sekolah swasta tanpa seleksi PPDB, ia menyarankan agar anak tetap didaftarkan di sekolah swasta terdekat dengan tempat tinggal. Jika siswa tersebut berasal dari keluarga kurang mampu, mereka bisa mendaftar Bantuan Pendidikan Masuk Sekolah (BPMS) lewat sekolah swasta yang dipilih.
”Kalau yang sudah masuk sekolah swasta baru ingin mengajukan BPMS, bisa diusulkan ke sekolah untuk dicek apa betul enggak mampu,” kata Purwosusilo.
Bantuan lain yang bisa digunakan siswa dari kalangan membutuhkan untuk menopang biaya sekolah swasta adalah KJP. Bantuan yang pernah diterima sebelumnya pun bisa dilanjutkan setelah melakukan pendaftaran ulang. KJP akan membantu siswa sekolah swasta lewat biaya operasional pendidikan, selain biaya personal yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan sekolah, biaya transportasi, hingga kebutuhan pangan bulanan.
”Kalau penerima KJP di sekolah negeri hanya dapat biaya personal karena sekolah gratis. Kalau di swasta dapat dua jenis, ada personal dan pendidikan untuk kebutuhan uang masuk dan SPP,” katanya.
Biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dalam hal ini pun menyesuaikan standar biaya pendidikan di sekolah swasta standar menengah. Lewat aturan ini, kata dia, pemerintah mencari jalan tengah untuk mengoptimalkan kualitas sekolah dan kemampuan keluarga siswa yang membutuhkan bantuan.