Waspadai Bisnis Perantara Penjualan seperti Kasus Rihana Rihani
Modus bisnis perantara penjualan barang mewah dengan keuntungan besar perlu menimbulkan pertanyaan masyarakat. Bisa jadi ini jeratan penipuan skema ponzi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Korban penipuan penjualan ponsel merek iPhone oleh saudara kembar Rihana dan Rihani di Tangerang Selatan, Banten, tidak menyangka bisnis tanpa modal yang ia pilih bisa membuatnya jatuh pada kerugian besar. Belajar dari kasus ini, masyarakat seharusnya bisa menghindari penipuan semacam ini.
Selasa (4/7/2023), Polda Metro Jaya telah berhasil membekuk tersangka penipuan dan penggelapan Rp 35 miliar setelah masuk dalam daftar pencarian orang sebulan sebelumnya. Penangkapan itu berdasarkan 18 laporan ke berbagai jajaran kantor polisi di wilayah Polda Metro Jaya sejak 2022.
Salah satu korban mereka adalah Junita Wedaring Tyas, yang juga merupakan teman dekat Rihani. Awalnya, ia tergiur menjadi perantara penjualan beberapa produk Apple, khususnya ponsel iPhone, di akun Instagram Rihani tahun 2021. Ia mengakui ini menjadi pengalaman pertamanya sejauh melakoni usaha. Sebelumnya, ia biasa berdagang pakaian dengan modal sendiri.
”Sistemnya pre-order (PO), jadi modal dari orang. Kita posisinya perantara. Saya tawarkan ke yang lain, siapa mau beli iPhone, jual harga cukup bagus. Kalau mau PO, bisa beli ke saya,” tutur warga Tangerang Selatan itu, Minggu (9/7/2023).
Bisnis itu ia mulai lakukan pada Mei 2021. Ia tergiur tawaran bisnis Rihani yang membuatnya bisa mengambil untung cukup banyak karena harga jual barang dari kawannya itu lebih murah daripada di pasaran. Utamanya juga karena tidak perlu mengeluarkan modal.
”Kalau ponsel ini, kan, cukup mahal harga satuannya sehingga saya tidak mungkin modalin. Saya enggak mau ada risiko dengan beli barang mahal,” ujar ibu rumah tangga ini.
Saat berbisnis dengan pelaku penipuan itu, transaksi lancar selama sekitar tiga bulan. Saat itu, salah satu penjualan barang yang ia perantarai adalah iPhone seri 12. Ia berhasil menjual sekitar 500 item. Barang itu dibeli distributor-distributor lain yang terhubung dengannya melalui aplikasi pesan dan media sosial.
Namun, pada November 2021, saat hendak pre-order produk iPhone 13, bisnis itu macet. Sebanyak 400 transaksi pesanan iPhone dari perantara lain di bawah Junita tidak kunjung berwujud barang. Rihana dan Rihani telanjur kabur hingga akhirnya dilaporkan ke polisi.
Junita pun harus menanggung keluhan dari distributor lain yang ikut mengeluhkan ketidakjelasan pengiriman barang. Ia pun mencoba mengomunikasikan masalah itu. Sebagian mengerti, tetapi sebagian lagi tetap menuntut uang mereka dikembalikan. Ia pun sampai harus mengganti Rp 1 miliar untuk menutup kerugian dari penipuan ini.
”Saya sampai usaha pinjam sana sini, pinjam bank, saudara, jual logam mulia, dan kuras tabungan sendiri. Kalau yang di bawah kami, enggak mau tahu bagaimana kami sampai jatuh bangun menghadapi ini. Kami usahakan semaksimal mungkin. Kalau sudah enggak sanggup lagi, ya, kami bilang,” tuturnya.
Kalau keuntungan investasi di atas 15 persen, harus curiga. Dari skema penjualan, terlalu murah juga mencurigakan.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Hariyadi dalam konferensi pers di Jakarta, pekan lalu, mengatakan Rihana-Rihani melakukan penipuan dan penggelapan dengan skema ponzi.
Iming-iming banting harga barang kepada korban ini dilakukan dengan pola gali lubang tutup lubang. Pelaku menggunakan sebagian uang yang disetorkan satu korban untuk membayar keuntungan kepada korban lainnya.
”Kami menerima informasi bahwa ini modusnya seperti skema ponzi dari reseller-reseller. Contoh, harga satu item harusnya Rp 12 juta, tapi mereka tawarkan Rp 9 juta,” kata Hengki.
Pengamat ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, saat dihubungi lewat telepon mengatakan, skema ponzi terbukti membuat perantara dan pembeli menjadi korban kejahatan Rihana-Rihani.
”Skema ponzi ini sangat rentan ambruk jika semakin banyak investor atau reseller, tapi calon ’korban’ baru atau pembelinya tidak ada. Pasti akan boom kasusnya,” ujarnya.
Masyarakat, menurut dia, bisa mewaspadai ini kalau mendapati tawaran keuntungan investasi atau penjualan barang harga murah yang terlalu besar.
”Kalau keuntungan investasi di atas 15 persen, harus curiga. Dari skema penjualan, terlalu murah juga mencurigakan, selisih harga 10 persen saja patut curiga, kecuali memang barang yang sering diskon, oke, lah. Tapi, kalau barang seperti iPhone, kan, jarang diskon besar,” katanya.