Sebagian kebakaran di Ibu Kota terjadi di kawasan permukiman. Pemicunya didominasi masalah kelistrikan. Selain kerugian harta benda, kebakaran juga menimbulkan korban jiwa.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ribuan warga menderita akibat ratusan kejadian kebakaran yang melanda wilayah Jakarta selama 2023. Tercatat dalam semester pertama tahun ini, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta menangani 880 kejadian kebakaran dengan hampir 5.000 warga terdampak. Kejadian ini mayoritas diduga karena masalah kelistrikan.
Jika dirata-rata dengan 190 hari selama 2023, setiap hari terdapat empat kejadian kebakaran di Jakarta. Total warga yang terdampak pun cukup banyak, yakni mencapai 4.999 jiwa dari 1.709 keluarga. Di antaranya ada 23 korban meninggal dan 83 orang mengalami luka-luka.
Kebakaran paling banyak menimpa bangunan perumahan dengan kejadian sebanyak 292 kasus atau 33 persen sepanjang setengah tahun pertama tahun 2023. Menyusul, 213 kasus atau 24 persen terjadi di instalasi luar gedung dan 159 kasus atau 18 persen di bangunan umum dan perdagangan. Bencana ini pun mengakibatkan kerugian hingga Rp 118 miliar.
Data yang sama mencatat, masalah listrik menjadi dugaan utama kebakaran di lima wilayah Jakarta. Faktor ini diduga terjadi pada 536 kasus kebakaran atau 64 persen.
Terkini, faktor hubungan pendek arus listrik (korsleting) diduga memicu kebakaran yang melanda 94 bangunan di Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Sabtu (9/7/2023) sore. Dalam pendataan hingga Minggu pukul 10.00, kebakaran mengakibatkan 120 keluarga atau 480 jiwa terdampak di wilayah RW 005 dan RW 007. Bahkan, satu warga, Apriyanto (30), meninggal karena sesak napas.
Kobaran api baru bisa dipadamkan selama lebih dari enam jam hingga dini hari. Bahkan hingga Minggu siang, tim pemadam kebakaran masih berupaya melakukan pendinginan dengan menyemprotkan air ke titik-titik yang berpotensi menimbulkan api. Penanganan itu dilakukan dengan memasang selang dari unit damkar yang terparkir di Jalan Duri Utara, sekitar 100 meter dari titik api di RW 005.
Selain lemahnya pencegahan, kemampuan masyarakat menanggulangi bencana ini juga dinilai rendah kendati pelatihan banyak dilakukan. Padahal, api sumber kebakaran bisa dicegah sebelum membesar jika masyarakat tidak cepat panik.
Sebelumnya, api disebut dengan cepat merambat dari salah satu rumah warga di RW 005 ke rumah-rumah semi permanen dua lantai yang saling berdempetan. Di RW itu, si jago merah melalap rumah-rumah yang dihuni sekitar 300 warga di RT 008, RT 009, dan RT 011.
Rizki (13), salah satu warga terdampak, mengatakan, api bersumber dari sebuah rumah kontrakan di lantai dua. Saat itu ia sedang mengobrol dengan tetangganya di luar rumah.
”Kayaknya korsleting dari kipas angin atau rice cooker untuk masak nasi,” ujarnya ditemui di pengungsian di SDN Duri Utara 05 Pagi dan 06 Petang.
Dugaan ini turut dikonfirmasi Kepala Seksi Damkar Sektor Kecamatan Tambora Joko Susilo meskipun pihak berwenang masih akan mendalami dugaan ini lebih lanjut.
Ia mengatakan, kebakaran karena kelistrikan umum terjadi di wilayahnya karena penggunaan material kelistrikan yang tidak sesuai standar. Selain itu, ada faktor kelalaian masyarakat.
”Korsleting dipicu material yang digunakan tidak standar, seperti bahan di stopkontak, lalu material untuk instalasi rumah yang sudah turun-menurun dari nenek ke anak yang belum pernah dilakukan pengkabelan ulang karena itu kan ada masa berlakunya,” katanya ditemui di lokasi kebakaran.
Risiko ini, menurut dia, menjadi tanggung jawab pemilik rumah dan masyarakat pengguna listrik, selain perusahaan penyedia listrik.
Kapasitas masyarakat
Untuk mencegah masalah ini berulang, Dinas Gulkarmat DKI Jakarta terus menyosialisasikan strategi pencegahan kebakaran ke masyarakat, baik yang dibiayai pemerintah daerah maupun swasta. Mereka juga sudah merekrut sukarelawan hingga tingkat RT.
”Edukasi sudah sering dilakukan ke warga untuk pencegahan kalau ada kejadian agar mereka yang merespons. Namun, kejadian demi kejadian berulang di 11 kelurahan di Tambora,” ujarnya.
Selain lemahnya pencegahan, kemampuan masyarakat menanggulangi bencana ini juga dinilai rendah kendati pelatihan banyak dilakukan. Padahal, api sumber kebakaran bisa dicegah sebelum membesar jika masyarakat tidak cepat panik.
”Masyarakat yang lihat api harus hadapi dulu. Faktanya, masyarakat banyak yang menyibukkan diri, menyelamatkan barang, hingga api tahu-tahu membesar, bahkan sampai lupa beri informasi pada kami. Kami kalau tidak diberi info mana tahu,” kata Joko.
Peningkatan kapasitas masyarakat seperti ini, menurut Joko, jadi kunci memitigasi bencana kebakaran di kecamatan yang disebut kawasan terpadat se-Asia Tenggara itu.