Dua Tahun ke Depan, Siap-siap Kapasitas Angkut KRL Turun
Pemenuhan kebutuhan sarana KRL masih menempuh jalan panjang, Sudah ada skema pemenuhan kebutuhan, namun tetap memerlukan waktu. Dalam dua tahun ke depan siap-siap kapasitas angkut turun,
Pada Jumat (23/6/2023), VP Corporate Secretary KAI Commuter Erni Sylviane Purba mengirimkan hasil keputusan rapat koordinasi yang dipimpin Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan terkait kebutuhan sarana KRL lima tahun ke depan.
Rapat yang berlangsung, Rabu (21/6/2023) itu dijelaskan Purba, merupakan agenda menyusun bagaimana pemenuhan kebutuhan sarana KRL melalui skema retrofit untuk replacement sarana yang ada dalam lima tahun kedepan, juga pengadaan sarana KRL baru untuk replacement dan penambahan kapasitas.
Seperti diketahui, pada 2023 dan 2024 ini ada 29 rangkaian kereta yang segera pensiun dan memasuki proses retrofit. KAI Commuter dan PT INKA pada 9 Maret 2023 silam menandatangani kontrak untuk pengadaan 16 rangkaian baru.
Lalu dari rapat koordinasi 21 Juni itu, rapat itu memutuskan pengadaan KRL baru tiga rangkaian pada 2024, mulai meretrofit 19 sarana di tahun ini, serta mengadakan delapan sarana baru pada 2027.
Baca Juga : Jalan Panjang Polemik Impor KRL Bekas (Bagian 1)
Keputusan untuk mendatangkan kereta baru, menimbulkan banyak pertanyaan. Kenapa? Di saat Kemenko Marves dan Kemenperin melarang PT KCI mengimpor 29 rangkaian kereta (trainset) yang terdiri atas 348 kereta bukan baru alias kereta bekas dari East Japan Railway Company (JR - East) sesuai hasil tinjauan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan sejumlah alasan, rapat justru memutuskan mengimpor kereta baru.
Dalam berita kompas.id tanggal 6 April 2023, Deputi Bidang Koordinasi Pertambangan dan Investasi Kemenko Marves Septian Hario Seto menyebutkan ada empat poin dari tinjauan BPKP. Pertama, impor dinilai tidak mendukung pengembangan perkeretaapian nasional seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 175 Tahun 2015. Salah satunya adalah mengutamakan produk dalam negeri.
Kedua, kereta bekas Jepang itu tidak memenuhi syarat sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor. Menurut Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2021, hanya barang-barang yang belum dapat dibuat industri dalam negerilah yang dapat diimpor dalam keadaan bekas.
Seto mengatakan, kebutuhan kereta dalam negeri dapat dipenuhi oleh PT Industri Kereta Api (INKA). Menurut Seto, impor kereta bisa dilakukan kalau kereta belum bisa diproduksi di dałam negeri.
Ketiga, bahwa kapasitas kereta-kereta milik PT KCI diyakini masih bisa dioptimalkan. Saat ini okupansi tahunan masih 62,75 persen.
Keempat disebutkan biaya angkut kereta dari Jepang dengan perhitungan biaya kirim pada 2018 ditambah 15 persen seiring laju inflasi dinilai tidak wajar. Pengangkutan dan pengiriman dari Jepang dengan kapal kargo bisa membuat biaya membengkak.
Terkait keputusan terbaru itu, Ketua Forum Angkutan Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana, Selasa (27/6/2023) mengajak mencermati satu demi satu keputusan itu.
Bila dikaitkan dengan isu tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dari sebuah produk yang selalu dikemukakan dalam pembahasan-pembahasan terkait impor kereta bekas untuk KRL sebelum ini, maka membeli baru, apalagi dari luar negeri, justru sama sekali tidak ada kandungan lokalnya.
“Maka beli baru 100 persen tidak ada kandungan komponen lokalnya. Kalau impor bekas, TKDN bisa 40 persen ketika kereta direhabilitasi dengan cara diganti bangkunya, pendingin ruangannya,” kata Aditya mengkritisi.
Baca Juga : Jalan Panjang Polemik Impor KRL Bekas (Bagian 2)
Dengan mendatangkan baru, bila melihat lebar rel atau track gauge di Indonesia ini adalah narrow gauge atau rel sempit 1067 millimeter, di dunia perkeretaapian internasional saat ini, negara yang masih banyak menggunakan lebar rel 1067mm adalah Jepang.
“Ya mestinya tiga rangkaian baru itu beli di Jepang ya yang lebar rel masih banyak 1067 mm,” ujar Aditya.
Wakil Ketua bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan MTI Djoko Setijowarno juga mempertanyakan keputusan membeli baru itu. “Membeli tiga rangkaian baru apa ada yang menjual?” katanya.
Pertanyaan itu akan berkorelasi erat dengan kebutuhan mendesak KCI hari ini. Dengan 29 rangkaian akan dipensiunkan pada 2023 dan 2024, ada kebutuhan besar akan sarana. Kereta-kereta yang dipensiunkan ini kemudian akan memasuki proses retrofit atau dibugarkan lagi untuk mengisi kebutuhan.
Di saat yang sama, dengan pelonggaran kegiatan menuju masa endemi, pertumbuhan penumpang KRL tak terelakkan. Saat ini saja, angka penumpang sudah di angka 850.000 orang per hari. Di sisi lain ada sarana-sarana yang masih dalam perbaikan. Artinya, kebutuhan sarana angkut itu mendesak.
Untuk itu Aditya juga mempertanyakan, kapan kereta baru itu akan datang. “Kita perlu mengelaborasi kapan datangnya? Kalau datangnya dalam waktu 3 - 6 bulan ke depan ya itu solusi, ketika memang KRL-KRL yang eksisting yang akan dipensiunkan itu masuk masa retrofit,” katanya.
Namun apabila kereta baru itu datangnya baru di 2024 atau 2025, lanjut Aditya, fungsinya kemudian apa? “Kalau tadi fungsinya untuk mengganjal kekurangan armada karena ada yang diretrofit, maka kereta baru tidak bisa kalau datangnya masih setahun dua tahun ke depan,” ujar Aditya.
Adapun dengan keputusan meretrofit kereta, ujar Aditya, memang tidak semua kereta yang akan diretrofit tahun ini lalu dipensiunkan semua. Yang jelas, retrofit itu akan bergantian.
Meski bergantian, Aditya mengajak semua untuk mencermati, proses retrofit itu butuh waktu. PT KCI saat ini mengoperasikan bermacam-macam tipe KRL.
Baca Juga : Peremajaan, KCI Bakal Datangkan Tiga Rangkaian Kereta Baru dan Retrofit 19 Sarana
Dengan tipe KRL yang berbeda-beda, tentu suku cadang yang diperlukan juga macam-macam. Pertanyaan pertama, suku cadang dari KRL yang bermacam-macam tipe itu tersedia atau tidak?
“Kalau tersedia, ok. Kalau tidak tersedia, pertanyaannya akan memproduksi sendiri di dalam negeri, atau impor suku cadang? Kalau impor suku cadang macam-macam, kenapa enggak langsung impor kereta bekasnya? Tapi kalau suku cadangnya bisa diproduksi tapi nanti perlu waktu, ya nanti nunggu lagi,” kata Aditya.
Itu sebabnya upaya membugarkan lagi kereta-kereta yang sudah uzur itu tidak sebentar. Versi KAI, retrofit di Balai Yasa KAI bisa berlangsung 10 - 17 bulan.
Kalau retrofit di INKA mungkin bisa beda lagi waktu yang dibutuhkan. Retrofit ini katakanlah paling cepat bisa setahun atau 10 bulan atau bahkan 17 bulan.
Belum lagi dengan skenario memproduksi 16 rangkaian kereta baru di dalam negeri melalui PT INKA, kereta baru itu juga tidak bisa langsung datang. Kereta-kereta baru dari INKA akan datang bertahap mulai 2025 - 2026.
Untuk jangka panjang, jelas Aditya, langkah pengadaan kereta baik secara impor atau membeli di dalam negeri itu baik. Dengan mengimpor kereta baru, kualitas armada KCI jadi lebih bagus, life time atau masa pakai menjadi lebih lama, sementara biaya perawatan efisien.
Retrofit juga bagus. Kenapa? Langkah retrofit dari kereta eksisting yang bertujuan membugarkan lagi kereta akan memperpanjang usia kereta. Katakanlah bisa lebih panjang 5 - 10 tahun ke depan sehingga sudah pasti 5 - 10 tahun ke depan tidak perlu membeli yang bekas.
Dalam jangka panjang, membeli baru KRL dari INKA juga bagus untuk jangka panjang. Apalagi membeli produksi dalam negeri bagus juga untuk mendukung industri dalam negeri mandiri.
“Artinya dalam jangka panjang, positif. Tinggal nanti pentarifannya membebani masyarakat atau tidak? Membebani negara atau tidak? Akan membebani KCI kalau tidak boleh subsidi,” kata Aditya.
Baca Juga : Sarana Andal Mesti Disediakan untuk Jamin Pelayanan KRL
Namun dalam jangka pendek ini, pada 2023, 2024, dan di awal 2025, PT KCI dihadapkan pada kebutuhan mendesak akan sarana, juga dihadapkan pada pertumbuhan jumlah penumpang, di sisi lain jadwal kedatangan sarana-sarana baru atau hasil retrofit masih perlu waktu. Artinya PT KCI juga penumpang akan menghadapi masalah. Tepatnya kapasitas angkut yang menurun.
“Intinya, siap-siap saja dalam dua tahun ini kapasitas angkut turun, penumpang makin kurang terlayani,” kata Aditya.
Memang, kalau melihat hari ini, sesuai Grafik Perjalanan Kereta (Gapeka) 2023, frekuensi perjalanan naik. Namun belum tentu kapasitas angkutnya bertambah.
Ini bisa jadi karena ada sarana-sarana yang masih dalam perbaikan, atau ada sarana-sarana tertentu masih menunggu suku cadang. Belum lagi penghentian operasi kereta yang sudah uzur. Itu membuat sebetulnya rangkaian KRL atau stamformasi (SF) kereta berkurang dari 12 kereta ke 10 kereta, atau dari 10 kereta ke 8 kereta.
Dengan potensi kapasitas angkut yang bakal turun, lanjut Aditya, dalam jangka pendek ini, di 2023, di 2024, dan di awal 2025 ini pemerintah harus segera mencarikan solusinya. Pemerintah juga harus menjelaskan kepada masyarakat dampak dari setiap skema pemenuhan kebutuhan kereta itu dan solusinya.
“Itu harusnya dijelaskan dalam pengertian, kalau retrofit apa yang terjadi ketika jumlah kapasitas KRL nya berkurang selama sekian bulan atau sekian tahun sementara KRL pengganti belum ada. Itu kan harus ada penjelasannya? Demikian juga ketika KRL baru tidak segera datang, apa solusinya,” ujar Aditya.
Sayangnya, penjelasan juga solusi dari keputusan tersebut dalam jangka pendek ini, menurut Aditya, belum ada. “Atau memang tidak ada solusi, sehingga penumpang harus menderita, harus berkorban dulu selama dua tahun ini, tapi di 2025 akan aman?” katanya.
Ia pun mengemukakan kemungkinan menjadikan KA Bandara sebagai KRL Ekspres untuk menambah kapasitas angkut. Artinya layanan KA Bandara akan diperpanjang sampai Bekasi atau Cikarang atau ke Depok sehingga bisa menjadi layanan KRL Ekspres.
“Sementara KRL-KRL yang ada diretrofit, menggunakan KA Bandara sebagai KRL Ekspres untuk satu atau dua tahun, misalnya,” ujar Aditya.
Baca Juga : Peremajaan KRL Urgen untuk Optimalisasi Layanan
Menurut Aditya, seharusnya pemerintah tetap menjelaskan dampak dari setiap keputusan dan memberi solusi supaya perjalanan berkeselamatan, tetapi tidak mengganggu kapasitas dan kualitas layanan ke masyarakat.