KPAI: Aborsi Ilegal di Kemayoran Kejahatan Luar Biasa
Secara etis, aktivitas aborsi ilegal ini mencederai keamanan dan keadilan masyarakat.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menilai, temuan polisi atas praktik aborsi ilegal di wilayah Kemayoran adalah kejahatan. Pelaku harus mendapatkan hukuman berat.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah, Jumat (30/6/2023), merespons penggerebekan polisi atas sebuah rumah di wilayah Kemayoran, Jakarta Pusat, yang dijadikan sebagai klinik aborsi ilegal.
KPAI menilai itu sebagai kejahatan karena ada rangkaian aktivitas mulai dari menjemput pasien yang akan menjalani aborsi dan menerima pasien itu. Belum lagi, aktivitas itu dijalankan oleh pelaku yang tidak memiliki pengalaman medis.
”Ini ada urusannya dengan materi, ini kejahatan yang luar biasa dan harus dihukum dengan berat,” kata Ai.
KPAI, lanjut Ai, bakal menggali informasi yang lebih detail terkait praktik itu. ”Karena saya punya kekhawatiran nakes (tenaga kesehatan) juga melakukan pratik serupa. Sejauh ini belum ditemukan, tetapi tidak menutup kemungkinan,” ujarnya.
Secara etis, aktivitas aborsi ilegal ini mencederai keamanan dan keadilan masyarakat.
Terpisah, merespons temuan satu rumah tinggal di kawasan Kemayoran yang dijadikan sebagai tempat praktik aborsi oleh pelaku yang tak memiliki latar belakang medis, Ketua Bidang Advokasi dan Legislasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dr Ari Kusuma Januarto, SpOG melalui keterangan video menyatakan, tindakan aborsi harus dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dan wewenang.
”Kompetensi ini penting karena semuanya harus didasarkan atas suatu indikasi, bahkan dilakukan secara prosedur, mulai dari pratindakan sampai setelah tindakan,” katanya.
Ari menegaskan, prosedur itu penting sekali karena semua bertujuan untuk keselamatan pasien. Aborsi memiliki beragam risiko berbahaya. Itu sebabnya, aborsi harus dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dan wewenang.
Yang perlu dipahami, sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75 Ayat (2) disebutkan, tindakan aborsi dilakukan atas indikasi kegawatdaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
Oleh karena itu, lanjutnya, semua tentu memiliki risiko, yaitu risiko medis terhadap si ibu. Risiko medis itu meliputi risiko pendarahan hingga risiko atau dampak buruk akibat pembiusan.
Resiko lain dari aborsi adalah risiko dalam hal kejiwaan. ”Jadi, mental pasien-pasien yang melakukan aborsi ini juga perlu dilakukan suatu pembinaan, suatu pelayanan yang cukup baik. Inilah pentingnya tindakan-tindakan ini dilakukan di fasilitas yang baik dan memang ini harus ditunjuk oleh pemerintah,” katanya.
Ia menjelaskan, saat ini ada sekitar 11 persen perempuan yang tidak menginginkan kehamilan. Alasannya beragam, mulai dari masalah pada janin, kesiapan secara sosial, hingga masalah kesehatannya sendiri.
Terkait tindakan aborsi, menurut Ari, sudah ada regulasi dari pemerintah, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Regulasi atau aturan hukum ini, ujarnya, harus disosialisasikan kepada masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat dapat memahami perbedaan aborsi medis dan aborsi yang terkait kejahatan atau kriminalitas.
Bahkan, dalam PP Nomor 61, lanjutnya, sudah diatur siapa yang berhak dan memiliki wewenang melakukan aborsi serta fasilitas yang ditunjuk oleh pemerintah. ”Ini semua sudah tertera. Tinggal dijalankan. Siapa yang menerapkan? Ya, tentu semua dari pemerintah. Kami dari profesi siap membantu, siap mendampingi, bersama-sama untuk menjalankan hal tersebut,” katanya.
Ai menambahkan, terkait temuan itu, KPAI akan melakukan pengawasan yang lebih ketat. KPAI juga menyilakan kepolisian melakukan penegakan hukum dań melakukan pengembangan.