Jadi Obyek Penertiban Satpol PP, ”Pak Ogah” Seberapa Dibutuhkan?
Pak ogah masih menjadi ladang mencari cuan. Di sisi lain, keberadaan manusia untuk mengatur lalu lintas terbukti masih dibutuhkan di tengah kerumitan jalanan Jakarta.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 316 pengatur lalu lintas ilegal yang biasa disebut "pak ogah" ditertibkan Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta tahun 2023. Pak ogah masih menjadi ladang bagi mereka para pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial atau PPKS. Di sisi lain, keberadaan manusia untuk mengatur lalu lintas terbukti masih dibutuhkan di tengah kerumitan jalanan Jakarta.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta mencatat, sejak 9 Februari hingga 27 Juni 2023, mereka menertibkan 316 pengatur lalu lintas ilegal atau pak ogah dalam kegiatan Patroli Penjangkauan PPKS di berbagai wilayah Jakarta. Terakhir, Selasa (27/6/2023), satpol PP melakukan operasi di wilayah Jakarta Utara.
”Total hasil penjangkauan pada hari ini sejumlah 20 orang,” kata Kepala Satpol PP Provinsi DKI Jakarta Arifin dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (28/6/2023).
Operasi terpadu dipimpin oleh Kepala Satpol PP Jakarta Utara dan didampingi Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Utara itu menjangkau beberapa wilayah sasaran. Wilayah itu, antara lain, Jalan Yos Sudarso, Jalan Raya Cilincing, Jalan Raya Cakung, Jalan Boulevard Raya, Jalan Danau Sunter Utara, dan Jalan Danau Sunter Selatan. Sebanyak 15 pak ogah dijangkau oleh tim patroli di wilayah tersebut.
Adapun di wilayah Jalan Gunung Sahari, Kelurahan Pademangan Barat, mereka menertibkan dua pak ogah dan di wilayah Koja terjangkau tiga orang.
”Seluruhnya sudah diantarkan oleh petugas patroli satpol PP ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya di Cipayung, Jakarta Timur, maupun di Kedoya, Jakarta Barat, untuk penanganan lebih lanjut oleh Dinas Sosial,” kata Arifin.
Patroli rutin oleh Satpol PP DKI bersama unsur-unsur terkait lainnya menjadi upaya pengendalian ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat kota Jakarta.
Pak ogah umumnya adalah masyarakat sipil yang turun ke jalan untuk mengatur lalu lintas dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari uang yang diberikan pengguna jalan. Ilham (27), pak ogah di Jalan Pesanggarahan, Jakarta Barat, yang biasa berjaga di putaran jalan, bisa mengantongi Rp 150.000 sampai Rp 350.000 sehari (Kompas.id, 11/2/2023).
Meski tidak diatur dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, keberadaan pak ogah tetap ilegal. Dalam beberapa kasus, pak ogah melanggar aturan pidana karena mengarah pada pemalakan dan pemerasan.
Ketua Forum Transportasi Perkotaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Budi Yulianto mengamati, pak ogah biasa mengisi kekosongan pengatur lalu lintas resmi, seperti dinas perhubungan dan polisi lalu lintas. Mereka umumnya memanfaatkan kepadatan kendaraan di jalan-jalan minor tanpa rambu bersinyal, seperti lampu merah.
Sayangnya, orientasi ekonomi pak ogah bisa menambah kerumitan berlalu lintas. ”Mereka akan memberikan prioritas simpang mana yang akan kasih uang lebih banyak. Ini seharusnya enggak boleh. Mereka dan masyarakat harus diberi pemahaman konsep lalu lintas,” ujarnya.
Penertiban pak ogah dan penanganan dengan pendekatan sosial dinilai bisa menjadi cara untuk mengatasi masalah tambahan di jalanan. Bagaimanapun, ia menilai, kota seperti Jakarta tetap membutuhkan sumber daya manusia tambahan untuk menertibkan lalu lintas.
Salah satu alasan kenapa dibutuhkan, menurutnya, belum banyak pengguna kendaraan yang memahami aturan right of way di persimpangan atau putaran jalan. Ini mengatur posisi kendaraan mana yang berhak meneruskam jalurnya dan siapa yang harus menghindar atau menunggu giliran. Selain minimnya pemahaman, beragamnya jenis kendaraan di Jakarta juga menjadi faktor sulitnya aturan ini diikuti.
Adanya alat pengendali jalan, seperti di persimpangan, putaran balik, atau bundaran, bisa membantu. Jika tidak dimungkinkan, pengaturan secara manual bisa diadakan. Dalam hal ini, otoritas pengatur jalan bisa bermitra dengan masyarakat agar fenomena pak ogah tidak muncul.
”Dulu pengaturan simpang menggunakan bantuan manusia karena manusia lebih paham melihat situasi dan kondisi di jalan. Tetapi, orang ini harus terdidik dan paham keselamatan berlalu lintas. Ini biasa dikenal dengan supeltas (sukarelawan pengatur lalu lintas),” kata Budi.
Kehadiran supeltas sempat diwacanakan di Jakarta pada 2017 lalu. Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya mengusulkan pengadaan supeltas kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kamar Dagang dan Industri Jakarta. Supeltas ini direncanakan diberdayakan dan diberi honor sesuai dengan upah minimum provinsi.
Sayangnya, Pemerintah Provinsi DKI dan Kadin tidak kunjung mengabulkan permintaan ini agar mendapat alokasi khusus di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan, ada dorongan agar Polda Metro Jaya menggunakan dana hibah mereka untuk mengupahi supeltas jika diperlukan (Kompas, 26/8/2017). Hingga saat ini, wacana pengadaan supeltas itu tidak berlanjut.