Fasilitas RDF Bantu Kurangi Beban Sampah di Bantargebang
Pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif atau ”refused derived fuel” (RDF) diharapkan mengurangi sampah di TPST Bantargebang yang terus meningkat. Hal ini juga membantu industri mengurangi konsumsi batu baranya.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fasilitas pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang diharapkan bisa membantu pemecahan masalah penumpukan sampah di wilayah tersebut. Inovasi ini bisa membantu industri mengurangi ketergantungannya terhadap batu bara sebagai bahan bakar utama yang tidak ramah lingkungan.
Dalam acara pengiriman perdana bahan bakar alternatif di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Selasa (27/6/2023), Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyampaikan, kehadiran fasilitas landfill mining (tambang sampah) dan pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif (refused derived fuel/ RDF) plant menjadi solusi untuk menanggulangi tumpukan sampah yang terus menggunung di tempat tersebut. Dengan adanya fasilitas ini, sebanyak 2.000 ton sampah dapat diolah menjadi 700 ton RDF per hari.
RDF dapat dimanfaatkan sebagai pengganti batu bara yang masih menjadi bahan bakar utama dalam produksi semen. Untuk itu, upaya ini juga dapat menurunkan ketergantungan industri terhadap komoditas emas hitam tersebut.
Pada tahap awal, sampah yang sudah diolah menjadi RDF tersebut akan digunakan untuk bahan bakar di dua pabrik semen, yaitu PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk di Citeureup dan PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) Tbk di Narogong, Jawa Barat.
”Kami tidak berhenti berinovasi untuk menyelesaikan masalah sampah. Semoga hasil RDF ini baik, sesuai permintaan industri. Hari ini, kita kirim ke Indocement sebesar 625 ton dan SBI sebesar 75 ton,” ujarnya.
Selain untuk mengurangi tumpukan sampah, fasilitas ini juga memberi peluang bagi Pemprov DKI Jakarta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Berdasarkan skema kerja sama yang disepakati, harga jual terendah RDF yang ditetapkan sebesar 24 dollar AS per ton atau sekitar Rp 360.624, mengacu pada nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate BI per Senin (26/6/2023). Namun, harga ini juga berfluktuasi, mengikuti kualitas RDF yang diproduksi dari TPST Bantargebang.
Dengan adanya skema ini, Pemprov DKI Jakarta tidak lagi harus mengeluarkan tipping fee atau mengeluarkan biaya untuk membayar pihak pengolah sampah. Hal itu karena anggaran tipping fee akan difokuskan untuk mengembangkan fasilitas RDF. Pada tahun 2024, Pemprov DKI berencana untuk membangun fasilitas serupa di Rorotan, Jakarta Utara, dan Pegadungan, Jakarta Selatan.
”Sekarang Jakarta mendapatkan pendapatan tambahan, tidak lagi mengeluarkan biaya. Pendapatan ini bisa digunakan untuk merawat fasilitas ini. Kebutuhan dari industri semen itu 2.500 ton RDF per hari, sekarang produksi hanya 700 ton per hari, masih ada ruang untuk pengembangan,” ujarnya.
Sekarang Jakarta mendapatkan pendapatan tambahan, tidak lagi mengeluarkan biaya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto menerangkan, adanya fasilitas pengolahan ini bisa mengurangi beban sampah yang terus meningkat di TPST Bantargebang. Berdasarkan data timbangan TPST Bantargebang, rata-rata jumlah sampah yang masuk telah mencapai 7.228 ton per hari pada tahun 2021 atau meningkat sekitar 27 persen dari rata-rata sampah tahun 2015 sebesar 5.655 ton per hari.
Untuk itu, dari 2.000 ton sampah yang diolah menjadi RDF, sebanyak 1.000 ton berasal dari tumpukan sampah lama berusia enam tahun lebih yang didapatkan lewat metode landfill mining. Dengan metode itu, sampah lama yang berasal dari zona tidak aktif TPST Bantargebang akan dicacah dan dihaluskan sehingga berubah menjadi ukuran tertentu yang nantinya digunakan sebagai bahan baku RDF. Sisa sampah lama yang tidak sesuai standar RDF akan dijadikan sebagai tanah humus yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat menanam tumbuhan.
”Dari 1.000 ton sampah baru, sekitar 40 persen bisa menjadi RDF, 15 persen residu, dan sisanya menjadi limbah cair. Sementara 1.000 ton sampah lama, sebanyak 35 persen bisa menjadi RDF, lalu 40 persen jadi tanah humus, sisanya menjadi limbah cair yang nantinya akan menguap,” ucapnya.
Tahap awal
Proyek pembangunan RDF Plant menggunakan lahan seluas 7,5 hektar, dan dimulai pada Februari 2022, lalu selesai pada Desember 2022. Proses pembangunannya dikerjakan PT Adhi Karya (Persero) Tbk bersama PT jaya Konstruksi, dan menelan biaya Rp 872 milliar.
Direktur Utama PT SBI Lilik Unggul Raharjo menjelaskan, inovasi ini diharapkan menjadi inspirasi bagi daerah untuk mengelola sampahnya. Akan tetapi, solusi ini memang masih terbatas bagi daerah yang memiliki industri semen di wilayahnya. Prakarsa awal program ini berasal dari fasilitas RDF Plant yang sudah dimanfaatkan PT SBI di Cilacap, Jawa Tengah, sejak 2020 lalu.
Untuk sementara, kerja sama antara PT SBI, Indocement, dan Pemprov DKI Jakarta akan berlangsung hingga tiga bulan ke depan. Bila dari uji coba berjalan lancar, kerja sama akan dilanjutkan ke tahap komersialisasi. Ia menyebut, kualitas RDF yang diproduksi dari TPST Bantargebang sudah cukup baik, tetapi masih perlu dipantau konsistensinya.
Mengenai kualitas, RDF produksi TPST Bantargebang sudah mampu 4.000-5.000 kilokalori (kkal) per kilogram. Angka ini sudah memenuhi standar minimum yang diminta kedua perusahaan semen tersebut, yakni 3.200 kkal per kilogram. Standar ini penting agar RDF dapat memberi hasil yang optimal.
”Kini masih tahap commissioning (pengujian), lalu setelahnya ada komersialisasi. Sekarang PT SBI sudah sebesar 20 sudah dari bahan bakar alternatif, semoga bisa ditingkatkan lagi. Di Cilacap sudah 14 persen. Semoga menjadi inspirasi bagi penanggulangan masalah sampah di perkotaan,” tuturnya.