Peternakan Sapi di Tengah Jakarta, Puluhan Tahun Limbah Tak Tertangani
Belum ada larangan tegas pengelolaan limbah kotoran hewan di Jakarta membuat warga di sekitar peternakan dirugikan. Dugaan pencemaran akibat peternakan di Cikoko, Pancoran, bisa menjadi awal mula lahirnya aturan itu.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Belum adanya aturan yang memadai terkait aturan dan persyaratan peternakan di tengah Kota Jakarta membuat pengolahan limbah kotoran hewan merugikan warga. Diperlukan koordinasi semua pihak mengingat permasalahan ini membutuhkan pendekatan lintas sektor.
Warga RT 005 RW 005 Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan, Hasan Al Habshy (35), menerangkan, kecurigaan terhadap adanya limbah kotoran sapi di wilayahnya muncul akibat banyaknya nyamuk di rumahnya yang menyebabkan istrinya yang sedang hamil demam tinggi. Saat mencari sumber nyamuk, ia menemukan kotoran hewan yang tersendat di selokan di depan rumahnya.
Hasan yang baru pindah ke kawasan tersebut awal tahun ini baru mengetahui terdapat beberapa peternakan sapi di wilayah tersebut. Dirinya menduga, kotoran hewan itu berasal dari tempat tersebut. Tidak hanya mendatangkan nyamuk, tersendatnya selokan air di RT 005 dan RT 007 membuat saluran air di kamar mandinya yang terhubung dengan selokan meluap.
Dari hasil mediasi bersama pihak kelurahan, solusi awal yang akan ditempuh adalah memperlebar saluran air agar tidak ada lagi sendatan. Namun, solusi tersebut hanya jangka pendek dan berharap pemerintah membuat aturan yang lebih tegas lagi. Ia juga berharap agar ia dan warga diberikan kepastian mengenai dinas mana yang harus bertanggung jawab terkait masalah ini.
”Ternyata masalah ini sudah sejak tahun 2002. Sudah lama warga mengeluhkan hal ini. Saya lapor lewat JAKI, statusnya sudah selesai ditangani, tetapi kenyataannya tidak. Saya harap juga pemerintah tidak saling lempar tanggung jawab,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Pancoran, Senin (26/6/2023).
Dihubungi terpisah, Kepala Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan Jakarta Selatan Hasudungan Sidabalok menerangkan, pihaknya masih menunggu hasil uji laboratorium dari pihak Pal Jaya terkait kandungan cemaran kotoran hewan di saluran air di wilayah tersebut.
Selama ini, pemerintah selalu mengimbau masyarakat untuk mengolah limbah kotoran dengan benar. Salah satunya memisahkan limbah cair, seperti sisa air mandi hewan, dan limbah padat, seperti kotoran hewan. Keduanya tidak boleh dibuang bersamaan ke saluran umum. Kendati demikian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki aturan mengenai larangan pembuangan limbah hewan ternak. Peraturan mengenai spesifikasi teknis peternakan sapi di tengah kota pun masih minim.
”Peternakan sapi di Jakarta ini sudah berlangsung sejak tahun 1970-an, sudah hampir tiga generasi. Kami selalu menekankan peternak untuk menjaga lingkungan, seperti memisahkan limbah cair dan limbah padat. Namun, hingga kini, masih belum ada aturan mengenai larangan buang limbah ke saluran air,” ujarnya.
Hasudungan menjelaskan, terdapat beberapa cara dapat ditempuh dalam mengolah limbah peternakan dengan benar. Pertama, peternak diminta membuat bak penampungan kotoran hewan. Kotoran akan diangkut lalu dibuang ke tempat yang sesuai. Kotoran hewan yang ditampung juga bisa diolah menjadi pupuk.
Jakarta belum memiliki aturan terkait standar pengolahan limbah peternakan. Semoga dengan adanya kasus Cikoko ini bisa menjadi awal mula pembahasan mengenai itu.
Kedua, dengan memanfaatkan fasilitas pengolahan kotoran menjadi biogas. Namun, cara ini kurang efektif, mengingat listrik yang dibutuhkan cukup besar. Selain itu, fasilitas biogas memerlukan populasi sapi yang besar. Hal ini tidak sesuai dengan peternakan sapi di Jakarta yang berskala kecil.
”Agar pengendalian limbah dapat dilakukan dengan lebih tepat, peternak juga perlu mengurangi jumlah sapi agar pengolahannya bisa maksimal. Beberapa sudah tidak sesuai antara jumlah sapi yang diternak dan luasan lahan yang ditetapkan,” kata Hasudungan.
Menanggapi keluhan warga, pemilik peternakan sapi yang diduga sebagai sumber pencemaran, Burhan (45), menjelaskan, ia sudah membangun bak kontrol sebagai tempat penampungan kotoran sapi agar tidak lagi masuk ke saluran air umum. Namun, spesifikasi teknis mengenai bak tersebut ia ukur sendiri karena belum adanya aturan rinci mengenai cara pengolahan limbah di dalam kota.
Peternakan yang dimiliki Burhan sudah ada sejak tahun 1968. Pemerintah menawarkan solusi dengan memasang fasilitas biogas, tetapi kurangnya pemeliharaan membuat alat tersebut tidak berfungsi dengan baik.
”Saya inisiatif buat bak penampungan sendiri, tetapi terkadang masih rembes ke tanah dan meluber juga. Saya belum mendapatkan informasi ukuran bak yang tepat itu seperti apa dan lainnya,” ujarnya.
Lurah Cikoko Fitriyanti menjelaskan, terdapat tiga peternakan sapi yang ada di wilayahnya. Dari tiga peternakan tersebut, terdapat satu peternakan, yaitu milik Burhan, yang masih membuang limbah padat ke saluran umum. Berdasarkan pembicaraan awal bersama dengan Dinas Sumber Daya Air (SDA) dan Pal Jaya, pemerintah akan memperluas saluran air agar pembuangan limbah lebih lancar dan tidak membuat saluran air warga tersendat.
Namun, ini masih solusi awal, ke depan ia berharap dinas terkait dapat membuat aturan teknis mengenai pengolahan limbah peternakan di dalam kota. Fitri menambahkan, koordinasi terus dilakukan mengingat permasalahan ini melibatkan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas SDA, dan Pal Jaya.
”Ini urusan dinas teknis ya, koordinasinya lintas teknis. Ternyata belum ada aturan tegas mengenai larangan membuang limbah kotoran hewan ke saluran umum. Saya harapkan kasus di Cikoko ini bisa jadi awal bagi pemerintah di tingkat yang lebih tinggi untuk membentuk aturan tersebut,” ujarnya.