Hidup Sulit di Jakarta, Saat Mati Pun Lahan Makam Sulit Didapat
Setiap orang yang meninggal sewajarnya mendapat tempat peristirahatan terakhir yang layak. Namun, privilese itu tak mudah didapatkan di Jakarta.
Akhir hayat Sudarto (39) penuh kegetiran. Dia meninggal dalam keadaan miskin dan tidak memiliki identitas kependudukan di rumahnya pada 4 Mei 2023 silam. Rumahnya berukuran sepetak dengan lebar sekitar 2 meter dan menyempil di antara gang sempit lingkungan RT 002 RW 014 Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. RT itu dihuni 91 keluarga.
Kala itu waktu menunjukkan pukul 09.00. Julianto (18), keponakan Sudarto, hendak menawarkan sarapan bubur kepada pamannya. Sekonyong-konyong, siswa kelas akhir sekolah menengah atas itu menemukan badan kurus yang terbujur kaku.
Komplikasi penyakit gula diduga merenggut nyawa Sudarto. Dia berpulang setelah hampir seminggu dalam ketidakberdayaan. Selama masa itu, tetangganya turut mengurusi pengobatan dan perawatan karena tidak ada keluarga lain yang bisa mengurus dan punya uang yang cukup.
Pria kelahiran Jakarta itu sudah lama terbelenggu kemiskinan. Dia hanya bekerja serabutan. Kali terakhir, pekerjaannya sebagai kuli bangunan membuatnya jarang pulang ke rumah bekas peninggalan keluarganya.
Rumah itu tidak terurus. Atap bagian depan nyaris roboh, dan lantainya tidak berubin. Pengurus warga mendaftarkan rumah tersebut dalam program bedah rumah di satu lembaga bantuan sosial, tetapi belum kesampaian hingga saat ini.
Kematian Sudarto yang mendadak membuat Indarti, sebagai tetangga sebelah rumah dan pengurus RT, sigap mengurus proses pemakaman. Indarti meminta sumbangan dana dari warga karena tahu kondisi ekonomi almarhum yang sulit.
Dalam waktu singkat, dia dibantu warganya mampu mengumpulkan uang sampai Rp 4 juta. Namun, uang itu nyatanya tidak cukup.
”Awalnya kami cari pemakaman wakaf yang paling dekat di sini (sekitar 1 km), tetapi butuh Rp 8 juta. Itu baru pemakaman saja, belum proses memandikan, ambulans, dan lain-lain. Akhirnya kami cari lagi tempat pemakaman yang agak ringan (biayanya). Ketemu di Gang Seha, Kebayoran, dapat Rp 4 juta,” tutur Indarti, Rabu (7/6/2023).
Biaya pemakaman Sudarto menjadi mahal karena dia tidak punya kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Tanpa kedua kartu itu, Sudarto tidak bisa mendapatkan hak-haknya sebagai warga Jakarta untuk pemakaman gratis di taman pemakaman umum (TPU) milik pemerintah daerah.
”Kalau seandainya ada identitas, enggak sampai segitu. Seandainya ada, di pemakaman terakhir yang kami temukan cuma dikenai biaya Rp 1,5 juta,” kata Indarti.
Baca juga: Uang Receh, Bernilai Penting dan Penyelamat di Kala Sulit
Masalah liang lahat terpecahkan. Kini muncul persoalan lain. Biaya untuk proses pemakaman Sudarto masih kurang. Indarti lalu sekali lagi mengumpulkan uang sumbangan dari warga. Didapatkan uang tambahan Rp 2 juta sebelum azan zuhur berkumandang.
Uang itu cukup untuk membiayai kebutuhan pemandian jenazah senilai Rp 500.000, ambulans sebesar Rp 500.000, dan perlengkapan penguburan sampai Rp 550.000. Tidak lupa sumbangan untuk ustaz yang mengimami sholat jenazah sebesar Rp 300.000.
Indarti bersyukur warganya masih peduli dengan tetangga yang benar-benar membutuhkan di kala duka. Namun, ia jadi ikut memikirkan nasibnya jika meninggal dalam keadaan tidak berkecukupan dana. ”Bayangin gimana kita meninggal enggak ada dana sama sekali. Bagaimana perasaannya warga kalau harus dimintai sumbangan untuk kita,” ujar Indarti.
Istri dan anak saya yang meninggal pada 2010 harus dikubur secara tumpang bersama makam kakek dan nenek saya yang juga jadi satu.
Dekat rumah
Selain faktor biaya, keistimewaan untuk dapat mendapatkan petak makam baru juga sulit dicapai bagi sebagian warga di daerah Grogol Utara. Hendra Diarto (59), yang lahir dan besar di kawasan itu, kini sudah memikirkan di mana dan bagaimana ia akan dimakamkan nanti kalau telah dipanggil Yang Maha Kuasa.
”Maunya sih tidak jauh dari rumah atau dimakamkan dekat kuburan keluarga saya lainnya. Mau harus ditumpang pun enggak apa-apa,” kata Hendra.
Pensiunan pegawai negeri sipil itu sudah lama menyadari akses warga ke pemakaman dekat rumah sangat terbatas. Beberapa anggota keluarganya saja, seperti kakek dan nenek, istri, dan seorang anaknya, dimakamkan sekitar 1 kilometer dari tempatnya tinggal.
Di sana ada pemakaman wakaf yang luasnya tidak seberapa. Dia sudah lama tahu bahwa pemakaman itu tidak bisa lagi membuka lahan baru karena sudah dikelilingi perumahan. Pemakaman itu tetap dipilih keluarganya meskipun dalam jarak sekitar 1,4 km dari rumahnya juga terdapat TPU Grogol Kemanggisan, milik pemerintah.
”Istri dan anak saya yang meninggal tahun 2010 harus dikubur secara tumpang bersama makam kakek dan nenek saya yang juga jadi satu,” ucap Hendra.
Alasan untuk memilih kuburan dekat rumah adalah agar keluarganya dapat mudah berziarah dan mengurus makamnya meski hanya beberapa kali setahun. Dia pun tidak masalah jika harus membayar mahal jika masih bisa dimakamkan di kuburan wakaf tempat keluarga lainnya disemayamkan.
”Selain kondisi di makam itu sudah penuh, biaya makam juga memang naik terus. Dulu pada 2010 kalau buka petak baru kena Rp 1,5 juta. Tahun ini saya dengar Rp 8 juta. Biaya retribusi juga lebih mahal dari makam punya pemerintah, bisa Rp 100.000 setahun,” tutur Hendra.
Itulah konsekuensi dari memilih layanan pemakaman wakaf. Biaya pemakaman dan layanannya ditentukan oleh masing-masing pengelola. Berbeda dengan pemakaman milik pemerintah yang memberi kepastian biaya agar terjangkau bagi penduduk yang mengikuti aturan.
Makam tumpang
Terbatasnya lahan pemakaman dan keinginan dimakamkan dekat tempat tinggal akhirnya berujung makam tumpang. Dalam satu kuburan terdapat paling tidak tiga jasad yang umumnya keluarga sedarah.
Pada Selasa (6/6/2023) siang, langit kelabu dan dan berangin mengiringi pemakaman tumpang di Blad 18 TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Empat petugas makam merapikan jenazah ibu dan bapak sebelum memakamkan anaknya yang meninggal sehari sebelumnya.
Sikap sebagai koordinator lapangan petugas TPU Tanah Kusir memastikan penggalian, perapian, dan pemakaman itu berjalan lancar. ”Lahan terbatas, kami ikuti kondisi makam awal. Begitu ketemu jenazah lama, kami rapikan, bikin liang baru sesuai postur almarhum, lalu tutup tanah sekitar 5 cm antarjasad,” kata Sikap.
TPU Tanah Kusir dengan luas 52 hektar sudah terisi oleh 64.990 petak makam. Tak pelak hanya tersedia pemakaman tumpang.
Warga sekitar Tanah Kusir, misalnya, penginnya di TPU Tanah Kusir, padahal kondisinya sudah penuh. Kami tawarkan ke Menteng Pulo, tetapi mereka menganggap jauh, mereka lebih senang dekat rumah.
Kepala Seksi Jalur Hijau dan Pemakaman Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Selatan Arwin Adlin Barus menyebutkan, di Jakarta Selatan masih tersedia lahan untuk petak makam baru. Lahan itu tersedia di TPU Menteng Pulo, TPU Srengseng Sawah, TPU Kampung Kandang, TPU Pasar Minggu, dan TPU Cidodol.
Masyarakat bisa dimakamkan di petak baru setelah Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta selesai menata dan membangun sarana seperti jalan, trotoar, lampu penerangan, kantor, dan lainnya.
Namun, lahan itu kerap tidak dimanfaatkan warga setempat karena mereka memilih makam yang dekat dengan tempat tinggal.
”Warga sekitar Tanah Kusir, misalnya, penginnya di TPU Tanah Kusir, padahal kondisinya sudah penuh. Kami tawarkan ke Menteng Pulo, tetapi mereka menganggap jauh, mereka lebih senang dekat rumah,” kata Arwin.
Padahal, warga Jakarta bisa dimakamkan lintas wilayah administratif. Syaratnya punya KTP Jakarta dan surat keterangan kematian dari puskesmas atau rumah sakit di Jakarta bagi warga luar Jakarta.
”Kami bisa akomodasi. Bahkan, layani warga dari daerah administrasi pusat, barat, karena TPU mereka penuh dan sulit untuk buat permohonan di dekat rumah,” ucap Arwin.
Baca juga: Kisah Duo Kembar ”Preorder iPhone” di Balik Hilangnya Uang Miliaran Rupiah
Untuk wilayah Jakarta Selatan rata-rata berlangsung 30-40 layanan pemakaman setiap hari. Selain warga ber-KTP Jakarta, sebagian dari mereka yang dilayani juga bisa warga luar daerah yang meninggal dunia di Jakarta, sebagaimana diizinkan pemerintah daerah.
Hidup dan mati di Jakarta sama-sama punya kegetirannya. Hidup serba sulit dalam belenggu kemiskinan. Mati pun sukar mendapatkan rumah peristirahatan terakhir.