Uang Receh, Bernilai Penting dan Penyelamat di Kala Sulit
Dalam beberapa transaksi jual-beli, terjadi ketidaksetaraan antara pedagang dan konsumen, seperti penolakan uang pecahan Rp 100-Rp 200, pengembalian uang diganti permen, dan penawaran pengembalian uang untuk donasi.
Suasana warung makan Bahari di Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu (4/6/2023) siang, tiba-tiba ramai oleh sejumlah warga. Bukan karena antrean untuk makan siang, tetapi ramai karena keributan dan perdebatan pemilik warung dan pembeli terkait transaksi menggunakan uang Rp 100 dan Rp 200.
Pemilik warung itu tidak menerima pelanggannya yang bernama Yudha (27) membayar bungkusan makan berisi sayur, tempe, telur dadar, dan es teh tawar dengan uang receh pecahan Rp 100, Rp 200, Rp 500 senilai total Rp 20.000.
Yudha merasa heran pemilik warung tidak menerima uangnya padahal uang itu masih berlaku. Sementara pemilik warung merasa ia dirugikan dengan transaksi melalui uang receh Rp 100 dan Rp 200.
”Orang itu hanya menerima koin Rp 500 dan Rp 1.000, yang Rp 100 dan Rp 200 enggak mau terima karena dibilang tidak laku. Lah, gimana bisa tidak laku? Sejak kapan tidak laku koin itu? Dia memaksa untuk mengembalikan bungkusan makan atau melunasi sisa Rp 8.500 dengan uang pas,” kata Yudha.
Saat itu Yudha mendapatkan pembelaan dari sejumlah warga bahwa uang Rp 100 dan Rp 200 masih berlaku dan meminta pemilik warung untuk menerima uang itu. Namun, pemilik warung tegas menolak dan teguh mengatakan uang receh itu tidak laku, ia tak mau merugi.
Baca juga: Toko Kelontong Beradaptasi demi Layani Kaum Urban
Perdebatan itu akhirnya berhenti saat seorang warga mau membayar sisa pembayaran Yudha sebesar Rp 8.500 kepada pemilik warung itu. ”Saya tolak bantuan bapak itu. Saya balikin juga bungkus makanan itu. Enggak apa-apa biarin cari tempat makan lainnya yang mau terima. Biar dia tahu uang receh ini berharga dan berlaku,” katanya kesal.
Peristiwa serupa juga dialami Adrian (34) saat berbelanja di salah satu toko kelontong di Palmerah Selatan, Jakarta, Senin (5/6/2023). Uang receh senilai Rp 12.000 miliknya langsung ditolak oleh penjual toko.
”Lagi hitung uang Rp 200 senilai Rp 4.000, tiba-tiba mbaknya langsung menolak dan bilang tidak mau terima karena tidak laku. Seenaknya mengatur dan menolak uang yang sah ini. Bank Indonesia dan negara belum menarik uang ini, uang ini masih berlaku,” ujar Adrian.
Pengalaman itu ternyata bukan pertama kali bagi Adrian saat ingin berbelanja menggunakan uang pecahan logam itu. Bagi ayah satu anak itu, tindakan pedagang kelontong yang menolak uang receh sangat merugikannya.
”Kita ini pejuang uang receh. Kita kumpulkan dan gunakan jika uang sudah tipis. Uang darurat yang sangat menolong di waktu tertentu tetapi malah ditolak. Uang receh itu sangat berarti untuk menyambung hidup. Saya tersinggung dengan penolak pembayaran menggunakan uang receh karena ini uang negara yang sah,” katanya.
Di sisi lainnya, Alo (25), pedagang warung makan, dan Syukur (34), pedagang toko kelontong, sepakat mengatakan, uang receh Rp 100 dan Rp 200 tidak laku. Hal itu karena mereka menjual produk dengan harga genap atau bulat untuk untuk memudahkan transaksional, misalnya Rp 1.500, Rp 2.000, Rp 2.500 dan seterusnya. Mereka tidak menjual produk dengan nominal ganjil yang mengandung nilai Rp 100, Rp 200, Rp 300, Rp 600, Rp 700, dan seterusnya.
”Karena pelanggan juga kadang tidak terima kalau dikasih kembalian uang receh seratusan dua ratusan itu. Lalu, biar enggak repot harganya dibuletin, digenepin aja. Masalahnya lagi enggak pakai uang itu karena susah nyarinya, peredarannya sedikit enggak kayak uang Rp 1.000 ke atas. Kami repot untuk memenuhi dan mencari uang pecahannya,” kata Syukur.
Namun, tak semua toko-toko kecil menolak transaksi jual beli menggunakan uang receh pecahan Rp 100 dan Rp 200. Salah satunya Juni (47). Ia sama sekali tidak keberatan jika ada konsumen yang membayar dengan uang receh karena masih berlaku. Tak hanya uang receh, ia bahkan kerap menerima uang lusuh dan robek.
Menurut dia, uang receh itu masih sangat diperlukan tidak hanya untuk uang kembalian, tetapi juga sangat dibutuhkan saat ia berbelanja di toko ritel atau toko sembako untuk memenuhi kebutuhan penjualan produk-produk di toko kelontongnya.
”Ada pelanggan yang enggak mau dikembalikan dengan permen masalahnya, jadi ya saya butuh uang receh itu. Lalu, beli gelas, kantong, gula, kopi-kopian, minuman saset, minuman botolan, dan lainnya itu di pasar ada harga tetapnya. Tidak semua harganya itu genap, pasti ada nilai Rp 200 atau Rp 700. Masa ada pelanggan bayar receh ditolak, lah dia adanya uang itu,” kata Juni.
Juni menilai, menolak transaksi jual-beli menggunakan uang receh justru merugikan pedagang karena kehilangan pelanggan dan barang dagangan jadi tidak laku sehingga bisa menghambat perputaran modal usaha di kemudian hari. ”Uang itu saya terima, sebagian saya masukin kotak amal sebagian saya tukar lagi ke toko besar,” kata Juni.
Nilai penting
Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Marlison Hakim mengatakan, berdasarkan hasil survei BI terkait preferensi penggunaan instrumen pembayaran di masyarakat pada tahun 2022, sekitar 40 persen responden masih memerlukan uang rupiah logam pecahan Rp 100 dan Rp 200.
Dengan demikian, pecahan uang logam itu masih diperlukan oleh masyarakat dalam transaksi jual-beli secara tunai. BI memiliki kewajiban menyediakan uang tunai dalam jumlah yang cukup, sesuai kebutuhan, dan kualitas layak edar, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Baca juga: Ekonomi Lato-lato
Adapun jumlah uang yang diedarkan (UYD) seperti uang rupiah logam pecahan Rp 100 pada triwulan I-2022 sekitar Rp 842 miliar. Sementara UYD Rp 200 pada triwulan II-2022 mencapai Rp 955,0 miliar.
”Uang rupiah logam pecahan Rp 100 dan Rp 200 memiliki peranan penting dalam mendukung kelancaran sistem pembayaran dan kegiatan perekonomian khususnya di kalangan masyarakat yang memiliki preferensi tinggi terhadap penggunaan uang kartal,” ujarnya.
Bank Indonesia, kata Marlison, juga menyayangkan fenomena atau sikap pedagang dalam bertransaksi menggunakan kembalian permen. Sementara melalui berbagai implementasi kebijakan, BI telah memenuhi ketersediaan uang rupiah dalam berbagai pecahan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan transaksi pembayaran di masyarakat.
”Bagi masyarakat atau pedagang yang memerlukan uang logam dalam pecahan apa pun dapat menukar di BI atau perbankan. Pada saat bertransaksi, konsumen memiliki hak untuk menolak kembalian pembayaran dalam bentuk permen atau barang pengganti lainnya dan dapat meminta kembalian pembayaran dalam bentuk uang rupiah,” ujarnya, Rabu (7/6/2023).
Marlison melanjutkan, BI terus mendorong peningkatan literasi dan akseptasi masyarakat untuk menggunakan serta menerima uang rupiah logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Selain itu, penguatan edukasi sesuai kampanye ”Cinta Bangga Paham Rupiah” terus pula didorong melalui sinergi dengan berbagai pihak salah satunya dengan media.
”Kepada masyarakat atau pedagang, toko, dalam transaksi pembayaran wajib menggunakan rupiah, wajib menerima rupiah dalam transaksi pembayaran termasuk uang logam dalam pecahan apa pun,” kata Marlison.
Ketidaksetaraan
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Agus Suyatno, mengatakan, dari beberapa kasus transaksi jual-beli terjadi ketidaksetaraan antara pedagang dan konsumen.
Pedagang atau pembeli yang tidak menerima uang receh tentu menyalahi aturan seperti yang diatur dalam UU Mata Uang. UU itu menyebutkan, pedagang yang tidak mau menerima pembayaran uang receh yang masih berlaku bisa dikenakan sanksi pidana 1 tahun dan denda hingga Rp 200 juta.
”Ini memang harus dipahami oleh kedua belah pihak dalam hal kesetaraan dan perlindungan bersama dalam jual-beli. Tidak saling merugikan. Jika pedagang tidak terima artinya ada ketidaksetaraan, begitu pula sebaliknya,” kata Agus.
Ada beberapa faktor terjadi ketidaksetaraan terutama dalam hal transaksi menggunakan uang receh. Di tingkat pedagang kecil atau transaksi jual beli yang nominalnya tidak terlalu besar, pedagang atau pemilik usaha biasanya membulatkan harga jual produk mereka.
Pembulatan harga ini kemudian menjadi hal biasa dalam transaksi jual-beli harian. Kebiasaan pembulatan dalam jangka waktu panjang dan lama itu akhirnya membuat pedagang dan warga tidak melihat uang Rp 100 dan Rp 200 berguna bahkan tidak bernilai lagi atau tidak laku.
”Ini juga terkait perilaku masyarakat kita sering membulatkan sesuatu,” kata Agus.
Faktor lainnya yaitu terjadi pemakluman dan rasa tidak enak dalam dalam transaksi jual-beli, contohnya uang kembalian diganti permen. Ada anggapan warga atau konsumen bahwa saat menerima kembalian permen, penjual itu kehabisan uang kecil sehingga mereka menerima permen itu.
Fenomena ini mulai muncul akhir 1980-an dan awal 1990-an hingga terus terjadi sampai saat ini. Kebiasaan yang terus berulang dan dimaklumi itu akhirnya membuat pedagang menjadikan permen sebagai alat tukar transaksi yang dinilai sah, alih-alih mereka memenuhi kewajiban untuk menyediakan uang kecil untuk uang kembalian kepada pelanggan. Kebiasaan ini kemudian membuat uang receh Rp 100 dan Rp 200 dinilai tidak laku dan tidak diterima.
”Padahal, permen bukan mata uang yang diatur oleh negara. Transaksi seperti ini dilarang dan konsumen berhak menolak. Penjual pun bisa dikenakan sanksi. Logika terbalik, bagaimana jika konsumen mengumpulkan permen itu lalu belanja dan membayarnya dengan permen kepada penjual,” katanya.
Fenomena lainnya, kata Agus, toko ritel modern atau minimarket menawarkan uang kembalian konsumen yang nominalnya tak terlalu besar untuk didonasikan atau disumbangkan. YLKI pernah mendapatkan aduan terkait fenomena ini. Merespons aduan itu, pada 2018, YLKI pun melayangkan surat keberatan kepada sejumlah toko ritel modern di Jakarta yang menerapkan kebijakan donasi uang kembalian konsumen.
”Kita ingin tahu donasi itu larinya ke mana, didonasikan ke lembaga apa atau siapa sasarannya, berapa total donasi itu. Warga sebagai donatur berhak untuk mengetahui itu. Pemilik toko harus mempertanggungjawabkan dan memublikasikan laporan terkait nominal donasi, kapan tutup donasinya hingga siapa penerima donasi itu kepada donatur,” jelas Agus.
Menurut Agus, pengumpulan dana publik sudah diatur oleh negara seperti dari Kementerian Sosial. Sumbangan atau donasi dari hasil dana publik yang telah terkumpul itu tidak boleh dikelola sembarangan oleh sebuah lembaga dan perusahaan kecil atau besar.
”Konsumen berhak menolak jika ditawarkan untuk donasi. Apalagi jika kasir tidak menyampaikan donasi itu untuk apa, siapa pengelolaan donasi itu, dan lainnya. Kasir wajib mengembalikan seberapa pun uang kembalian konsumen karena itu merupakan transaksi yang sah dan legal,” tuturnya.
Sebagian kalangan mungkin menganggap uang pecahan Rp 100 dan Rp 200 tidak bernilai. Namun, di mata Yudha, Adrian, dan sebagian warga menganggap uang receh yang mereka kumpulkan menjadi penyelamat untuk menyambung hidup di kala terdesak. Uang Rp 100 dan Rp 200 menjadi sangat bernilai dan berharga bagi mereka yang sangat membutuhkan.