Menjaga Tradisi Ibu Kota lewat Lebaran Betawi 2023
Tidak hanya sebatas perayaan, acara Lebaran Betawi 2023 juga hadir untuk memperkenalkan budaya Betawi kepada masyarakat luas. Acara kebudayaan seperti ini perlu rutin dihelat untuk menjaga keberlangsungan budaya Betawi.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan budaya Betawi yang mulai terpinggirkan perlu dorongan agar keunikan budaya Ibu Kota ini bisa terus diperkenalkan kepada generasi berikutnya. Napas kolaborasi yang dimiliki Betawi sebenarnya memudahkan pengenalan budaya ini kepada masyarakat luas. Kebijakan pelestarian budaya diharapkan tidak hanya berhenti di pemasangan simbol.
Sekretaris Festival Lebaran Betawi 2023 Imron Hasbullah di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (20/5/2023), menjelaskan, gelaran Festival Lebaran Betawi menjadi satu dari sekian upaya untuk memperlihatkan bahwa budaya Betawi masih ada. Acara ini sendiri diambil dari tradisi masyarakat Betawi yang masih merayakan Lebaran hingga 2 sampai 3 minggu setelah hari raya Idul Fitri.
Panjangnya masa perayaan Lebaran masyarakat Betawi terjadi karena silaturahmi dilakukan antarwarga di suatu kawasan, tidak terbatas pada keluarga terdekat saja. Kegiatan Lebaran Betawi seperti ini masih banyak dilakukan di perkampungan Betawi, seperti di kawasan Cengkareng dan Rawa Buaya, Jakarta Barat.
Dari pantauan, pengunjung sudah mulai ramai sejak pukul 10.00. Masyarakat pun memenuhi tenda tempat berbagai kesenian ditampilkan. Acara ini direncanakan digelar mulai 20 Mei-21 Mei 2023 di kawasan Monas.
”Acara seperti ini sudah (digelar) sejak 2008. Awalnya diadakan di setiap wilayah, tapi sekarang kita lakukan terpusat di Monas. Sebab, dampak pandemi dua tahun ke belakang membuat kemampuan kami agak terbatas. Tapi, masyarakat yang datang cukup banyak, antusiasmenya tinggi,” tuturnya.
Berkaca pada antusiasme itu, pria yang menjabat sebagai Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Betawi ini menerangkan, budaya silaturahmi tetap dipegang kuat meski secara wilayah Kampung Betawi di tengah kota mulai jarang terlihat. Agar tetap lestari, pemerintah dihimbau untuk memberikan perhatian dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang lebih detail lagi tentang pelestarian budaya Betawi.
Kampung-kampung Betawi memang banyak yang sudah tergusur. Sekarang ada di pinggiran kota atau di luar Jakarta, seperti Depok, Tangerang, Bekasi, dan sedikit di Bogor. Meskipun begitu, budayanya masih ada dan dijaga.
Menanggapi mulai hilangnya perkampungan Betawi di pusat kota, Imron mengaku hal tersebut adalah konsekuensi dari pertumbuhan kota besar yang memancing pendatang masuk sehingga ada kelompok masyarakat asli yang tergeser.
Di samping penegakan aturan, edukasi lewat pelajaran di sekolah juga perlu digencarkan kembali. Memperluas wawasan dan sejarah bagi pelajar diharapkan mengubah cara pandang mereka terhadap budaya ini.
Imron juga berpendapat, kesenian Betawi perlu dijaga karena memiliki peran penting, salah satunya memajukan industri hiburan Tanah Air. Imron mencontohkan, acara-acara komedi di televisi yang kini populer banyak mengadopsi konsep hiburan teater masyarakat Betawi, yakni Lenong.
”Betawi dianggap ketinggalan zaman, stigmanya ke kami kurang baik, mirip lirik lagu Si Doel. Ini yang harus kita ubah agar persepsi mereka berubah. Peraturan soal pelestarian budaya Betawi sudah ada, tapi pelaksanaannya harus dipantau,” ujarnya.
Peraturan dan dukungan pemerintah jangan hanya sebatas pemasangan simbol-simbol Betawi di fasilitas publik, tetapi juga dukungan nyata. Pemimpin Kelompok Musik Gambang Kromong Sinar Betawi Kemanggisan Muhammad Nur menerangkan, pemerintah dapat membantu kebangkitan budaya Betawi melalui festival atau acara yang bisa diadakan secara rutin.
Tradisi Betawi yang inklusif seharusnya bisa membuat promosi budaya ini dapat digencarkan. Apalagi, secara penggunaan bahasa, kesenian yang ditampilkan cenderung mudah dimengerti masyarakat luas. Salah satu contoh inklusivitas kebudayaan Betawi adalah kesenian Gambang Kromong.
Kesenian musik yang dilakukan secara berkelompok ini menggunakan instrumen musik dari berbagai kebudayaan. Pertama ada instrumen musik petik, seperti tehyan, sukong, kongahyan yang berasal dari tradisi Tionghoa, lalu ada gambang dari tradisi Jawa. Selain itu ada suling yang lekat dengan tradisi Sunda.
”Semangat Betawi itu kolaborasi. Tapi, perlu ada dukungan nyata, tidak hanya pemasangan ornamen atau simbol Betawi saja di sudut-sudut kota. Pusat kebudayaan Betawi perlu dihidupkan supaya tidak hanya jadi kenangan,” ucap Nur.
Salah satu pengunjung, Nurniati (35), mengaku senang dengan kehadiran Festival Lebaran Betawi. Ia berharap agar acara seperti ini dapat juga digelar di wilayah-wilayah administratif lainnya agar budaya Betawi dapat tetap hidup. Budaya Betawi yang banyak menitikberatkan pada kesenian dan hiburan membuatnya sering hadir saat ada acara-acara serupa.
”Acara-acara ini membuat ingat sama suasana-suasana waktu masih kecil dulu, ucapnya.