Bappenas: Penanggulangan Bencana Tanggung Jawab Bersama
Bappenas telah menyusun Kebijakan Perkotaan Nasional 2045. Salah satu misinya yaitu mendorong perkotaan yang hijau dan tangguh dengan indikator, ketangguhan kota terhadap perubahan iklim, dan risiko bencana.
Membahas tentang kota-kota di Indonesia yang kian sering diterpa berbagai bencana, baik yang dipicu oleh alam, akibat perilaku manusia, maupun kelindan keduanya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memberikan tanggapan khusus kepada Kompas melalui aplikasi Zoom, Sabtu (13/5/2023).
Direktur Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana, Kementerian PPN/Bappenas Uke Mohammad Hussein secara khusus memberi penjelasan tentang kewenangan Bappenas dan pemerintah pusat, sementara Koordinator Bidang Penanganan Bencana Direktorat Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Diah Lenggogeni, menjelaskan secara khusus tentang Jabodetabekpunjur dalam kaitannya dengan penanganan bencana sebagai satu kawasan aglomerasi.
Berikut hasil lengkap wawancara dengan Direktur Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana Kementerian PPN/Bappenas Uke Mohammad Hussein.
Dari kasus bencana yang menonjol di tahun ini dan tahun sebelumnya, kawasan perkotaan ternyata sering kali dilanda berbagai bencana. Apakah hal ini turut menjadi perhatian Bappenas?
Bencana perkotaan didominasi bencana banjir yang juga merupakan dampak perubahan iklim, penataan ruang kota yang kurang terkendali dan kesadaran masyarakat yang masih minim terkait sampah perkotaan. Hal ini menjadi perhatian utama sebagai permasalahan pembangunan yang harus diatasi bersama. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dalam perpres itu ada tiga prioritas nasional yang terkait penanggulangan bencana. Pertama, mengembangkan wilayah untuk mengurangi Kesenjangan dan menjamin pemerataan. Kedua, memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar. Ketiga, membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Dokumen RPJMN kemudian diturunkan dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun.
Kejadian bencana di perkotaan sudah menjadi perhatian Bappenas. Hal ini ditunjukkan dalam Perpres Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2023, di mana salah satu fokus dari kegiatan prioritas pengembangan kawasan perkotaan adalah melakukan penguatan manajemen bencana (alam dan non-alam), khususnya di perkotaan yang berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan non perkotaan, dengan jumlah penduduk besar, kepadatan tinggi, dan investasi besar.
Selain dalam dokumen perencanaan RKP, upaya penanggulangan bencana di perkotaan telah menjadi salah satu misi dalam pembangunan perkotaan melalui green cities.
Baca juga: Kota-kota di Indonesia Disergap Bencana (1)
Dari kasus bencana yang menonjol di tahun ini dan tahun sebelumnya, kawasan perkotaan ternyata sering kali dilanda berbagai bencana. Apakah hal ini turut menjadi perhatian Bappenas?
Misi pembangunan perkotaan ada empat. Pertama, percepatan pemenuhan standar perkotaan untuk mewujudkan kota aman, nyaman, dan layak huni. Kedua, pembangunan kota hijau yang berketahanan iklim dan bencana. Ketiga, pengembangan kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi dan budaya lokal. Keempat, peningkatan kapasitas tata kelola pembangunan perkotaan.
Upaya yang dilakukan untuk dapat menciptakan pembangunan perkotaan berkelanjutan adalah melalui pembangunan kota cerdas (smart cities), kota layak huni (livable cities), dan kota hijau (green cities). Kota hijau merupakan pembangunan perkotaan yang bertujuan untuk menciptakan kota yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan ancaman bencana, agar mampu mengurangi dampaknya terhadap degradasi kualitas perkotaan.
Apakah ada data bencana di perkotaan dalam 5-10 tahun terakhir, intensitasnya meningkat dari sisi jumlah kejadian, jumlah korban, dan lainnya?
Saat ini BNPB memiliki aplikasi Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang menampilkan database kejadian bencana. Database ini dapat bermanfaat untuk membuat analisis dan kajian kebencanaan di Indonesia yang dapat diakses melalui gis.bnpb.go.i/dibi.
BNPB sebagai wali data bencana juga berkoordinasi dengan BMKG dan K/L pengampu data lainnya dalam mengolah data kebencanaan sehingga dapat dipersonalisasi dalam bentuk rumusan kebijakan.
Selain aplikasi DIBI, BNPB juga memiliki aplikasi InaRISK yang menyajikan informasi potensi risiko bencana di suatu daerah. Keduanya sama-sama telah mendukung Perpres No 39/2019 tentang satu data Indonesia.
Selain itu, Bappenas juga memiliki Webgis data Situation Report (SITREP) bencana yang dapat di-overlay dengan berbagai proyek pembangunan nasional sebagai bahan kajian dalam perumusan kebijakan.
Analisis Bappenas, apa saja bencana yang melanda, pemicunya, dan bagaimana penanganannya sejauh ini?
Dampak bencana hidrometeorologi sering kali memengaruhi banyak wilayah perkotaan di Indonesia dan dapat menyebabkan kerugian materi, kerugian ekonomi, korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan gangguan pada aktivitas sosial dan ekonomi bagi korban terdampak bencana.
Oleh karena itu, dampak yang ditimbulkan setelah terjadinya bencana di perkotaan sangatlah besar dan perlu dilakukan upaya penanganan, pencegahan, dan mitigasi bencana untuk mengurangi risiko dan dampak yang ditimbulkan.
Pengelolaan sampah yang baik dan sistematis, peningkatan drainase dan memperbaiki sistem drainase maupun saluran air, penataan ruang dan tata kota untuk bangunan dan infrastruktur yang harus sesuai dengan standar keselamatan, pembuatan taman kota yang dapat membantu menyerap air hujan dan mencegah genangan air di permukaan, dan penyediaan tempat penampungan air hujan yang dapat disimpan dan digunakan untuk keperluan lainnya, seperti pertanian atau kebutuhan rumah tangga.
Pemantauan dan sistem peringatan dini dengan memberikan informasi kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana secara cepat dan akurat. Hal ini dapat membantu masyarakat untuk lebih siap menghadapi bencana dan mengambil tindakan yang tepat untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan.
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana harus diberi pelatihan dan edukasi tentang cara menghadapi bencana dan membuat perencanaan untuk mengurangi risiko bencana. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat akan lebih siapnya dalam menghadapi bencana di masa depan.
Baca juga: Bencana Perkotaan
Dari sisi perencanaan pembangunan, apa pekerjaan rumah kita? Kota tambah banyak dan membesar, kejadian terus meningkat, bagaimana tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, warga, pihak swasta/ketiga?
Dari sisi perencanaan pembangunan, tugas dan peran yang melekat utamanya tidak lepas dari perencanaan dan pengendalian perkotaan. Perbaikan perlu terus dilakukan terhadap muatan perencanaan seperti rencana pengadaan program/kegiatan, pemanfaatan, pelayanan, pemeliharaan, dan pengembangan untuk setiap aspek pembangunan di perkotaan yang mencakup rencana transsektoral yang terpadu baik dalam program, tahapan, pengelolaan kelembagaan maupun pendanaan dan atau pembiayaannya.
Pada aspek kelembagaan, penyelenggaraan perkotaan yang kolaboratif dilakukan melalui koordinasi dan sinkronisasi, serta pembentukan kelembagaan di tingkat provinsi, kawasan, dan lingkungan masyarakat. Sementara pendanaan dan sistem pembiayaan dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan dana, mengurangi ketergantungan perkotaan pada APBN dan atau APBD, meningkatkan kualitas tata kelola dan belanja daerah serta meningkatkan kemandirian Daerah. Sementara pengendalian dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memperbaiki perencanaan pada periode berikutnya.
Tanggung jawab antarpemangku kepentingan seyogyanya diatur dalam tata kelola perkotaan, yang bertujuan untuk terwujudnya pembangunan dan pelayanan perkotaan secara efektif, efisien, inovatif dan cerdas. RUU Perkotaan yang sedang dibahas salah satunya mengedepankan kolaborasi antar pemangku kepentingan dari sisi pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat yang dilaksanakan melalui pengaturan mengenai kedudukan (hak dan kewajiban) dan peran serta (rincian cukup banyak dan detil dapat dilihat pada lampiran). Dalam mewujudkan tata kelola perkotaan yang baik perlu didukung ketersediaan sumber daya manusia Perkotaan yang inovatif dan cerdas. Untuk menjamin hal tersebut, peningkatan kapasitas sumber daya manusia secara berkelanjutan.
Bagaimana peran spesifik Bappenas dalam mitigasi bencana perkotaan dan memberi arah pembangunan perkotaan yang aman serta nyaman bagi warganya?
Dari aspek perencanaan pembangunan nasional, Bappenas memiliki tugas untuk menyelenggarakan fungsi koordinasi dan perumusan kebijakan, sinkronisasi pelaksanaan kebijakan, kegiatan pemantauan, evaluasi, serta pengendalian.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan perkotaan yang aman serta nyaman, Bappenas telah menyusun Kebijakan Perkotaan Nasional 2045 di mana salah satu misinya yaitu mendorong perkotaan yang hijau dan tangguh. Dalam hal ini, salah satu indikatornya yaitu melalui peningkatan ketangguhan kota terhadap perubahan iklim dan risiko bencana.
Selain itu, melalui Permendagri Nomor 101 Tahun 2018 mengenai SPM Sub-Urusan Bencana, pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Selanjutnya, dokumen KRB dan RPB digunakan sebagai salah satu dasar oleh pemerintah daerah dalam menyusun dokumen rencana pembangunan daerah.
Selanjutnya melalui forum-forum perencanaan pembangunan nasional seperti Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Pusat-Daerah dan Musrenbangnas, Bappenas melakukan fungsi koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah guna memastikan arah dan kebijakan pembangunan nasional, termasuk kebijakan penanggulangan bencana, turut terakomodasi dan selaras dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang dalam hal ini termuat dalam Dokumen RPJMD dan RKPD.
Komitmen mitigasi bencana diwujudkan melalui program-program mitigasi fisik/struktural maupun nonstruktural di berbagai daerah di Indonesia.
Apakah sudah ada payung hukum yang mencakup hingga ke tingkat mitigasi bencana dan penanggulangan cepat lagi efektif setelah masa tanggap darurat awal?
Kerangka regulasi utama yang dipedomani dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu UU No 24 Tahun 2007 yang diturunkan ke dalam PP No 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana di semua fase bencana (pra, tanggap darurat, dan pacabencana). Di samping itu, melalui Perpres No 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020–2044 telah dirumuskan arahan jangka panjang yang menjadi pedoman dalam penyusunan dokumen perencanaan khususnya di bidang penanggulangan bencana baik pusat maupun daerah.
Secara spesifik, payung hukum ada empat hal penting mitigasi bencana dan tanggap darurat. Pertama, tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis ancaman bencana. Kedua, sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam menghadapi bencana. Ketiga, peningkatan pengetahuan akan apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta cara penyelamatan diri jika bencana timbul. Keempat, pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana (tata ruang).
Komitmen mitigasi bencana diwujudkan melalui program-program mitigasi fisik/struktural maupun nonstruktural di berbagai daerah di Indonesia. Program-program dari rencana penanggulangan bencana yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan yang nantinya dilegalkan dalam peraturan presiden.
Dari sisi tata kelola dan kelembagaan, penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama lintas sektor dan sesuai UU No 24 tahun 2007 BNPB memiliki peran koordinasi, komando, dan pelaksana penyelenggaraan penanggulangan bencana diikuti oleh BPBD di daerah. Selanjutnya mengenai peran dan fungsi Kementerian/lembaga dan daerah diatur dalam Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana yang diatur melalui peraturan BNPB Nomor 7 Tahun 2022.
Di tingkat daerah, urusan penanggulangan bencana telah menjadi urusan wajib Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diatur dalam Permendagri No 101 Tahun 2018 mengenai SPM Sub-Urusan Bencana. Kegiatan yang diatur didalam SPM Bencana mencakup pelayanan informasi rawan bencana, pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, dan pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban bencana.
Dari aspek pendanaan telah diterbitkan Perpres Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penaggulangan Bencana yang berasal dari berbagai sumber dan digunakan untuk mendukung dan melengkapi dana Penanggulangan Bencana yang memadai dan berkelanjutan.
Lalu terkait tanggap darurat. Dalam hal dalam keadaan darurat bencana ditetapkan, sesuai UU No 24 Tahun 2007 Pasal 50, BNPB memiliki fungsi komando dalam hal mengarahkan kementerian/lembaga untuk mengordinasikan, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi penanganan tanggap darurat bencana.
Dalam PP Nomor 21 Tahun 2008 telah diatur mengenai aktivasi Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana yang detail teknisnya diatur dengan aturan Kepala BNPB pada Perka Nomor 3 Tahun 2016. Pasal 50 Ayat 1 PP No 21/2008 menyebutkan dalam melaksanakan penanganan tanggap darurat bencana, komandan penanganan darurat bencana sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya menyusun rencana operasi tanggap darurat bencana yang digunakan sebagai acuan bagi setiap instansi/lembaga pelaksana tanggap darurat bencana.
Dalam hal tata kelola kelembagaan, melalui SK BNPB Nomor 173 Tahun 2014 telah diatur mengenai kluster nasional penanggulangan bencana. Kluster nasional membagi peran setiap kementerian/lembaga dalam penanganan darurat bencana. Kluster nasional terdiri dari kluster kesehatan, pendidikan, pencarian dan penyelamatan, sarana dan prasarana, logistik, ekonomi, pengungsian dan perlindungan, serta pemulihan dini.
Penanganan Jabodetabekpunjur
Berikut tambahan keterangan dari Koordinator Bidang Penanganan Bencana Direktorat Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Diah Lenggogeni, terkait bencana di Jabodetabekpunjur.
Jabodetabekpunjur lebih kompleks, ada dari hulu sampai hilir. Sebenarnya perencanaan dan penataan ruang di Jabodetabekpunjur itu seperti apa?
Betul, sudah masif sekali pembangunan. Ada PSPM yang membagi kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota seluruh indonesia kesulitan untuk menghasilkan pendapatan dan aset daerah. Paling utama untuk mendukung pembangunan daerah dari pajak dan retribusi. Pendapatan tertinggi pemda rata-rata dari pajak dan retribusi. Makanya, kenapa mungkin begitu masifnya pembangunan di wilayah hilir sampai hulu karena wilayah itu indah, apalagi di Puncak sana. Itu yang pada akhirnya membuat tantangan baru bagi pemerintah pusat untuk menjaga komitmen bersama antara pusat dan daerah.
Bahkan, kadang-kadang di antara provinisi juga bikin rencana tata ruang juga tidak barengan. Dan belum tentu, apa yang sudah disusun di sini mengacu ke yang lain. Ini tantangan juga karena itu sebenarnya buku panduan menjadi dasar perizinan wilayah tersebut. Jadi, kewenangan sama periode penyusunan dokumen perencanaanya. Cuma sekarang kita bicara pembangunan berasis pemerintahan multi skala. Di mana keterlibatan masyarakat lebih penting karena mereka yang memberi kendali pada pemerintah. Kewenangan ini jadi tantangan baru untuk kami yang harus segera disiapkan skenarionya ke depan seperti apa.
Ada Perpres Nomor 60 Tahun 2020, bagaimana implementasi dari perpres ini?
Itu sebenarnya bukan di tempat kami, tetapi di PU (Kementerian PUPR). Kami belum secara khusus melakukan evaluasi karena baru tahun 2020. Ternyata di 2008 inisiasi untuk menjaga wilayah pembangunan di Jabodetabekpunjur itu. Jadi sudah lebih dari 20 tahun kita mengawal ini.
Jabodetabekpunjur tidak hanya bicara menjaga dari ancaman bencana, misalnya banjir. Tetapi juga ruang permukiman atau ruang budidaya, daya dukung lingkungan, DAS dan ruang yang harus dijaga, hingga penataan ruangnya. Itu semua untuk menjaga kualitas lingkungan atau udara wilayah perkotaan.
Kebijakan ini baru ditetapkan pada 2020, tidak lama ada UU Cipta Kerja dan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Kebetulan ini bukan bidang saya, saya koordinator penanganan bencana. Mungkin yang bisa saya sampaikan, regulasi ini sudah ditetapkan. Stakeholder atau aktor-aktor yang terlibat sudah ada. Namun, penegakannya untuk memastikan bahwa aktor-aktor itu berperan seperti yang tertuang dalam perpers terkait tugas yang harus dilaksanakan, mekanismenya itu masih bersifat rapat koordinasi, dan rapat koordinasi ini sering kali kita lakukan ketika ada masalah.
Karena tugas pemerintah banyak, bukan hanya fokus di Jabodetabekpunjur. Bencana banjir di mana-mana di seluruh indonesia.
Baca juga: Murka Alam di Megapolitan Jabodetabekpunjur (13)
Jadi regulasinya sudah ada, tinggal forum atau lembaga yang akan menjadi pihak yang selalu menjaga konsistensi kita, mengevaluasi kinerja setiap aktor yang bersepakat, dan memastikan agar regulasi lainnya tidak jadi saling bentrok dan berbeda.
Tadi misalnya dengan kebijakan UU Cipta Kerja yang KKPR. Bisa dicek, bagaimana proses pengajuan izin usaha melalui kebijakan KKPR tata ruang di Jabodetabekpunjur itu sebenarnya bisa selaras menjaga konsistensinya dengan rencana tata ruang kawasan Jabodetabekpunjur sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 60/2020. Kami belum lakukan evaluasi, tetapi harapannya itu bisa dilakukan karena Jakarta bagaimanapun jadi acuan pembangunan kota di seluruh Indonesia.
Jadi, intinya, (perpres) ini baru dua tahun. Dan ada regulasi baru yang nantinya berpotensi sedikit mengubah ruang budidaya di Jabodetabekpunjur. Kecuali pemdanya tidak mengubah karena itu kewenangannya dia, dia bebas, kami tidak bisa melarang. Dan penegakan sanksinya juga masih belum optimal.
Kami upayakan, di Bappenas, mengevaluasi lagi, karena tadi saya mengakui kami belum mengevaluasi secara detail lagi. Bagaiamana kemudian rencana detail tata ruang itu diacu.
Salah satu bentuk mitigasi bencana, yaitu mitigasi berbasis kawasan. Di Jabodetabek, apakah sudah mempertimbangan kajian risiko bencana dan penanggulangan bencana?
Kalau sudah jadi acuan atau belum, balik lagi itu kewenangan kabupaten/kota dan provinsi. Kami, di pusat, mitra Direktorat SDA kayaknya menjadi anggota di tim PMO untuk koordinasi Jabodetabekpunjur. Jadi ada di PU yang ngelead. Kalau PU yang ngelead, itu akan banyak bicaranya infrastruktur. Jadi, bayangan saya, perbaikan tanggul di Bekasi, itu kayaknya jadi prioritas bahwa semua tanggul dari hilir sampai hulu dilewati DAS di Jabodetabekjur, yang khususnya prioritas dari arah Puncak dulu. Karena kemarin banjir itu juga lebih masif dampaknya.
Kami upayakan, di Bappenas, mengevaluasi lagi, karena tadi saya mengakui kami belum mengevaluasi secara detail lagi. Bagaiamana kemudian rencana detail tata ruang itu diacu.
BPBD DKI Jakarta itu khusus dan memiliki anggaran besar, berbeda sama BPBD kabupaten/kota dan provinsi lain. semoga BPBD DKI Jakarta dan Jabar kerja sama karena mempunyai potensi ancaman sama di daerah DAS. Itu sebenarnya mereka diminta menyusun risiko kajian bencana. Di forum penanggulan bencana BNPB di Balikpapan, kami sampaikan kajian risiko bencana menjadi referensi.
Karena di dalam kajian risiko bencana, ada petanya, bahaya banjir dan longsor, hingga pada aksi. Itu menjadi bagian dari kajian lingkungan hidup strategis karena sudah peraturan dari pusat yang mewajibkan pemda untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis ( KLHS) sebelum memberikan izin pengelolaan lahan maupun hutan ketika Menyusun RPJMN, RAPKD dan dokumen pembangunan lainnya.
Kalau yang levelnya kawasan, biasanya amdal terkait detail analisis risiko, sebatas lingkup wilayah analisis. Namun, kajian risiko bencana ada pada kabupaten/kota sehingga bisa jadi bagian kajian lingkungan strategis. Sementara bisa kami coba dorong pemerintah daerah, yaitu memasukkan kajian itu ke dalam KLHS. KLHS ini nanti menjadi referensi dokumen rencana lain.
Sebagai tim PMO ini berjalan dengan baik. Dua tahun, waktu yang tepat untuk evaluasi, apakah kesepakatan itu sudah dicapai sampai berapa persen kegiatan yang kami sepakati.
Contoh di Tokyo, Jepang, kota yang sangat siap menghadapi bencana. Bagaimana Jabodetabek?
Benchmark ke Jepang sudah pasti. Sistem kanal di Jepang membuang limpasan air ketika hujan. Saat ekstrem sehingga terjadi banjir bisa dialirkan ke kanal itu. Namun, di Jakarta tidak bisa karena teknologi dan tempatnya. Sungai di Jakarta banyak alirannya. Untuk membuat jalur koneksi sudah agak sulit karena pembangunan sangat masif dan memakan pembebasan lahan yang luar biasa.
Menurut kami, membangun kesadaran masyarakat. PU udah menyiapkan infrastruktur dan teknologinya. Mungkin penguatan infrastruktur tahan bencana, penguatan kesadaran masyarakat, dan pengusaha yang membangun menjadikan rencana tata ruang sebagai acuan.
Jepang jumlah penduduknya sedikit. Lalu investasinya, mereka sudah punya hitung-hitungan pembangunan dan dampak ke depannya. Kita juga sudah didukung Jepang, tetapi baru bisa di Jakarta. Di Jawa Barat belum, padahal yang paling berpotensi besar memengaruhi dampak banjir itu di Jabar.