Murka Alam di Megapolitan Jabodetabekpunjur (13)
Laju pertumbuhan area Jabodetabekpunjur diikuti intensitas bencana yang kian tinggi dan berulang. Namun, adaptasi dan mitigasi bencana dinilai masih parsial dan kerap dilupakan ketika bencana berlalu.

Pekerja menyelesaikan proyek pengendalian banjir sodetan Kali Ciliwung-Kanal Banjir Timur di Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (3/4/2023).
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur atau Jabodetabekpunjur terus bertumbuh menjadi kawasan Metropolitan terbesar di Tanah Air. Laju pertumbuhan di kawasan tersebut diikuti dengan intensitas bencana yang kian tinggi dan berulang. Namun, adaptasi dan mitigasi bencana dinilai masih parsial dan kerap dilupakan ketika bencana berlalu.
Di Jakarta, dari Geoportal Data Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), diketahui dalam kurun waktu 10 tahun terakhir atau dari 2012-2023, total ada 234 bencana yang melanda Ibu Kota. Ratusan bencana itu berdampak pada 1,14 juta warga, menelan 118 korban jiwa, satu korban hilang, dan 81 luka-luka. Bencana itu turut merusak 2.313 rumah dan 15 fasilitas publik.
Sepanjang 2022, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, ada 127 kejadian banjir dari total 1.409 bencana yang terjadi. Sebanyak 22.023 warga terdampak dan menelan dua korban jiwa.
Banjir yang kerap melanda Jakarta masih jadi momok bagi warga Ibu Kota. Salah satu bencana alam terbesar dan mematikan yang pernah terjadi, yakni banjir Jakarta pada 2013. Bencana akibat curah hujan lebat dari hulu hingga hilir, drainase yang tak memadai, dan air laut pasang itu mengakibatkan 25 persen wilayah Ibu Kota tergenang, 25.000 keluarga terdampak, dan memicu kerugian lebih dari Rp 70 miliar.
Banjir berulang dan klasik itu pun belum selesai penanganan hingga kini. Jakarta masih punya pekerjaan rumah mengendalikan debit air sebanyak 3.389 meter kubik per detik yang datang dari hulu. Infrastruktur pengendali banjir yang tersedia baru mampu mengelola 1.141 meter kubik air per detik.

Kondisi rel kereta api Bogor-Sukabumi yang terdampak longsoran di Kampung Sirnasari, Kelurahan Empang, Kota Bogor, Jawa Barat, ditutup terpal, Kamis (16/3/2023).
Di kota lain, seperti Kota Bogor, bencana paling tinggi yang kerap melanda wilayah itu, yakni longsor. BPBD Kota Bogor mencatat, pada 2022 saja, dari 856 bencana yang terjadi, ada 376 bencana longsor yang melanda wilayah itu. Ratusan bencana itu mengakibatkan 2.746 warga terdampak, 15 orang meninggal dunia, dan 30 jiwa terluka.
Di bagian hilir, wilayah teluk Jakarta termasuk pesisir Bekasi, potensi bencana akibat penurunan muka tanah dan kenaikan air laut kian jadi ancaman nyata. Di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, sejumlah kampung dan tambak warga perlahan hilang ditelan abrasi. Kehidupan ekonomi warga yang bergantung pada hasil laut pun tak lagi menguntungkan akibat persoalan sampah yang kerap mencemari laut.
Selain bencana banjir, longsor, hingga penurunan muka tanah, sebagian wilayah di Jabodetabek turut dibayangi potensi gempa bumi di masa depan. Ancaman gempa itu berasal dari Sesar Baribis di selatan Jakarta yang terbukti aktif (Kompas, 18/6/2022).
Beragam bencana dan potensi bencana yang kian mengancam di masa depan sebenarnya sesuai dengan Indeks Risiko Bencana Indonesia Tahun 2022 yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kawasan Jabodetabekpunjur masuk kategori wilayah bencana sedang hingga tinggi atau indeks risikonya 51,53 sampai 207,62.
Baca juga : Separuh Jalan Menata Sungai Ciliwung

Tujuh masalah
Dari identifikasi Tim Koordinasi Penataan Ruang (TKPR) Jabodetabekpunjur diketahui ada tujuh persoalan yang masih mendera kawasan Jabodetabekpunjur. Persoalan-persoalan itu, antara lain, banjir, transportasi dan kemacetan, persampahan dan sanitasi, permukiman kumuh, pengembangan wilayah pesisir dan pantai utara, mitigasi bencana dan penataan kawasan hulu, serta penyediaan air baku dan air minum.
Direktur TKPR Jabodetabekpunjur Wisnubroto Sarosa mengatakan, ada ketidaksesuaian antara tata ruang dan tekanan pembangunan (alih fungsi lahan), serta isu-isu yang berkaitan dengan pola kegiatan dan pergerakan sosial masyarakat yang membebani kawasan. Strategi mitigasi bencana untuk meminimalkan kerugian ekonomi maupun korban jiwa bertolak dari hal tersebut.
”Kami secara khusus menaruh perhatian pada bencana longsor dan banjir bandang yang terjadi di area hulu di Kabupaten Bogor dan kawasan Puncak bagian Cianjur, serta bencana rob, penurunan muka tanah, dan abrasi di hilir di Muara Gembong Kabupaten Bekasi,” ucap Wisnubroto, Kamis (11/5/2023).
Area hulu dilalui oleh beberapa daerah aliran sungai, tipologi kawasannya berupa hamparan dataran tinggi, perbukitan, dan pegunungan yang reliefnya cukup curam, serta curah hujan tinggi. Beberapa lokasi memiliki lahan tidak stabil, menyebabkan potensi gerakan tanah yang dapat memicu tanah longsor, dan banjir bandang.
Bencana yang terjadi di hulu dipicu alih fungsi lahan area hutan dan sempadan sungai. Sebelumnya area tersebut merupakan tegakan penyanggah kemudian diubah menjadi permukiman dan tanah pertanian.
Baca juga : 3.611 Keluarga di Kota Bogor Tinggal di Zona Hitam dan Merah Bencana

Direktur TKPR Jabodetabekpunjur Wisnubroto Sarosa seusai rapat koordinasi di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Di bagian hilir terjadi banjir pesisir atau rob, penurunan muka tanah, dan abrasi. Bencana jenis ini terjadi di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Jakarta Utara. Pemicunya pun beragam, mulai dari alih fungsi lahan, eksploitasi lingkungan berlebih, ekstrasi air tanah, dan tekanan bangunan yang berlebihan, curah hujan ekstrem, kenaikan muka air laut, dan gelombang pasang tinggi.
”Pemeritah, warga, dan pihak ketiga dapat berkolaborasi dalam upaya mitigasi bencana yang diupayakan oleh pemerintah. Di hulu, kami berkolaborasi dengan PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP), Pemkab Bogor, dan kelompok masyarakat untuk membangun bronjong serta perbaikan drainase di Desa Tugu Utara (Cisarua),” kata Wisnubroto.
TKPR Jabodetabekpunjur juga memfasilitasi dan berkoordinasi dengan beragam pihak, membangun proyek percontohan, memberi kajian teknis untuk memitigasi bencana, serta arah pembangunan perkotaan. Namun, masih tak mudah mengentaskan tujuh masalah yang teridentifikasi. Penyelesaiannya tidak bisa secara parsial dan butuh kerja sama antardaerah dari hulu ke hilir atau secara keseluruhan.
Wisnubroto mencontohkan, penyelesaian masalah banjir dan pengembangan wilayah pesisir dan pantai utara ibu kota didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sebesar Rp 80-an triliun. Jumlah dana itu jauh lebih besar ketimbang wilayah lain yang hanya memiliki APBD Rp 3 triliun hingga Rp 7 triliun.
”Program pengendalian banjir dari hulu ke hilir terkonsentrasi di Jakarta. Padahal, seharusnya program diarahkan ke kawasan hulu sebagai tangkapan dan resapan air,” tuturnya.
Polanya selalu sama saat musim hujan, ada peningkatan koordinasi dan mitigasi bencana. Tetapi, kemudian setelah itu lupa lagi dan ketika musim bencana kita bertempur lagi. (Bima Arya)

Matahari mulai menyinari kawasan Ibu Kota dan kota-kota penyangganya yang kian padat, Jumat (1/2/2019). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, luas kawasan Jabodetabek adalah 6.400,71 kilometer persegi dengan tingkat kepadatan mencapai 4.375 jiwa per kilometer persegi.
Ketidakseimbangaan tata ruang
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya mengatakan, tingginya intensitas bencana termasuk di Jabodetabekpunjur dipicu beragam faktor, mulai dari perubahan iklim, curah hujan tinggi, dan ketidakseimbangan tata ruang. Beragam persoalan tersebut terutama di kawasan yang dihuni banyak penduduk kian menambah kerentanan kawasan Jabodetabekpunjur.
”Perubahan iklim hingga ketidakseimbangan tata ruang dan kota yang dihuni banyak penduduk menjadi rentan. Tidak terorganisasinya tata ruang menyebabkan arah pembangun yang tidak ramah lingkungan, juga terjadi pembiaran. Seperti sampah tidak terkelola dengan baik, ketika ruang terbuka hijau tidak diperhatikan pemerintah, itu bisa terjadi bencana,” ujar Bima, Rabu (10/5/2023).
Bima yang juga Wali Kota Bogor, mengatakan, tingginya bencana dan potensi ke depan, harus menjadi perhatian bersama kepala daerah hingga otoritas tertinggi pemerintah untuk menanggulangi, penanganan, mitigasi, hingga payung hukum yang kuat, agar menekan angka korban. Namun saat ini, masing-masing daerah masih bergerak sendiri dan parsial dalam penanganan bencana.
”Polanya selalu sama saat musim hujan, ada peningkatan koordinasi dan mitigasi bencana. Tetapi, kemudian setelah itu lupa lagi dan ketika musim bencana kita bertempur lagi,” ujar Bima.
Baca juga : Siasat Hadapi Banjir Berulang di Tangerang Selatan

Bima Arya Wali Kota Bogor
Koordinator Bidang Penanganan Bencana Direktorat Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Diah Lenggogeni, Sabtu (13/5/2023) menambahkan, di Jabodetabekpunjur penanggulangan bencana sulit dilakukan karena pembangunan masif dan antardaerah tidak saling sinkron tata ruangnya.
”Bahkan, antara provinisi juga bikin rencana tata ruang juga tidak barengan. Dan belum tentu, apa yang sudah disusun di sini, mengacu ke yang lain. Ini tantangan juga karena itu sebenarnya buku panduan menjadi dasar perizinan wilayah tersebut,” kata Diah.
Diah juga menyinggung kawasan aglomerasi Jabodetabekpunjur sering dibandingkan dengan area metropolitan Tokyo yang juga meliputi beberapa daerah sekitar di luar Kota Tokyo di Jepang.
”Benchmark ke Jepang sudah pasti. Sistem kanal di Jepang membuang limpasan air ketika hujan. Saat hujan ekstrem sehingga terjadi banjir bisa dialirkan ke kanal itu. Namun, di Jakarta tidak bisa, karena kendala teknologi dan tempatnya. Sungai di Jakarta banyak alirannya, membuat jalur koneksi sudah agak sulit karena pembanguann masif dan memakan pembebasan lahan yang luar biasa,” katanya.
Dari sisi pendanaan, Jepang terutama di Tokyo Metropolitan sudah memiliki hitung-hitungan pembangunan dan dampaknya hingga beberapa waktu ke depan. ”Kita juga sudah didukung Jepang (untuk pembiayaan infrastruktur), tapi baru bisa di Jakarta. Di Jawa Barat belum, padahal yang paling berpotensi besar mempengaruhi dampak banjir Jabodetabekpunjur itu di Jawa Barat,” kata Diah.

Ginza, Tokyo, Jepang, Rabu (11/12/2013). Tokyo menjadi salah satu rujukan dunia dalam penanggulangan bencana. Mereka unggul dalam sistem peringatan dini, bangunan tahan gempa, dan penanganan saat maupun pascabencana yang amat baik, tata ruang kawasan memerhatikan potensi bencana.
Sistem peringatan dini
Kepala Pusat Studi Bencana IPB University Doni Yusri mengatakan, bencana alam yang kerap melanda wilayah Jabodetabekpunjur didominasi bencana hidrometeorologi basah seperti, banjir dan longsor. Faktor pemicu bencana pun beragam, mulai dari buruknya sistem drainase hingga alih fungsi lahan di kawasan hulu yang mengakibatkan berkurangnya ruang resapan air.
”Apalagi, saat pemanfaat lahan hijau diubah jadi permukiman, perkantoran, lalu ditambah dengan tidak dibangunnya sistem drainase yang baik, itu akan berkali lipat mengakibatkan kejadian bencana hidrometeorologis. Korban pun bisa saja bertambah,” kata Doni, pada Kamis (11/5/2023).
Menurut Doni, kejadian bencana di wilayah Jabodetabekpunjur yang didominasi bencana hidrometeorologis basah sebenarnya bisa diprediksi. Antisipasi dan penanggulangan bencana jenis ini pun seharusnya sudah lebih kuat. Namun, setiap tahun, saat tiba musim hujan, bencana skala besar masih kerap terjadi, menelan korban jiwa, atau menimbulkan kerusakan.
”Bencana alam pasti datang. Yang bisa kita antisipasi lebih kuat dengan teknologi adaptasi, mitigasi, misalnya bencana hidrometeorologi. Tetapi, kadang kejadiannya lebih sering dan bahkan lebih tidak siap,” kata Doni.
Pemerintah, kata Doni, sebenarnya sudah melakukan beragam cara dalam meminimalkan korban dan kerugian yang timbul. Salah satu bentuk adaptasi dan mitigasi yang patut diapresiasi, yakni sistem peringatan dini atau early warning system.
Mungkin sudah jalan, tapi masih perlu dimasifkan lagi. Early warning system bukan hanya rekayasa teknologi, tetapi harus hadir secara rekayasa sosial

Kendaraan perlahan melintasi genangan air hujan di Jalan Perum Pondok Ungu Permai Sektor V, Desa Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (14/3/2023).
Namun, sistem peringatan dini yang diterapkan pemerintah masih meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah, salah satunya, yakni memastikan sistem itu teredukasi masif di masyarakat. BNPB pun sudah menciptakan beragam program untuk meningkatkan kesadaran warga dalam menghadapi ancaman bencana, seperti membangun desa atau kelurahan tangguh bencana.
”Mungkin sudah jalan, tapi masih perlu dimasifkan lagi. Early warning system bukan hanya rekayasa teknologi, tetapi harus hadir secara rekayasa sosial,” ucapnya.
Ancaman bencana lain yang membutuhkan adaptasi dan mitigasi, yakni penurunan permukaaan tanah dan kenaikan air laut. Adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi bencana kenaikan air laut tergantung pada tata kelola perkotaan. Artinya, pembangunan yang tak terelakan di perkotaan harus dipastikan tidak ikut memperparah penurunan permukaan tanah dan kenaikan air laut.
”Keterkaitan perubahan iklim, adaptasi, mitigasi, yang harus berkelanjutan, itu akan berdampak pada besar dan kecilnya kesiapan kita terhadap kejadian bencana. Perubahan iklim tidak bisa kita nihilkan kalau ini akan ikut memperparah terjadinya bencana. Tetapi, kita harus mengurangi risiko korban jiwa, kehilangan, dan kerusakan,” tutur Doni.

Sejumlah sepeda motor di Jalan KH Wahid Hasyim, Kelurahan Jurangmangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten, terendam banjir saat hujan lebat selama sekitar 1 jam melanda, Jumat (28/4/2023) siang.
Bagian dari pembangunan
Menurut Doni, laju pembangunan kawasan Jabodetabekpunjur dipastikan akan berdampak pada perubahan tata ruang dan wilayah. Oleh karena itu, upaya meminimalkan kerugian dan kerusakan akibat bencana harus dilakukan dengan menjadikan pertimbangan kejadian atau potensi bencana sebagai bagian dari aspek pembangunan.
”Di rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), peraturan daerah, kemudian peraturan tata ruang wilayah, itu semua harus memasukan kajian risiko bencana. Merujuk pada BNPB, di setiap provinsi, kabupaten dan kota, semestinya ada dokumen kajian risiko bencana dan ada dokumen rencana penanggulangan bencana,” ucapnya.
Selain dokumen kajian risiko bencana dan rencana penanggulangan bencana, dalam setiap pembangunan, upaya adaptasi dan mitigasi juga seharusnya sudah lebih jauh, termasuk langkah yang perlu ditempuh saat terjadi bencana, yakni dokumen petunjuk, hingga jalur evakuasi. Beragam kajian itu, harus sudah diketahui dan dilakukan pemerintah di wilayah Jabodetabekpunjur.
”Tujuannya, agar ketika terjadi bencana, tidak saling menyalahkan. Sebab, yang rugi adalah masyarakat,” katanya.