Ketidakadilan dan ketidakjelasan dalam penanganan kasus kriminal oleh polisi masih jadi keluhan masyarakat. Polisi seperti memerlukan ”cambuk” untuk memperbaiki layanan mereka.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Kamis (4/5/2023), Rusni Masna mendatangi kantor Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya bersama dua orang kuasa hukum. Mereka datang meminta informasi perkembangan penyidikan kasus pembunuhan oleh anggota polisi yang menghilangkan nyawa suami Rusni, Sony Rizal Tahitu (59).
Suami Rusni, yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga dengan menjadi sopir taksi daring, dihabisi Brigadir Dua Haris Sitanggang, anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, pada 23 Januari 2023, di daerah Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Anggota polisi itu berencana melukai Sony dengan senjata tajam agar dapat mencuri mobil, yang rencananya akan dijual untuk mengembalikan uang yang lenyap karena khilaf bermain judi daring. Tidak butuh waktu lama untuk polisi menangkap Haris dan melakukan rekonstruksi kasus.
Sayangnya, setelah penyelidikan kasus itu pertama kali bergulir tiga bulan lalu, pihak keluarga tidak mendapatkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).
Padahal, berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri, penyidik wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala paling sedikit sekali setiap bulan.
Mereka baru mendapat SP2HP saat mendatangi Polda Metro Jaya kemarin. Surat itu menginformasikan bahwa penyidik sudah mengirimkan berkas ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, tetapi masih diteliti atau belum P21.
”Dari awal kasus ini tidak ditangani dengan serius, lambat, dan tidak transparan. Saat ini sudah hampir empat bulan kasus belum tuntas bahkan masih di kepolisian tahap dan prosesnya,” kata kuasa hukum keluarga korban, Jundri R Berutu, saat dikonfirmasi pada Kamis (11/5/2023).
Sebelumnya, mereka sempat bersurat ke Komisi Kepolisian Nasional, Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, bahkan Presiden Joko Widodo. Beberapa instansi yang merespons menyatakan, mereka tetap membutuhkan klarifikasi Polda Metro Jaya.
Seolah menyambut keluhan keluarga Sony dan masyarakat lainnya yang berkasus, Kamis (11/5/2023) pagi, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto, mengumpulkan penyidik Polda Metro Jaya dan Polres di Balai Polda Metro Jaya, Jakarta.
”Kenapa saya kumpulkan? Karena sejalan dengan amanat Pak Presiden dan Pak Kapolri bahwa penegakan hukum yang berkeadilan itu menjadi perhatian mereka,” ucap Karyoto.
Penegakan hukum yang berkeadilan, menurut dia, harus profesional, obyektif, dan memberi kepastian hukum. Penyidik diharapkan profesional dalam sikap, perilaku, dan pelayanan sesuai kode etik serta hukum acara penyidikan. Selain itu, penyidik juga harus memastikan kelancaran komunikasi dan koordinasi sehingga kepastian proses perkara bisa dilaksanakan tepat waktu.
”Kami tekankan kepada penyidik agar bisa me-manage waktu dengan baik, me-manage perkara dengan baik, sehingga dalam waktu tertentu efisien bisa menyelesaikan perkara yang ditangani,” ujarnya.
Menurut tren, penyelesaian kasus kejahatan di Polda Metro Jaya beberapa tahun terakhir terus menurun. Pada 2022, angka penyelesaian kasus hanya menyentuh angka 89 persen atau 32.581 kasus dari total 36.608 kasus, dibandingkan 97,9 persen kasus per 2021 dan 117 persen kasus per 2020.
Saluran siaga
Pada kesempatan itu, Karyoto menyampaikan, Polda Metro Jaya akan menyiapkan hotline atau saluran siaga bagi masyarakat yang mengeluhkan penanganan kasus oleh kepolisian di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
”Dalam satu dua hari ini akan kami luncurkan, dengan nomor WA saja satu, tidak banyak-banyak, kalau banyak nanti kita pusing mem-filter-nya. Kami berupaya untuk menyelesaikan keluhan itu," ungkap mantan Deputi Penindakan Koalisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Rencana ini dinilai baik oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso. Saluran siaga ini bisa membantu masyarakat untuk melapor tanpa perlu memviralkan kasus di dunia maya, yang kerap dipakai sebagai tekanan kelompok terhadap institusi penegakan hukum.
”Membuat hotline pengaduan agar hal-hal macet di tingkat bawah secara khusus mendapat perhatian,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon.
Buruknya pelayanan penanganan kasus di kepolisian, menurut Sugeng, didukung tertutupnya proses penyidikan dan penyelidikan. Hal ini karena polisi memiliki kewenangan paksa dan kewenangan tunggal menetapkan status tersangka terhadap mereka yang melakukan kejahatan.
Penyalahgunaan kewenangan itu berpotensi intervensi, keberpihakan, permainan uang, pengaruh keputusan dengan menggunakan uang, rekayasa kasus, penyembunyian barang bukti, hingga penyembunyian kasus atau rekayasa kasus ke atasan.
Menurut laporan Komisi Kepolisian Nasional, sebagai lembaga pengawas internal kepolisian, setiap tahun mereka menerima 3.000-4.000 aduan yang mayoritasnya (90 persen) mengeluhkan kinerja reserse. Sekitar 75 persen laporan spesifik mengeluhkan pelayanan yang buruk (Kompas.id, 24/10/2023).
Keluhan yang telah berjalan menahun ini memang selayaknya diikuti ”cambukan” serius agar reformasi layanan reserse berjalan lebih cepat.