Bima Arya: Perlu Kewenangan Khusus Penanganan ”Urban Disaster” (7)
Kawasan urban berkembang pesat diikuti meningkatnya potensi bencana perkotaan. Pemimpin kota berperan penting mengorkestrasi mitigasi bencana. Berikut paparan Ketua Apeksi sekaligus Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Oleh
AGUIDO ADRI
·6 menit baca
Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain.
Indonesia juga memiliki potensi bahaya ikutan sangat tinggi. Potensi bahaya ikutan ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase kecil bangunan tahan bencana, dan jumlah industri berbahaya. Dengan indikator di atas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi bencana lebih tinggi atau lebih berdampak buruk dibandingkan di kawasan nonperkotaan.
Potensi bencana perkotaan yang sangat tinggi tersebut diperparah oleh fakta bahwa saat ini kawasan urban di Indonesia tengah berkembang pesat. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana peran pemimpin kota mengorkestrasi penanganan dampak bencana maupun mitigasi untuk meminimalkan akibat buruk di masa depan. Berikut wawancara Kompas dengan Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) sekaligus Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Sebagai Ketua Apeksi dan Wali Kota Bogor, apakah teramati bahwa bencana di perkotaan meningkat dari tahun ke tahun?
Intensitas bencana meningkat. Ada dua penyebab utama. pertama terkait perubahan iklim, intensitas curah hujan tinggi. Di Kota Bogor ini sangat berpengaruh. Kalau biasa, curah hujan bisa diprediksi. Sekarang tidak bisa diprediksi dan bisa lebih panjang. Bogor daerah tinggi dan dialiri sungai utama. Tidak hanya banjir, tetapi juga longsor. Daerah lain terjadi pula bencana.
Penyebab kedua, ketidakseimbangan tata ruang dan kota. Tidak terorganisasinya tata ruang menyebabkan arah pembangunan yang tidak ramah lingkungan juga terjadi pembiaran. Seperti sampah tidak terkelola dengan baik, itu bisa menjadi bencana. Lalu ketika ruang terbuka hijau tidak diperhatikan pemerintah, itu bisa terjadi bencana.
Apakah ada catatan dari Apeksi terkait data bencana perkotaan 5-10 terakhir?
Apeksi tidak memiliki database bencana secara nasional, tetapi kalau saya lihat polanya selalu sama. Saat musim hujan maka akan terjadi peningkatan koordinasi dan mitigasi bencana. Tetapi kemudian setelah itu lupa lagi dan ketika musim bencana kita bertempur lagi.
Menurut saya, penanganan bencana ini sepetinya ad hoc. Database tidak terintegrasi, penanganan parsial.
Penanganan kepala daerah dan bencana apa saja? Apakah kota lainya siap dan sudah ada peta bencana?
Saya melihat memang beberapa kota memiliki konsep yang terencana terkait bencana. Seperti di Kalimantan, Palangkaraya dan Banjarmasin yang memiliki pola pemetaan terhadap persoalan terkait abrasi di sungai.
Seperti Kota Bogor, yang memiliki peta bencana, pemetaan daerah zona hitam, merah, dan kuning.
Dalam penanganan tidak dibicarakan ke forum Apeksi, lebih ke forum regional atau kewilayahan saja, tidak dalam konteks Apeksi. Saya harus jujur di Apeksi masih mengutamakan advokasi kebijakan, tata kelola pemerintah, keuangan, otonomi.
Lalu ke depan seperti apa? Apakah tidak melihat ini menjadi masalah penting?
Kami akan rakernas pada Juli. Ini momentum yang baik untuk mengingatkan kepala daerah memasuki musim hujan pada Oktober agar mengonsolidasikan dan koordinasikan penanganan bencana. Saya akan mengangkat itu.
Pekerjaan rumah sebagai antisipasi dan mitigasi bencana untuk meminimalkan bencana. Jangka pendek dan panjang ke depan yang harus segera dilakukan?
Setiap daerah penting untuk memiliki peta bencana sebagai mitigasi awal.
Perencanaan ini harus matang mana daerah hitam dan merah. Mana yang bisa direlokasi, mana wilayahnya, dan dari mana penganggarannya.
Selanjutnya edukasi. Kota Bogor baru berhasil memetakan itu, kita awalnya tidak punya peta bencana itu. Beberapa di daerah hitam sudah direlokasi. Namun, ini butuh konsistensi aparatur wilayah. Bukan hanya BPBD saat terjadi bencana, tetapi camat dan lurah harus menguasi peta itu agar ikut mengedukasi, melakukan pendekatan, dan komunikasi kepada warga. Camat dan lurah memastikan juga untuk tidak ada pembangunan dan warga tinggal di situ.
Tanggung jawab pemerintah dan pihak lainnya dalam arah pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dan aman?
Disiplin dalam tata ruang. Peta bencana ini sebagai mitigasi dan terkait arah pembangunan. Daerah yang terpetakan rawan bahaya atau zona hitam tidak bisa ada pembangunan.
Tantangannya kewenangan pemerintah daerah. Kendalanya, kewenangan banyak hal bukan kewenangan kita.
Dalam penanganan, kita seperti daerah di aliran sungai itu otoritas balai besar. Selanjutnya penganggaran. Ini terkait belum diprioritaskannya titik bencana di APBD. Daerah hitam ini mutlak harus direlokasi karena warga tinggal di titik bahaya, nah tetapi penganggarannya selalu kalah.
Payung hukum yang dibutuhkan untuk mitigasi, penanggulangan, masa tanggap darurat hingga penanganan bencana?
Belum ada payung hukum itu, lebih kepada UU darurat bencana. Namun, ini perlu payung hukumnya. Menurut saya, pemerintah pusat bisa menetapkan prioritas daerah mana yang ditargetkan untuk langsung di relokasi. Sudah ada datanya, sumber dana bisa dicarikan dari mana.
Pengalaman saya warga ini hanya akan direlokasi jika ada intervensi pembangunan fisik. Di kampung itu (Kampung Sirna Sari, Empang, Kota Bogor yang dilanda longsor) berhasil kita relokasi juga karena ada pembangunan double track (proyek rel dwiganda).
Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan intevensi fisik dulu maka warga mau pindah. Kalau hanya imbau tidak bisa. Perlu ada penataan di daerah titik bencana.
Ini kenapa perlu ada pemetaan agar pemerintah jika mengintervensi daerah itu dengan normalisasikah, penghijauankah, pemasangan turapkah, agar warga juga takut daerah itu bahaya.
Kita harus melihat Jabodetabek ini menjadi prioritas terutama dalam hal bencana. Jika ada kewenangan khusus atau ada kementerian khusus di Jabodetabek, di situlah urusan koordinasi bencana ini bisa dilakukan.
Jadi PR-nya ke depan rencana pendek-panjang?
Peta bencana, lalu mandatory spending untuk alokasi dana bencana yang darurat dan dana infratruktur untuk lokasi relokasi. Kalau BTT ini kan cepat dan sementara. Kita perlu penanganan permanen dan panjang. Itu tidak bisa bersumber dari pemerintah daerah perlu ada bantuan dana dari pusat dari kementerian untuk memprioritaskna kawasan daerah hitam. Ini menurut saya mendesak untuk segera ada.
Selanjutnya, merapikan tumpang tindik kewenanagan. Ini penting. Daerah Jabodetabek, saat BNPB masih dipegang oleh Doni Monardo, ia mengambil alih dalam pemetaan potensi bencana dari hulu ke hilir mengumpulkan semua kepala daerah.
Harusnya seperti itu, tetapi tidak bisa secara personal dan leadership saja. Perlu ada kelembagaan yang lebih jelas untuk mengatasi tumpang tindih.
Misal jika banjir, kita kepala daerah tidak bisa langsung menyentuh penanganan di sungai. Di sini perlu ada payung hukum yang kuat dari satu lembaga, tetapi juga kewenangan untuk otoritas yg paling tinggi mengambil keputusan.
Bukankah sudah ada otoritas Jabodetabekpunjur?
Saya pernah mengusulkan Jabodetabekjur ini diatur oleh kementerian khusus sehingga rasanya akan jauh lebih powerfull perencanaan, kewenangan, dan penganggarannya. Sulit saat ini setiap kepala daerah memiliki kewenangannya sendiri, belum lagi jika beda afiliasi politiknya. Harus dipikirkan forum, payung hukum lebih kuat untuk mengatasi lintas wilayah dan lintas kewenangan.
Sudah cukup kuatkah otoritas Jabodetabekpunjur atau pemerintah pusat dalam melihat bencana kota?
Belum. Saat banjir yang disalahkan daerah hulu. Pertanyaan apakah di hulu dibantu? Presiden memiliki komitmen seperti membangun dua bendungan di Ciawi, Kabupaten Bogor.
Enggak bisa saling menyalahkan. Saya sampaikan juga ke pak PJ Heru, (Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono) kalau ingin bersama-sama saling bantu daerah di hulu melalui pembangunan infrastruktur penunjang pencegah Banjir.
Kita harus melihat Jabodetabek ini menjadi prioritas terutama dalam hal bencana. Tidak bisa parsial fokus pada satu kota saja, tetapi melihat luas satu kawasan khusus Jabodetabek. Jika ada kewenangan khusus atau ada kementerian khusus di Jabodetabek, disitulah urusan koordinasi bencana ini bisa dilakukan.