Masyarakat perlu terus mengawal peradilan yang memberi efek jera bagi anggota kepolisian pelaku kejahatan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat terhadap jenderal bintang dua Teddy Minahasa agar dipenjara seumur hidup karena perkara narkotika dinilai pantas. Masyarakat perlu terus mengawal peradilan yang memberi efek jera bagi anggota kepolisian pelaku kejahatan.
Selasa (9/5/2023), Majelis Hakim PN Jakarta Barat menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada bekas Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa terkait peredaran 5 kilogram sabu ke Jakarta. Hukuman ini lebih ringan daripada tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum.
Teddy melanggar Pasal 114 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pakar hukum narkotika Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Slamet Pribadi, menilai vonis hakim terhadap perwira tinggi Polri itu sudah cukup memberi hukuman. Vonis ini juga menjadi edukasi bagi masyarakat bahwa oknum penegak hukum harus sebisa mungkin menghindari kejahatan dalam bentuk apa pun.
”Ketika ada anggota polisi yang secara tidak bertanggung jawab melakukan kejahatan, apalagi kejahatan kemanusiaan terkait masalah pengedaran narkotika secara gelap dan melawan hukum dalam jenis apapun, bagi saya ini sangat mengganggu masyarakat karena ini tidak masuk akal bagi seorang penegak hukum,” ujarnya per telepon, Selasa malam.
Moral dan etika bagi seorang anggota Polri penting karena sesuai Pasal 2 UU No 2/2002 tentang Polri, antara lain disebutkan, seorang penegak hukum harus memegang prinsip memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Seorang penegak hukum harus bisa menjaga masyarakat dari gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso mencatat, Teddy adalah jenderal bintang dua pertama yang terbukti terlibat pengedaran narkoba. Baginya, perkara narkotika ini adalah suatu kondisi yang tidak dapat diterima secara nalar akan dilakukan oleh jenderal bintang dua.
”Irjen Teddy Minahasa dalam posisi sebagai perwira tinggi Polri dapat dinilai sebagai ikon buruk penyalahgunaan kewenangan oleh polisi. Pati (perwira tinggi) Polri yang semestinya tahu betapa narkoba adalah musuh masyarakat dan bangsa Indonesia yang dapat menghancurkan masa depan generasi muda justru dengan sangat mudahnya menyalahgunakan kewenangannya menukar barang bukti sitaan untuk dijual,” ujarnya.
Putusan atas Teddy, kata Sugeng, semestinya menjadi acuan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk dapat lugas dan tegas menindak oknum Polri jika diduga melanggar hukum dan menyalahgunakan kewenangan. ”Polri perlu melakukan pembenahan internal dalam hal promosi jabatan dan karier sehingga perwira yang dipromosikan adalah orang-orang yang berkualitas sehingga Polri dapat dipercaya publik,” ujarnya.
Pengawasan masyarakat
Untuk memastikan hukum tajam ke atas, Slamet mengatakan, partisipasi masyarakat dalam mengawal proses hukum terhadap Teddy Minahasa juga dinilai penting. Hal ini karena masih banyak proses hukum yang memberikan hak kepada terdakwa untuk mengurangi hukumannya.
Rencana serupa sebelumnya diungkapkan oleh kuasa hukum Teddy Minahasa, Hotman Paris Hutapea. Usai sidang putusan, Hotman mengatakan, proses hukum masih panjang karena ada proses banding, kasasi, hingga peninjauan kembali yang akan dimanfaatkan untuk mengajukan keringanan hukuman.
”Apalah penegakan hukum manakala tidak ada partisipasi masyarakat. Antara kebijakan hukum, implementasi hukum, tindakan hukum, dan partisipasi masyarakat harus sesuai. Minimal, masyarakat bisa jadi polisi bagi diri sendiri dan lingkungannya,” ujarnya.