Jaksa dan Kuasa Hukum Ajukan Banding Putusan terhadap AG
Putusan pidana 3 tahun 6 bulan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa anak, AG, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diminta dipertimbangkan ulang.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Baik jaksa penuntut umum maupun kuasa hukum terdakwa anak, AG, dalam kasus penganiayaan terhadap anak bernama David, mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/4/2023). Banding disampaikan seminggu setelah putusan pidana 3 tahun 6 bulan dijatuhkan kepada AG, pekan lalu.
Informasi ini disampaikan Jumyanto dari Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam keterangan tertulis, ia menyebut pihak AG telah resmi mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan negeri yang dibacakan pada Senin (10/4/2021).
”Permohonan upaya hukum banding dinyatakan langsung oleh penasihat hukum AG ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” kata Jumyanto.
Tidak hanya penasihat hukum, Jumyanto menginfokan, upaya banding juga diajukan pihak jaksa penuntut umum (JPU) hari ini. Selanjutnya, pengadilan akan menunggu pengajuan memori banding oleh jaksa.
Kuasa hukum AG, Mangatta Toding Allo, yang telah dihubungi belum memberikan respons atas informasi tersebut. Namun, sebelumnya, ia menyatakan, tim kuasa hukum akan mengajak keluarga AG berdiskusi mengenai pidana yang disampaikan hakim tunggal Sri Wahyuni Batubara.
”Fakta-fakta yang ada yang disampaikan ibu hakim, ada beberapa catatan. Namun, keputusan kita serahkan kepada keluarga,” katanya pekan lalu.
Jaksa Hafiz yang juga dimintai keterangan mengenai pengajuan permohonan banding juga belum bisa memberi informasi lebih banyak. ”JPU juga telah menyatakan banding hari ini,” ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, jaksa menuntut AG dengan pidana penempatan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak selama 4 tahun. Tuntutan itu sudah lebih ringan dari ancaman maksimal 6 tahun yang dipotong setengah dari ancaman pidana untuk dewasa, yakni 12 tahun, terkait pidana penganiayaan berat terencana.
Dalam sidang putusan, hakim memidana AG selama 3 tahun 6 bulan. AG terbukti terlibat dalam penganiayaan berat berencana pada 20 Februari 2023 yang didakwakan dalam Pasal 355 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Hal yang memberatkan dalam perkara itu adalah kondisi korban, yakni David, yang mengalami kerusakan otak berat. Adapun faktor meringankan antara lain AG masih berusia 15 tahun, ia menyesali perbuatannya, ia diharapkan bisa memperbaiki diri, dan karena mempunyai orangtua yang menderita stroke dan kanker paru stadium 4.
Namun, vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA.
Keadilan restoratif
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam rilis tertulis pekan lalu, memberi rekomendasi agar keadilan restoratif diberikan kepada terdakwa AG sesuai aturan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Dian Sasmita, anggota KPAI untuk Kluster Anak Berhadapan Hukum, Anak Korban Kekerasaan Seksual, Anak Minoritas dan Terisolasi, antara lain menilai, keputusan hukuman penjara dalam lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), bukan lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS), tidak bijak.
”Penempatan AG di LPKS selama proses hukum telah tepat karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial. Namun, vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA,” kata Dian.
Data Mahkamah Agung tahun 2020, dari Peta Jalan Penguatan SPPA 2023-2027, menunjukkan, 88,61 persen anak mendapatkan vonis pidana penjara. Perampasan kemerdekaan anak dengan hukuman penjara, kata Dian, seharusnya menjadi upaya terakhir dan harus sesingkat mungkin, sebagaimana diatur Pasal 37 Ayat (B) Konvensi Hak Anak.
”Umur kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karena itu, UU SPPA memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak. Paradigma keadilan restoratif yang mendukung pemulihan anak harus digunakan dalam membuat putusan perkara,” tuturnya.