Beduk, Pengikat Tradisi, Penyambung Relasi
Banyak pedagang beduk musiman memanfaatkan Idul Fitri sebagai ”ladang basah” penambah pemasukan. Tak hanya itu, beduk juga jadi tali penyambung relasi dan berbagi bagi orang-orang sekitar.
Idul Fitri yang makin dekat mendorong banyak pedagang beduk membuka lapaknya di sepanjang Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka berderet memamerkan beduk-beduk yang terbuat dari tong kaleng dan kayu lengkap dengan kulit kambing atau sapi sebagai alas tabuhnya.
Sebagian pedagang berjaga sembari menanti lapaknya dihampiri pelanggan, sedangkan lainnya tengah merakit beduk. Mereka yang turun tangan tak hanya para lelaki, tetapi perempuan pun ikut memasang kulit-kulit hewan di atas tong kaleng kosong.
Salah satunya pasangan suami-istri, Tedy Sokat (54) dan Endang Kurnia (52). Sebelum Ramadhan tiba, mereka telah membuka lapaknya. Setidaknya ada dua macam beduk yang dijual, yakni berdiameter 28 sentimeter dihargai Rp 150.000 dan ukuran besar dengan diameter 60 cm nilainya Rp 500.000.
Baca juga: Akhir Pekan Ini, Puncak Jual Beli di Tanah Abang
Tedy menderita penyakit diabetes, tampak dari kakinya yang diperban untuk menutupi lukanya. Ia banyak dibantu Endang untuk merakit beduk-beduk dagangannya. Perempuan asal Sragen, Jateng, ini membantu mulai dari memasang gesper pada jari-jari kaleng, melubangi kulit, hingga mengaitkannya dengan tali di sekeliling lubang.
Sembari mendengar arahan Tedy, Endang ulet mencoba merakit beduk sesuai instruksi. Meski beberapa kali melakukan kesalahan, Tedy dan Endang tetap berupaya mencairkan suasana dengan bersenda gurau.
Sehari-hari, Tedy dan Endang bekerja menambal ban, ketika tak berdagang beduk. Alhasil, mereka harus mempersiapkan modal hingga Rp 5 juta untuk berdagang beduk. Apabila seluruh beduk terjual, keuntungan bisa mencapai dua kali lipat.
”Ini saja modal juga pinjam,” kata Tedy tertawa di lapaknya, Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Berbeda dengan istrinya, Tedy merupakan pria berdarah Betawi. Ia bercerita, berdagang beduk dilakoninya sejak tahun 1998-an.
”Lebih ramai dulu, bahkan sampai kekurangan (beduk). Dulu arak-arakan diperbolehkan sampai cari kulit saja susah. Sekarang pembeli berkurang karena dilarang arak-arakan,” ujar Tedy.
Ia menyayangkan dilarangnya pawai beduk lantaran banyak anak muda melakukan tawuran semasa Ramadhan. Mereka bertikai menggunakan berbagai senjata tajam, antara lain sabit atau celurit dan pedang.
”Polisi sih, enggak salah melarang. Didiemin malah banyak korban,” kata Tedy.
Dulu bisa sampai beli sepeda motor dari jualan beduk saja. Kalau sekarang, kadang-kadang modalnya enggak balik, saya jalani saja. Sudah biasa sih, enggak dijalani ya bagaimana.
Kondisi ini pula yang, menurut dia, mengurangi lakunya beduk-beduk jelang Lebaran. Pria bertato ini mengkhawatirkan pemasukannya tak dapat menutup modal yang dikeluarkan.
Baca juga: Hidup ”Keras” demi Eksistensi yang Terlupakan
Sambil menyeka peluhnya, Tedy memiliki kebanggaan tersendiri masih dapat menjual beduk. Berdagang beduk sudah seperti panggilan baginya, apalagi ia pernah menjadi anggota karang taruna di masjid sekitar.
”Dulu bisa sampai beli sepeda motor dari jualan beduk saja. Kalau sekarang, kadang-kadang modalnya enggak balik, saya jalani saja. Sudah biasa sih, enggak dijalani ya bagaimana,” tuturnya sembari tersenyum getir setelah mengingat masa kejayaannya.
Sejak pertama berjualan hingga saat ini, Tedy tetap mempertahankan dengan berdagang beduk kaleng. Ia jarang berjualan beduk kayu lantaran bahan-bahan serta kulit yang dibutuhkan lebih banyak dan mahal.
Inovasi tampil beda
Dengan alasan serupa, pedagang beduk lain, Sulaiman (50), memilih menjajakan beduk dengan produk lebih murah dan praktis. Ia menggelontorkan modal hampir Rp 20 juta, tetapi berupaya menyajikan beduk yang makin beragam.
Sulaiman dibantu istri dan anak-anaknya merakit beduk dengan berbagai ukuran dan bahan. Apabila sebagian pedagang hanya bertumpu pada beduk kaleng dan kayu, keluarga ini turut menciptakan beduk dari plastik. Tentu, pangsa pasarnya adalah anak-anak sehingga harganya pun lebih terjangkau. Dengan harga Rp 60.000, pelanggan dapat menabuh beduk dengan kulit kambing asli.
”(Beduk) Yang kecil paling diminati. Pihak masjid dan mushala juga beli dari sini,” kata Sulaiman sembari melubangi kulit-kulit kambing sebelum dilekatkan pada tabung beduk.
Sebelumnya, Sulaiman banyak menjual beduk kaleng. Namun, lambat laun, ia menjajal inovasi baru dengan mengecat kaleng-kaleng itu. Kemudian, inovasi baru dicoba dengan memanfaatkan bekas wadah es krim berbahan plastik. Sampul tabung diubah dengan beraneka gambar tokoh-tokoh kartun untuk menarik perhatian anak-anak.
Terbukti, produk-produk itu yang jadi magnet pelanggan untuk berbelanja beduk bagi anak-anak. Sulaiman juga dapat memasangkan tali pada beduk-beduk kecil itu sehingga alat itu dapat ditabuh sembari dicangklong di pundak.
Anak sebagai pelanggan pun dapat mencoba menabuh beduk-beduk yang akan dipilihnya. Tali dapat dipasangkan sesuai tinggi anak. Rambut kambing yang dianggap mengurangi performa pukulan dapat dikikis dengan pisau agar suara makin menggelegar. Pelayanan macam ini pula yang jadi nilai tambah kiosnya dibanding lapak lain.
Baca juga: Mengais Rezeki dari Roda Ekonomi Pasar Urban
Saat ramai festival beduk semasa Ramadhan yang banyak digelar sebelum pandemi Covid-19, Sulaiman terbuka untuk menyewakannya. Harganya bisa mencapai Rp 100.000 per hari.
Ada pedagang lain yang hanya fokus menjual beduk-beduk kayu. Harganya lebih tinggi dibandingkan kaleng dan plastik, tetapi mutu dinilai lebih baik daripada material lainnya.
Luthfi (57), misalnya, memutuskan menjajakan beduk-beduk kayu. Kiosnya tampak berbeda dibandingka lapak lainnya lantaran tak ada satu pun produk berbahan kaleng atau plastik.
”Jual beduk-beduk kayu biar beda dari yang lain, enggak ada saingan. Banyak yang cari. Alhamdulillah, saya keluar (berdagang) paling akhir, tetapi habisnya duluan,” kata perempuan berkerudung ini.
Meski stok beduknya secara kuantitas tak sebanyak kios-kios sebelahnya, Luthfi tetap percaya diri dan yakin bahwa produknya akan terjual habis sebelum Lebaran tiba. Ia menjual beduk berdiameter 30 cm dengan harga sekitar Rp 1,5 juta. Namun, ia terbuka untuk ditawar di bawah harga jual.
Konsumen-konsumennya tak hanya pengelola mushala dan masjid, tetapi hingga pusat-pusat perbelanjaan. Biasanya mereka memanfaatkan beduk-beduk kayu untuk dipajang di depan gerbang pertokoan. Pelanggannya juga makin luas, tak terbatas pada wilayah Jabodetabek, tetapi hingga warga Bandung juga mencari beduk di lapaknya.
Penghubung relasi
Beduk tampaknya jadi sarana para pedagang untuk memperpanjang kebaikan pada orang lain. Baik Tedy maupun Luthfi memiliki cerita masing-masing akan pengaruh beduk bagi mereka.
Tedy bercerita bahwa dahulu, ia pernah mengajak dan mengajar para tukang ojek pangkalan membuat beduk. Akhirnya, mereka pun dapat membuat beduk.
”Mereka sampai jualan sendiri. Setelah itu, bisa dibagi-bagi keuntungannya,” ujarnya sambil mengingat-ingat.
Kini, zaman berubah. Jarang lagi ditemui para tukang ojek pangkalan sebab keberadaannya tergerus ojek daring.
Berbeda dengan Tedy, Luthfi berbagi kebaikan dengan caranya sendiri. Ketika berjualan, ia tak serta-merta hanya menghitung untung-rugi. Lebih dari itu, ia mencoba berbagi dengan merelakan beduk-beduknya ditawar lebih dari seperempat harga jualnya.
Baca juga: Permintaan Beduk Meningkat Tiga Kali Lipat
Dari harga Rp 1,5 juta, Luthfi bahkan pernah menjual dengan harga Rp 900.000. Sebab, terkadang ia luluh juga dengan konsumen-konsumennya yang berusaha membeli beduk dengan ongkos seadanya.
Pedagang lain, Sulaiman berupaya mengenalkan tradisi Betawi yang erat dengan beduk pada anak-anaknya. Tak heran, ia dengan telaten melibatkan seluruh anggota keluarganya andil membuat beduk, seperti memotong kulit kambing, mengelem, dan memasang gambar-gambar kartun.
”Menahan saja supaya jangan hilang tradisi Betawinya, biar bisa menurun, diteruskan,” kata Sulaiman.
Sekarang ini, mereka girang dalam hening, jadi bagaimana ya rasanya
Menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, beduk merupakan sebuah media yang dikenal sejak lama. Bermula dari alat yang melengkapi kemeriahan saat persembahan membawa sesajian pada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan, kini beduk makin bertransformasi jadi pengingat waktu.
Kisah ”Si Pitung” memperkuat alasan di balik eratnya relasi masyarakat Betawi dengan beduk. Pitung diceritakan menjual kambing ke Tanah Abang, kemudian jadi dagangan masyarakat sekitar. Kulit merupakan salah satu yang dimanfaatkan jadi rebana, beduk, dan alat sembahyang lain.
Sepakat dengan para pedagang, Yahya menilai budaya beduk kini mulai ditinggalkan anak muda lantaran mereka mengekspresikan keceriaannya dengan cara yang berbeda. Girangnya anak dahulu dan sekarang berbeda sehingga beduk ketinggalan popularitasnya.
Dahulu, anak-anak muda berebut memukul beduk beramai-ramai di langgar, termasuk juga bermain meriam sundut. ”Jadi suaranya ramai betul. Dulu, bahkan antarkampung ada adu beduk, adu kuat secara fisik dan variasi pukulan. Terkadang, beduk itu juga dilombakan, digotong empat orang,” kata Yahya.
Ia membandingkan anak-anak kini lebih suka bermain gawai sehingga ekspresi kegembiraannya tak lagi tergambarkan.
”Sekarang ini, mereka girang dalam hening, jadi bagaimana ya rasanya,” ujar Yahya.
Beduk yang jadi salah satu akar tradisi Betawi perlu mendapat perhatian seluruh pihak, mulai dari masyarakat hingga pemerintah. Dari wilayah terdekat, warga dapat mengagendakan khusus memperkenalkan beduk-beduk di masjid dan di langgar. Hal ini diharapkan menumbuhkan rasa ingin tahu anak-anak agar mereka mencoba memukul beduk.
Baca juga: Tanah Abang yang Kian Meriah Jelang Lebaran
Pemerintah juga perlu turun tangan untuk menghidupkan kembali rasa cinta pada alat tabuh ini. Festival adu beduk dapat dilakukan rutin guna mengapresiasi partisipasi anak-anak muda yang mau terlibat.
Selain dilatarbelakangi cerita panjang, beduk jadi penyambung benang merah pada banyak orang. Butuh kepekaan dan inisiatif seluruh pihak demi melestarikan tradisi ini. Jangan sampai menurunkan beduk tinggal cerita belaka.