Baca Pleidoi, Teddy Minahasa Ungkap Rekayasa dan Konspirasi dalam Perkaranya
Teddy dan pengacaranya meminta majelis hakim memberi putusan yang adil dengan mencabut tuntutan pidana mati oleh jaksa penuntut umum.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra mengungkapkan adanya rekayasa dan konspirasi oleh terdakwa lain hingga penegak hukum terkait perkara narkotikanya. Pengacara Teddy meminta majelis hakim mencabut tuntutan pidana mati oleh jaksa penuntut umum.
Kamis (13/4/2023), Teddy menyampaikan nota pembelaan atau pledoi dalam sidang terbuka di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jakarta. Ia membacakan pledoi yang diberi judul ”Sebuah Industri Hukum dan Konspirasi” sejak pukul 10.23 hingga pukul 11.58.
Makna dari ”industri hukum” itu, disebut Teddy, dimaknai dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dalam media. Pernyataan itu berbunyi, tindakan yang dilakukan untuk satu kepentingan orang-orang yang hendak mengambil keuntungan dari suatu proses hukum.
”Pada prinsipnya, saya merasakan ada upaya rekayasa dan konspirasi terhadap diri saya, di mana hal tersebut sejalan dengan makna industri hukum yang disampaikan Prof Mahfud MD dengan tujuan untuk membunuh karakter saya, menghentikan karier saya, menghancurkan hidup dan masa depan saya, bahkan untuk tujuan membinasakan saya,” ujar bekas Kapolda Sumatera Barat itu.
Ia mengklaim, antara lain, penyidik Polda Metro Jaya dengan leluasa dapat meniadakan bukti atau fakta, lalu menciptakan bukti baru melalui proses rekayasa keterangan saksi untuk menjerat dirinya. Ia juga mengklaim, di awal, penyidik sudah bekerja sama dengan Adriel Viari Purba dan tim selaku kuasa hukum mantan anak buahnya, Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara, Linda Pujiastuti, dan Syamsul Maarif.
”Hal ini terlihat jelas dalam klaim terdakwa Dody Prawiranegara dan lain-lain yang semuanya serentak menyebutkan bahwa sabu tersebut milik saya,” kata Teddy.
Teddy juga mengungkap adanya pernyataan tentang perintah pimpinan oleh pejabat utama Polda Metro Jaya saat ia ditahan pada Oktober- November 2022. Ia mengatakan, Wakil Direktur Reserse Narkoba Ajun Komisaris Besar Dony Alexander dan Direktur Reserse Narkoba Komisaris Besar Mukti Juharsa sempat meminta maaf dan bersumpah bahwa penangkapan yang mereka lakukan adalah perintah pimpinan.
”Jujur saja, Yang Mulia, sampai saat ini, saya belum paham yang dimaksud pimpinan oleh Pak Mukti dan Pak Dony Alexander tersebut,” ucapnya.
Dengan demikian, Teddy merasa bahwa tuntutan hukum mati oleh jaksa sangat berat dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Ia mengharapkan majelis hakim mempertimbangkan proses pembuktian selama persidangan, berbagai jasa dan kontribusi dirinya sebagai anggota Polri kepada bangsa dan negara, serta perannya sebagai tulang punggung keluarga. Permintaan serupa disampaikan kuasa hukumnya yang diketuai pengacara Hotman Paris.
”Berdasarkan uraian fakta-fakta, bukti-bukti dan analisis yuridis di atas, kami tim penasihat hukum terdakwa dengan segala kerendahan hati memohon kepada majelis hakim yang mulia, yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar menjatuhkan putusan, menyatakan terdakwa Teddy Minahasa Putra, tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum," kata kuasa hukum.
Mereka juga memohon majelis hakim membebaskan Teddy dari segala tuntutan hukum atau setidak-tidaknya melepaskan Teddy dari segala tuntutan hukum dan membebaskannya dari tahanan segera setelah putusan diucapkan.
”Apabila majelis hakim berpendapat lain, kami mohon agar diberikan putusan yang seadil-adilnya demi tegaknya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata kuasa hukum.
Sebelumnya, Kamis (30/3/2023), jaksa menilai Teddy terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 114 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
”Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Teddy Minahasa Putra pidana mati dengan perintah tetap ditahan," kata Jaksa Wahyudi.
Jaksa menimbang, tuntutan pidana diberikan karena delapan poin pemberatan. Pemberatan itu adalah terdakwa telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan narkotika jenis sabu tersebut. Selain itu, terdakwa merupakan anggota Polri dengan jabatan Kapolda Sumatera Barat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran gelap narkotika. Namun, terdakwa justru melibatkan dirinya dan anak buahnya, terdakwa mantan Kapolres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara, dengan memanfaatkan jabatannya. Perbuatan terdakwa dinilai telah merusak kepercayaan publik kepada institusi Polri dan merusak nama baik Polri. Perbuatannya juga dinilai mengkhianati perintah Presiden RI karena tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika.
”Terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Terdakwa menyangkal dari perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan,” tutur jaksa lainnya. Sementara itu, jaksa menyebut tidak ada hal-hal yang meringankan terdakwa.