Tidak Mengakui Perbuatannya, Irjen Teddy Minahasa Dituntut Pidana Mati
Jaksa menilai, Teddy terbukti tidak berhak dan berwenang mengedarkan 5 kilogram sabu dari Sumatera Barat ke Jakarta, sementara itu Teddy tidak mengakui perbuatannya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, terdakwa perkara peredaran narkotika, dituntut pidana mati. Jaksa menilai, Teddy terbukti tidak berhak dan berwenang mengedarkan 5 kilogram sabu dari Sumatera Barat ke Jakarta, sementara itu Teddy tidak mengakui perbuatannya.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (30/3/2023), Wahyudi, jaksa penuntut umum (JPU) yang terakhir membacakan tuntutan terhadap Teddy di hadapan kuasa hukum terdakwa, yaitu Hotman Paris dan tim, serta majelis hakim yang diketuai Jon Sarman Saragih. Tuntutan dibuat setelah mengumpulkan keterangan dari 29 saksi dan sejumlah alat bukti.
Jaksa meminta mejelis hakim mengadili terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 114 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
”Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Teddy Minahasa Putra pidana mati dengan perintah tetap ditahan,” kata Wahyudi.
Seusai amar tuntutan pidana dibacakan, Teddy yang mengenakan kemeja batik lengan panjang dan celana hitam tetap duduk tegak dan bersandar di kursinya.
Majelis hakim lalu menanyakan kepada pengacara Teddy apakah akan segera mengajukan pembelaan. Namun, tim kuasa hukum yang diwakili Hotman Paris meminta kepada majelis hakim untuk memberi waktu dua minggu untuk mereka mengajukan pembelaan.
”Dari kesepakatan pada sidang terakhir, dua minggu lalu, mohon ada hak sama yang diberikan kepada kami untuk mengajukan pembelaan dalam dua minggu lagi. Waktu itu majelis hakim sudah berjanji,” ucap Hotman.
Majelis hakim menyetujui kuasa hukum menyampaikan nota pembelaan dua minggu setelah sidang hari ini, tetapi dengan syarat agenda replik dan duplik dipercepat.
”Nota pembelaan diberikan hari sidangnya pada hari Kamis tanggal 13 April 2023. Dua minggu dari sekarang sama dengan penuntut umum. Tapi, nanti janji, karena kita harus selesai di waktu yang ditentukan, maka mungkin dua atau tiga hari dilanjutkan replik dan duplik,” kata Jon Sarman.
Hal memberatkan
Jaksa menimbang, tuntutan pidana diberikan karena delapan poin pemberatan. Pemberatan itu ialah terdakwa telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan narkotika jenis sabu tersebut. Lalu, terdakwa merupakan anggota Polri dengan jabatan Kapolda Sumatera Barat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran gelap narkotika.
Namun, terdakwa justru melibatkan dirinya dan anak buahnya, terdakwa mantan Kapolres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara dengan memanfaatkan jabatannya. Perbuatan terdakwa dinilai telah merusak kepercayaan publik kepada institusi Polri, dan merusak nama baik Polri. Perbuatannya juga dinilai mengkhianati perintah Presiden RI karena tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika.
”Terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Terdakwa menyangkal dari perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan,” ujar jaksa lainnya.
Kemudian, jaksa menyebut hal-hal yang meringankan terdakwa nihil.
Kejahatan sempurna
Fakta-fakta persidangan menunjukkan, Teddy memerintahkan Dody, pada Mei 2022 melalui obrolan aplikasi pesan, untuk menyisihkan 10 kilogram (kg) sabu dari 41,4 kg sabu yang diamankan Polres Bukittinggi dari beberapa kasus narkotika. Penyisihan yang diarahkan dilakukan dengan menukar sabu dengan tawas ditujukan untuk bonus anggota.
Dalam keterangannya, Teddy menyebut pesan itu hanya untuk menguji kejujuran bawahannya. Namun, berikutnya, Teddy beberapa kali mengirim pesan perintah serupa dan menemui Dody secara langsung untuk memintanya menjual sabu, yang hanya disanggupi Dody 5 kg. Teddy lalu memberi Dody nomor telepon Linda Pujiastuti alias Anita Cepu yang akan menerima sabu hasil penyisihan.
Teddy dan Linda saling kenal sejak tahun 2006, kemudian tidak ada komunikasi sampai dengan tahun 2019, dan berlanjut pada 2022. Tahun lalu, Linda menghubungi Teddy untuk meminta melanjutkan pekerjaan menjual barang antik di Brunei Darussalam dan meminta uang operasional.
Dari situ, Teddy mengaku hendak menjebak Linda untuk menjual sabu di Riau. Teddy dalam keterangannya mengatakan, harus menjebak Linda karena telah membohongi Teddy dengan adanya informasi terkait dengan penyelundupan narkotika dan ingin membuktikan Linda mempunyai jaringan.
Upaya menjebak ini diakui Teddy bentuk undercover buy atau pembelian terselubung sebagai kegiatan resmi untuk mengungkap dan menangkap pelaku jaringan peredaran narkoba.
Teddy, kata Jaksa, berperan dalam menentukan metode penjualan yang dilakukan Dody dengan mengirimnya ke Linda di Jakarta Barat. Teddy juga selalu berkomunikasi dengan Dody. Dalam komunikasi dengan Dody dan Linda, Teddy kerap menggunakan kata sandi untuk mengelabui kata sabu, antara lain sembako dan galon.
Teddy secara sadar mengetahui Dody berhasil menjual 1 kg sabu dan mendapatkan Rp 300 juta pada September 2022. Teddy juga sempat memerintahkan Dody untuk menarik 4 kg sabu yang tersisa karena tidak cocok dengan skema pembagian komisi dengan Linda. Namun, perintah itu tidak ditindaklanjuti. Teddy menerima uang tunai Rp 300 juta yang telah ditukar Dody menjadi 27.300 dollar Singapura.
”Dari uraian tersebut di atas, jelas ada perbuatan bersama-sama sebagai turut serta (medepleger) secara sadar dan peranan secara fisik untuk melaksanakan kehendak dan rencana yang dilakukan terdakwa bersama-sama dengan Dody dan Linda dalam bentuk rangkaian tindakan kerja sama yang erat dan kuat sehingga perbuatan yang dikehendaki bersama menjadi sempurna,” kata Jaksa.