Pelanggan rela antre demi berbuka puasa di restoran favorit. Namun, ekspresi itu diharapkan tak melenceng dari makna Ramadhan yang menitikberatkan pada berbagi kepada sesama dan menahan diri hidup konsumtif.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Suasana pujasera di salah satu mal di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (24/3/2023). Mal menjadi salah satu tempat favorit warga Jakarta untuk berbuka puasa. Selain menyediakan berbagai macam pilihan kuliner, pengunjung dapat berkeliling dan berbelanja sembari menunggu waktu berbuka puasa.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian kaum urban Jakarta menjadikan Ramadhan sebagai momen berbuka puasa di keramaian, antara lain di mal dan hotel. Perayaan ini jadi ekspresi masyarakat untuk merayakan kebersamaan. Namun, hal itu diharapkan tak menggeser makna Ramadhan.
Sekitar pukul 17.00, mal Grand Indonesia di Jakarta Pusat terpantau lengang. Semakin mendekati waktu berbuka puasa, para pelanggan yang mayoritas pekerja kantoran dan mahasiswa mulai memadati pusat jajan serba ada atau food court.
Hanya segelintir gerai makanan yang menimbulkan antrean konsumen, salah satunya Sushi Go!. Pukul 17.20, daftar mengantre mencapai urutan ke-37. Meski demikian, para pelanggan yang bersiap berbuka dengan makanan khas Jepang ini terus bertambah.
Dua pelanggan di antaranya adalah Indah (29) dan Lisa (28), pekerja kantoran yang rela mengantre sejak pukul 17.00. Keduanya pun masuk daftar tunggu ke-16. Indah dan Lisa berburu promo saban Senin, yakni Rp 10.000 per piring sushi. Hingga pukul 17.35, mereka masih harus menanti lima antrean lagi sampai dapat menikmati makanan Jepang itu.
Indah dan Lisa biasanya menghabiskan Rp 200.000 hingga Rp 250.000 untuk sekali makan. Mereka kerap berbuka puasa di luar dengan teman atau pasangan.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Indah (29) dan Lisa (28) menanti buka puasa bersama di depan gerai Sushi Go! di mal Grand Indonesia, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Mereka mengatakan selama ini lebih menyukai berbuka puasa di luar bersama teman-teman ketimbang di rumah. ”Bareng teman-teman lebih enak saja, bisa mengobrol,” ujar Indah, Senin (27/3/2023).
Hal senada dikatakan karyawan lain, Ranisa Sarah (27). Selama ini, ia menyempatkan untuk berbuka puasa di rumah bersama sanak saudara, tetapi sesekali tetap makan di luar. Alasannya, ia mencari euforia untuk berbuka puasa bersama.
Ranisa tak keberatan untuk mengantre di gerai sembari ngabuburit. Jika makanan belum tersedia, padahal azan telah berkumandang, ia akan mengganjal perutnya dengan jajanan kecil yang telah disiapkan.
Sementara itu, momen Ramadhan jadi ”ladang basah” bagi para pebisnis dari semua kalangan untuk meraup keuntungan. Mereka menawarkan berbagai paket buka puasa dengan tampilan berbeda guna menarik pelanggan.
Restoran makanan cepat saji Lawless Burger, misalnya, membuka reservasi bagi para pelanggan yang hendak berbuka puasa bersama. Meski tampilannya serupa dengan menu-menu hari biasa, variasi isian dibuat berbeda guna menarik konsumen.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Promo Ramadhan restoran makanan cepat saji Lawless Burger di bilangan Kemang, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Harga bervariasi, mulai dari Rp 70.000 hingga Rp 75.000. Ukuran roti burger reguler memang menjadi mini, tetapi dengan pelengkap yang lebih banyak, yakni stryper (ayam) dan judas fries (kentang goreng). Untuk minumannya, konsumen diberi pilihan sebotol air mineral atau sekaleng minuman bersoda.
”Karena masih di awal bulan puasa, ya, jadi customer juga belum begitu banyak yang datang. (Performa) Masih sesuai dengan ekspektasi target kami saat ini,” ujar Manajer Lawless Burger Kemang Andre Kurniawan.
Oleh karena itu, selalu tersedia slot kosong bagi pelanggan yang berminat memesan tempat. Sebaliknya, pelanggan yang langsung datang dapat duduk walau terkadang dalam kondisi ramai.
”Biasanya customer masih rela menunggu 15 menit,” tambah Andre.
Sementara itu, Hotel Pullman turut mengemas sejumlah hidangan prasmanan untuk berbuka puasa. Menurut tim komunikasi dan pemasaran Hotel Pullman, Debora Sandra Dewi, hotel tersebut melalui restoran Sana Sini menyediakan berbagai menu, mulai dari hidangan lokal hingga internasional, antara lain masakan China, Jepang, Timur Tengah, dan Barat.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Sejumlah pekerja kantoran menanti berbuka puasa di mal Grand Indonesia, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Tiap orang dapat menikmati sajian-sajian itu dengan merogoh kocek mulai dari Rp 588.000. Program ini tersedia pada 23 Maret-21 April 2023. Guna menarik perhatian pelanggan, konsumen yang melakukan pemesanan sebelum 20 Maret 2023 mendapat potongan harga hingga 15 persen.
Menanggapi fenomena buka bersama, pengamat budaya komunikasi dan gaya hidup Idi Subandy Ibrahim mengatakan adanya unsur keinginan dan kebersamaan untuk sebuah pertemuan. Buka bersama pun jadi ajang ”mumpung”.
Kesempatan berbuka puasa tak terjadi setiap waktu sehingga orang-orang memanfaatkan kesempatan ini untuk bertemu di tempat yang berbeda. Meski tak dapat dimungkiri, terkadang ada pula unsur pamer gaya hidup hingga memaksakan kemampuan diri.
”Memang buka bersama itu biasanya orang ingin lebih dari hari-hari biasanya. (Namun) Yang berlebihan itu jadi momen konsumsi, sesuatu yang mengekspresikan gaya hidup berlebihan,” kata Idi.
Menjaga makna Ramadhan
Sebagian besar masyarakat memang memilih berbuka puasa di beragam restoran. Namun, masih ada pekerja lain yang menyukai makan bersama di rumah.
Salah seorang aparatur sipil negara, Neni Fitriana (27), mengatakan, selama ini lauk-pauk untuk berbuka puasa dimasaknya sendiri. ”Untuk menghemat karena uangnya bisa dialokasikan kalau sewaktu-waktu ada ajakan buka bersama,” ujarnya.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Idi Subandy Ibrahim
Selain itu, Neni berupaya menjaga agar kondisi keuangannya tetap stabil seperti hari-hari biasa. Sebab, Lebaran membutuhkan banyak anggaran, seperti tiket mudik dan oleh-oleh saat pulang kampung. Ia ingin merayakan Ramadhan dengan kesederhanaan bersama orang-orang terdekatnya. Puasa yang berjalan saban hari justru tak ingin dirayakannya dengan makanan mahal. Meski demikian, sesekali ia dan keluarga tetap menyempatkan diri untuk makan bersama di restoran.
Menurut Idi, fenomena buka bersama diharapkan tak menggeser makna Ramadhan. Buka bersama perlu direfleksikan sebagai momen kebersamaan yang tetap menjunjung unsur kesederhanaan. Makna yang sesungguhnya, bagaimana mengendalikan diri dicerminkan juga setelah berbuka. Jangan sampai berbuka itu jadi momen konsumtif.
”Kita menahan diri, tapi kita harus sebanyak-banyaknya memberi orang lain yang tidak berbahagia untuk berbahagia. Itulah sebenarnya makna momen Ramadhan,” tambahnya.
Puasa justru jadi ajang berbagi pada orang-orang yang membutuhkan tanpa memandang agama. Tiap orang perlu menutup mata pada latar belakang orang yang butuh uluran tangan.