Ramadhan di Pengungsian, Berbuka Puasa dengan ”Sayur Gempa”
Ditemani ”sayur gempa” atau apa saja yang dilekati dengan kata gempa, para penyintas lindu Cianjur, Jawa Barat, berdamai dengan keadaan. Ramadhan menandai kebangkitan mereka. Kebangkitan yang juga perlu dukungan.

Tenda pengungsian di Kampung Kawunggading, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, selepas sahur, Kamis (23/3/2023).
Melekatkan kata ”gempa” pada kata ”sayur” atau kata lainnya menjadi cara para penyintas lindu Cianjur, Jawa Barat, berdamai dengan kenyataan bahwa mereka menjalani puasa dengan masih mengungsi di tenda. Alih-alih bersedih, mereka menjadikan Ramadhan momentum bangkit dan menata hidup kembali.
”Hayu atuh urang buka sareng ’sayur gempa’!” kata Imas Masitoh (63) mengajak keluarga dan tetangganya di pengungsian gempa Cianjur untuk berbuka puasa pertama dengan sayur gempa, Kamis (23/3/2023). Sayur yang dimaksud Imas sebenarnya adalah semangkuk sayur lodeh dengan ceciwisatau baby kol, irisan daging sapi, dan kuah santan.
Sejak gempa bermagnitudo 5,6 memorakporandakan rumahnya pada 21 November 2022, Imas dan 149 warga Kawunggading, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur lain mengungsi di area bekas kolam ikan. Jarak pengungsian hanya 200 meter dari tempat tinggal mereka sebelumnya.
Imas sempat bilang, Ramadhan tahun ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebab, pada hari pertama, semua berjalan seperti biasanya. Tarawih tetap digelar meski di tenda darurat. Warga juga punya opsi Tarawih di mushala yang rampung dibangun kembali oleh donatur menjelang Ramadhan.
Baca juga: Harapan Penyintas Gempa Cianjur Menata Hidup dari Tenda Usang

Warga bersalam-salaman seusai menjalani shalat Tarawih di Mushala Pesantren Mifatahul Huda, di Kawunggading, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Kamis (23/3/2023). Mushala telah dibangun kembali setelah ambruk karena gempa.
Sahur dan buka, kata Imas, juga tetap seperti biasa, yakni dilakukan bersama keluarga meski kini tak lengkap karena cucunya meninggal akibat gempa. Di pengungsian warga Kawunggading, para penyintas gempa tampak langsung memasuki tenda masing-masing ketika waktu buka puasa pertama tiba. Mereka baru keluar lagi saat hendak Tarawih. Sekembalinya, mereka menenggelamkan diri lagi di tenda bersama keluarga.
Maka, kendati ramai seruan sahur dan buka puasa, yang tersisa setelahnya tetap keheningan di kampung. Tak ada suara selain jangkrik dari sekeliling ataupun seberang pengungsian yang merupakan bekas persawahan.
Namun, Imas lantas sadar, Ramadhan tahun ini berbeda karena sebenarnya keheningan itu pecah karena tinggal di tenda. Di pengungsian, jarak antartenda yang terbuat dari terpal biru dan berkerangka bambu itu berdekatan. Obrolan di satu tenda bisa terdengar sampai ke tenda di sampingnya.
”Hayu, sanguna ge sangu gempa, nya. (Ayo, nasinya juga nasi gempa, ya),” ucap tetangga Imas, merespons ajakan sebelumnya. Dua keluarga yang terpisah dinding tenda itu kemudian tertawa.

Suasana pengungsian di Kampung Kawunggading, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, selepas berbuka puasa, Kamis (23/3/2023).
Baca juga: 69.000 Penyintas Gempa Cianjur Masih Bertahan di Pengungsian
Suami Imas, Isak (67), mengatakan, mereka tentu menyadari ada perbedaan-perbedaan lain dari Ramadhan tahun ini dengan sebelumnya. Namun, kenyataan bahwa mereka menjalani Ramadhan dengan masih tinggal di tenda merupakan sesuatu yang sudah mereka duga. Itu karena mereka belum kunjung bisa membangun rumah lagi.
Isak dan tetangga kampungnya belum mendapatkan dana bantuan pembangunan rumah dari pemerintah. Padahal, sebagian besar dari rumah mereka ambruk. Penyaluran bantuan bagi warga kampung tersebut baru sebatas pendataan dan penetapan kategori kerusakan. Isak mengeklaim, kebanyakan rumah warga di situ dikategorikan rusak berat. Untuk rusak berat, warga akan mendapat bantuan uang tunai Rp 60 juta.
Hal serupa dialami sebagian besar dari 69.633 penyintas yang masih bertahan di pengungsian. Dede Ramlan (40), misalnya, masih mengungsi meski sebenarnya sempat berharap bisa menjalani Ramadhan atau Idul Fitri di hunian baru. Setidaknya, kata warga Kampung Gununglanjung, Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, ini, ia dan keluarganya masih terbantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari.
”Kalau untuk makan, mah, ada ’makanan gempa’. Alhamdulillah, masih ada bantuan. Ini semuanya juga dari bantuan. Termasuk baju yang saya dan keluarga pakai. Baju-baju gempa, he-he-he,” tutur bapak dua anak ini.

Para pengungsi gempa Cianjur melaksanakan shalat Subuh berjemaah di tenda darurat di Kampung Kawunggading, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jumat (24/3/2023). Di tenda ini, para pengungsi juga melaksanakan shalat Tarawih.
Bangkit
Walakin, para pengungsi juga merasa perlu kembali mencari penghasilan sendiri demi memenuhi kebutuhan lain dan hidup tak mengandalkan bantuan. Pada hari pertama puasa, Dede pun memilih membawa motor menuju bengkel. Motor itu sempat terkena banjir pada Senin (20/3/2023). Membawanya ke bengkel menjadi langkah awal untuk kembali menjalani pekerjaan sebagai pengojek.
Langkah lain ditempuh Ai Syamsiah (32), pengungsi di Kawunggading, Desa Cibulakan. Ai membuka warung kecil-kecilan di pengungsian untuk menjual takjil, jajanan, dan kopi. Selain untuk ’memperpanjang’ uangnya yang masih tersisa, upaya itu dilakukan Ai untuk mengumpulkan modal lagi.
Sebelum gempa, Ai dan suaminya berjualan minuman jeli susu dalam kemasan. Mereka kemudian memasok ke warung-warung di sekitar Cianjur dengan pembayaran dilakukan setelah minuman terjual. Kini, uang Ai masih tertinggal di warung-warung yang tak lagi berdiri lantaran terdampak gempa. Alat-alat yang biasa dipakai ibu dua anak ini untuk membuat minuman juga sudah hancur bersama rumahnya yang ambruk.
”Sekarang ngumpulin modal lagi untuk bikin usaha lagi. Semoga bisa kekumpul meskipun warung juga enggak terlalu rame. Kemarin aja malah enggak ada lebihnya,” ucap Ai pada hari kedua membuka warung.
Baca juga: 200 Hunian Penyintas Gempa Cianjur Direlokasi, Kebutuhan Air Mendesak

Imas Masitoh (kiri) dan suaminya, Isak, membersihkan lahan yang sebelumnya ditanami padi, di Kampung Kawunggading, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jumat (24/3/2023).
Imas dan Isak kembali ke serang atau sawah. Selepas sahur, Jumat (23/2/2023), keduanya mengeluarkan arit dan garpu taman. Saat matahari mulai muncul sekitar pukul 06.00, mereka lantas berjalan ke sawah yang jaraknya sekitar 500 meter dari tenda pengungsian. Sejak hari pertama puasa, mereka mulai membersihkan lahan yang telah dipenuhi rerumputan tinggi.
Menurut rencana, Isak akan menanami lahan itu dengan jagung yang akan panen dalam waktu sekitar 70 hari. Selain untuk konsumsi sendiri, jagung hasil panen akan dijual. Problemnya, pipa saluran air menuju sawah banyak yang terputus karena gempa.
Juru bicara Tim Penanganan Bencana Gempa Bumi Cianjur, Budi Rahayu Toyib, memastikan, pihaknya akan memenuhi kebutuhan dasar pengungsi hingga seluruh pembangunan rumah selesai dan warga tidak lagi tinggal di tenda. Targetnya, semua pembangunan selesai saat masa transisi darurat ke pemulihan berakhir pada 20 Juni 2023.
Status transisi darurat ke pemulihan diperpanjang selama tiga bulan pada 21 Maret 2023. Status ini diterapkan ketika ancaman bencana yang terjadi cenderung menurun atau mereda eskalasinya atau telah berakhir, sedangkan gangguan kehidupan dan penghidupan masyarakat masih tetap berlangsung.
Baca juga: Tajam Pena Membayar Rindu Sanitasi Pengungsi Gempa Cianjur
Pada masa transisi ini, upaya yang dilakukan, antara lain, perbaikan fungsi prasarana dan sarana vital. Budi mengatakan, sejak masa transisi darurat pertama dari 21 Desember 2022 hingga 20 Maret 2023, pihaknya telah melakukan secara bertahap melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Bantuan perbaikan rumah, pembersihan puing-puing, dan perbaikan atau pembangunan prasarana dan sarana umum termasuk ke dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.Terkait pemulihan sosial ekonomi, pihaknya tengah mempersiapkan program pemberian bantuan modal usaha dan pelatihan keterampilan bagi warga terdampak. Pemerintah Kabupaten Cianjur akan memanfaatkan pos Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
”Anggarannya sedang diusulkan dalam anggaran parsial oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cianjur. Mudah-mudahan programnya sudah bisa dilaksanakan paling lambat bulan Juni, sebelum berakhirnya masa transisi kedua ini,” tutur Budi.
Alhamdulillah, da ayeuna mah ibu tos reugreug (Sekarang saya sudah berbesar hati/kuat).
Pengungsi sekaligus Ketua RT 001 Kawunggading, Uus Usmanudin (52), sangat berharap semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Ia ingin melihat warga kembali menata hidup, yang dimulai dengan berjalannya lagi aktivitas ekonomi masyarakat.
”Sebagian besar warga yang merupakan petani telah kembali ke sawah masing-masing. Semoga semua dimudahkan ke depannya, termasuk upaya warga kembali menggarap lahannya atau kembali membuka usaha,” kata Uus.

Imas Masitoh (63), penyintas gempa Cianjur, duduk di depan tenda pengungsian di Kampung Kawunggading, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Kamis (23/3/2023)
Baca juga: Tajam Pena Membayar Rindu Sanitasi Pengungsi Gempa Cianjur
Imas, Dede, Ai, dan pengungsi lainnya mengutarakan harapan serupa. Bagi Imas, peristiwa gempa memang masih terbayang. Ia juga masih trauma jika berada di dalam bangunan tembok. Sebab, tembok yang runtuh telah menewaskan cucunya serta sempat menimpa punggungnya. Namun, Imas tak mau berlama-lama berkutat dengan situasi sedih karena musibah.
”Alhamdulillah, da ayeuna mah ibu tos reugreug (Sekarang saya sudah berbesar hati/kuat),” tutur Imas.
Ditemani sayur gempa atau apa saja yang dilekati dengan kata gempa, para penyintas melalui beragam situasi pascabencana. Ramadhan menandai kebangkitan mereka. Kebangkitan yang juga perlu dukungan.