Rusun Rp 10.000 Hadirkan Ceria bagi Pemulung di Kota Bekasi
Pemulung, eks gelandangan, pengemis, dan difabel berkesempatan menghuni Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur. Dengan sewa Rp 10.000 per bulan, tiap hunian dilengkapi perabotan dan kamar mandi dengan ”shower”.
Oleh
STEFANUS ATO
·6 menit baca
KOMPAS/STEFANUS ATO
Asmani (40), warga yang tinggal di lantai lima Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (24/3/2023) siang, antusias menunjukkan isi hunian yang sudah dia tempati satu bulan.
Asmani (40) bersemangat membuka pintu kamar unit hunian di lantai lima Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (24/3/2023) siang. Perempuan itu antusias menceritakan kondisi kamar hingga perabotan rumah tangga yang tersedia di unit rumah susun tersebut.
”Semua lengkap, dari meja makan, tempat tidur, kompor gas, sampai piring dan sendok juga ada. Saya dan suami ke sini hanya bawa pakaian saja,” kata ibu yang memiliki tiga anak itu.
Unit di lantai lima yang ditempati Asmani bersama suami bertipe 24. Unit itu memiliki satu kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi, satu ruang memasak (dapur), dan balkon.
Asmani juga antusias menceritakan pengalamannya saat pertama kali mandi di unit rumah susun itu. Dia akhirnya merasakan keseruan mandi di rumah yang dilengkapi shower. Pengalaman itu merupakan pengalaman pertama yang dia rasakan setelah menginjak usia 40 tahun.
”Cucu saya senang sekali mandi pakai shower. Kalau enggak diawasi, bisa berjam-jam di kamar mandi,” kata perempuan asal Karawang, Jawa Barat, itu.
Salah satu keluarga beristirahat di salah satu kamar di Rumah Susun (Rusun) Sentra Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/3/2023).
Asmani sejak 1991 sudah merantau ke Ibu Kota. Saat tiba di Jakarta, dia bersama suami bekerja sebagai pemulung di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Di sana, rumah petak yang mereka tempati kerap dilanda kebakaran. Pembangunan yang meluas dan penataan di tempat mereka tinggal saat itu membuat mereka tergusur.
Asmani bersama suami kemudian berpindah dan memulung di wilayah Kota Bekasi sejak 2020. Di Bekasi, mereka disediakan lapak atau tempat tinggal oleh pengepul rongsokan di wilayah Duren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur.
Wajah ceria juga menyelimuti Ozmah (50), warga lain yang baru dua minggu tinggal di lantai dua Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur. Perempuan itu, Jumat sore, menggendong cucunya berkeliling di halaman depan rumah susun. Dia tersenyum menyaksikan tingkah anak-anak rusun bermain sepeda, bulu tangkis, dan berkejaran.
Tempat tinggal yang dia tempati saat ini kondisinya jauh berbeda dengan lapak yang dia huni sejak tiga tahun lalu di Duren Jaya. Lapak yang sebelumnya ditempati perempuan asal Karawang itu hanya cukup untuk dua orang.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Kondisi salah satu unit hunian Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (24/3/2023) siang.
Di lapak itu, Ozmah selama tiga tahun tinggal bersama suami yang menderita penyakit saraf terjepit. Penyakit yang diderita suaminya itu kian parah dan berakhir dengan kelumpuhan.
”Sudah lebih dari satu tahun suami saya tiap hari hanya tidur. Saya memulung dibantu dua anak lelaki saya,” kata ibu tiga anak itu.
Selama tinggal di lapak pemulung di Duren Jaya, Omzah dan anak-anaknya sering kebanjiran saat wilayahnya dilanda hujan deras. Air yang menggenangi tempat tinggal mereka kerap naik hingga ketinggian lebih dari 1 meter.
”Kalau di sini, enak dah, nyaman. Airnya bersih, putih, ada meja makan, banyak dah, ha-ha-ha,” kata Ozmah.
Sulit mengelola keuangan
Sejak tinggal di rumah susun, Ozmah setiap pagi berangkat bersama dua anaknya yang hanya lulus sekolah dasar ke Duren Jaya yang berjarak lebih dari 5 kilometer untuk memulung. Suaminya, yang mengalami kelumpuhan, kerap ditinggal sendirian di rusun.
FAKHRI FADLURROHMAN
Suasana lorong di Rumah Susun Sentra Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/3/2023).
Hasil dari memulung di pasar, jalanan, dan permukiman warga biasanya dijual ke pengepul setiap satu pekan. Uang hasil memulung sepekan sebesar rata-rata Rp 240.000 itu disisihkan untuk membayar sewa rusun sebesar Rp 10.000 per bulan, mengisi ulang tabung gas, pulsa listrik, serta selebihnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
”Belum bisa nabung. Uangnya habis untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Kesulitan mengatur keuangan turut dirasakan Asmani. Anak bungsunya saat ini duduk di bangku kelas tiga salah satu sekolah menengah kejuruan swasta di Jakarta. Anaknya masih butuh biaya transportasi, jajan, dan iuran sekolah setiap bulan.
”Saya sejak tinggal di sini, hanya suami saja yang memulung. Lagi cari cara untuk buka usaha, tetapi bingung,” katanya.
Eks gelandangan
Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur merupakan rumah susun yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama Kementerian Sosial. Rusun itu diperuntukkan bagi eks gelandangan dan pengemis yang dibina Kementerian Sosial.
FAKHRI FADLURROHMAN
Warga bercengkrama di depan salah satu kamar di Rumah Susun Sentra Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/3/2023).
Rumah susun satu menara yang berlantai lima itu memiliki 93 unit tipe 24. Dari 93 unit itu, lima unit untuk difabel dan 88 unit tipe reguler dengan kapasitas tampung mencapai 362 orang. Total aggaran yang dibutuhkan untuk membangun rusun tersebut mencapai Rp 34,5 miliar.
Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto mengatakan, pihaknya juga tengah membangun hunian serupa untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di tempat lain. Rusun serupa yang sedang dalam proses pembangunan ada di Jakarta Timur dan Solo, Jawa Tengah.
”Kami terus mendukung Kementerian Sosial untuk membantu MBR memiliki hunian layak dan terjangkau,” kata Iwan seperti dikutip dari laman Kementerian PUPR.
Menteri Sosial Tri Rismaharini saat meresmikan Rusun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur, awal Februari 2023, mengatakan, rusun di Bekasi tersebut diperuntukan untuk pemulung dan pekerja informal yang tidak memiliki rumah. Rusun itu pun didesain sederhana agar mampu menampung lebih banyak masyarakat pemulung dan pekerja informal.
”Mereka yang pindah ke sini juga kami siapkan pekerjaannya. Jika mereka belum memiliki data kependudukan, kami bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mencatat kependudukannya. (Tujuannya) agar mereka bisa mengakses bantuan pemerintah,” kata Risma.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Kondisi Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (24/3/2023) siang.
Terkait biaya sewa, masyarakat yang tinggal di rusun itu dikenai biaya sewa per unit Rp 10.000 per bulan. Penentuan biaya sewa itu sudah dihitung dan disesuaikan dengan pendapatan pemulung sebesar Rp 300.000 sampai Rp 600.000 per bulan.
Warga yang tinggal di Rumah Susun Sentra Timur Terpadu Pangudi Luhur juga dibatasi masa tinggalnya, yakni selama tiga tahun. Jika selama tiga tahun itu, ada peningkatan taraf hidup, warga bisa mencari tempat tinggal lain.
Model pemberdayaan kepada pemulung harus berubah karena selama ini mereka hanya jadi obyek. Jadi, perlu tahu jenis usaha yang tepat, besaran modal, dan cara pengelolaan keuangan.
Solusi tuntas
Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto pada Jumat sore mengatakan, penyediaan rusun murah bagi masyarakat pemulung merupakan kabar gembira yang patut diapresiasi. Namun, penyediaan rumah susun itu dinilai hanya sementara dan belum menyelesaikan persoalan yang dihadapi warga terpinggirkan.
”Para pemulung ini juga harus ditingkatkan pendapatannya, keterampilannya. Mereka harus diberi intervensi modal dari pemerintah,” kata Bagong.
Menurut Bagong, masyarakat sektor informal, terutama pemulung, merupakan warga ekonomi lemah, pendidikan rendah, dan kerap dilupakan pemerintah. Oleh karena itu, untuk mengangkat derajat mereka, perlu ada pendampingan.
FAKHRI FADLURROHMAN
Aktivitas warga di Rumah Susun Sentra Terpadu Pangudi Luhur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (6/3/2023).
Proses pendampingan pun harus melibatkan mereka secara aktif dengan mengajak mereka berdiskusi. Sebab, program pendampingan selama ini sudah banyak datang dari lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan.
”Model pemberdayaan kepada pemulung harus berubah karena selama ini mereka hanya jadi obyek. Jadi, perlu tahu jenis usaha yang tepat, besaran modal, dan cara pengelolaan keuangan,” kata lelaki yang selama 30 tahun mendampingi dan meneliti kehidupan pemulung di wilayah Bekasi itu.