Awal Bulan Makan di Mal, Akhir Bulan di Warung Kaki Lima
Kaum urban memiliki beragam gaya hidup. Tiap individu bebas memilih di tengah gempuran pengaruh tren yang dinamis demi mencapai standar kebahagiaan masing-masing.

Sejumlah pekerja di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, keluar dari area kantor pada jam makan siang, Rabu (2/11/2022).
Langkah-langkah kaki pekerja kantoran berderap cepat tatkala waktu menunjukkan sekitar pukul 11.30 pada sejumlah kawasan di Jakarta, antara lain Jalan Sudirman-Thamrin, kawasan Setiabudi, Jalan Jenderal Gatot Subroto, dan Jalan Raya Casablanca. Mereka berhamburan keluar dari gedung-gedung pencakar langit di kawasan itu. Rute pejalan kaki makin padat ketika mendekati puncak waktu makan siang pukul 12.00.
Para pengemudi ojek daring dan kurir makanan berdiri berjajar di depan lobi gedung. Mereka menanti beberapa karyawan yang juga pelanggannya untuk mengambil pesanan makanan.
Namun, tak semua pekerja memilih memesan makanan lewat layanan aplikasi pesan antar. Mayoritas pekerja kantoran memilih santap siang di warung-warung terdekat. Dengan berpakaian necis, bersepatu hak tinggi, dan berjam tangan pintar (smart watch), mereka rela berpanas-panasan mengantre dan berdempet-dempetan makan di bangku kayu panjang.
Sekitar 100 meter dari pemandangan itu, ada sebuah warung makan yang jadi opsi lain para pekerja kantor. Kantin Restu yang menyempil di gang kecil, tetapi menarik perhatian pelanggan lantaran papan namanya yang kontras di antara rumah-rumah di sampingnya.
”Di sini biasanya ramai mulai tanggal 15, pertengahan bulan. Setelah gajian sepi karena mereka (pekerja kantoran) rata-rata cari makan yang mahal,” ujar pemilik kantin Restu, Sartodihardjo (54), di bilangan Karet, belakang Gedung Mayapada, Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Baca juga : Bahagia Itu Bisa Dapat Uang untuk Makan Dua Hari

Pedagang nasi rumahan, Sartodiharjo (54), berjualan di balik gedung-gedung tinggi Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (21/3/2023). Ia mengatakan, para pekerja kantoran ramai mengunjungi warungnya menjelang akhir bulan.
Ia menilai, para pekerja kantor memilih makan ”wah” setelah menerima gaji di awal bulan. Namun, ketika ramai, warungnya yang berkapasitas sekitar 16 orang dapat didominasi karyawan kantor. Menu yang dipesan pun beragam, mulai dari sayur-mayur hingga daging, seperti ayam. Harga seporsi berkisar Rp 12.000 hingga Rp 15.000.
Guna menjaga konsumennya, Sarto fokus menyajikan masakan rumahan. Beberapa di antaranya opor ayam, bandeng presto, dan perkedel.
Serupa dengan kantin Restu, warung tegal Sopo Nyono Bahri juga meraup rezeki atas kehadiran para pekerja kantor di balik gedung-gedung bertingkat Jalan Jenderal Gatot Subroto. Puncak kesibukan terjadi pukul 12.00-13.00.
Pemilik warung, Susi (38), mengatakan, para karyawan menghabiskan Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per porsi. Meski baru dua bulan bekerja di salah satu kawasan elite Ibu Kota, Susi berharap upaya itu dapat memperbaiki ekonominya.
Sebelumnya, ia juga membuka warung makan di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Berbeda dengan pangsa pasar sekarang, saat itu mayoritas pelanggannya adalah pengendara ojek daring. Alhasil, harga makanan dipatok lebih rendah sekitar Rp 2.000.
”Kalau libur sih terasa, ya, karena enggak ada orang-orang kantor,” kata Susi dengan logat Tegal kentalnya, sembari memotong cabe hijau.

Sejumlah karyawan kantor mencari makan saat jam istirahat siang di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (3/11/2020).
Pekerja kantor silih berganti memasuki warung Sopo Nyono Bahri. Ada yang berpakaian formal dengan kemeja batik, tetapi tak sedikit pula yang berpenampilan kasual khas anak muda.
Promo dan ”pay later”
Sejumlah karyawan membungkus makanannya, kemudian menyantapnya di kantor. Dengan harga murah, mereka tetap dapat menikmati makan siang di ruangan ber-AC dan wangi ketimbang berdesak-desakan di warung. Tampaknya aroma keringat bercampur asap masakan yang berkelindan dengan polusi kendaraan jadi salah satu sebab kembali ke kantor dengan segera.
Maria Amanda (26) dan Hatiti Alvianti (34), pekerja kreatif yang bernaung di Gedung 88, bersebelahan dengan mal Kota Kasablanka, Jakarta, misalnya, membeli ketoprak seharga Rp 16.000 per porsi.
”Kami meski kantor di sebelah mal belum tentu (selalu) makan di mal. (Alasannya) Karena bosan,” kata Titi sambil menyantap makan siangnya di lantai 33.
Manda menambahkan, mereka hanya ke mal ketika perasaan sedang tak menentu, belum lagi dengan pekerjaan seabrek. Manda dan Titi memperkirakan makan di mal 3-5 kali dalam sebulan.

Pekerja kantoran Maria Amanda dan Hatiti Alvianti di bilangan Casablanca, Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Meski jarang ke mal, keduanya mengatakan kerap membeli kopi cepat saji seharga Rp 15.000-Rp 25.000 per gelas. Selain itu, beragam promo pembelian barang hingga makanan juga diandalkan untuk berburu makanan murah.
”Aku follow akun-akun katalog promosi yang menginfokan beberapa promo. Saat teman-teman lain ada yang mau gabung, kami beli,” ujar Manda.
Berkantor di samping mal tampaknya memberi tantangan tersendiri bagi para pekerja. Pasalnya, intensitas mereka terpapar iklan dan promo secara langsung pun lebih tinggi dibandingkan pekerja di lokasi lain.
Titi bercerita, ia dan kawan-kawannya cukup impulsif untuk membeli barang-barang di mal setelah mengetahui adanya promo di sejumlah toko. Apalagi, Titi sebelumnya berkantor di lokasi yang cukup berjarak dengan pusat perbelanjaan sehingga ia masih menghitung biaya transportasi untuk berbelanja. Hal ini mampu menahannya dari bujuk rayu iklan.
”Kalau enggak ada duit, ya, benar-benar jadi (merasa) ada saja duit buat beli (barang). Ingin beli terus. Dulu saat bulan pertama di sini, kartu kreditku sampai jebol,” kata perempuan beranak satu ini.
Baca juga : Bisakah Uang Membeli Kebahagiaan?

Warga memilih sepatu di pusat perbelanjaan Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Jumat (30/10/2020).
Pay later, sih, yang bikin merusak kehidupan ekonomi kami.
Titi dapat menghabiskan Rp 2 juta sampai Rp 3 juta untuk membeli sepasang sepatu. Intensitasnya pun tak menentu, bisa di rentang 1-6 bulan sekali.
Pengalaman serupa juga dialami rekan-rekan kerjanya. Mereka berupaya memenuhi keinginannya dengan pendapatan berkisar Rp 5 juta-Rp 15 juta per bulan. Guna menyiasati pengeluarannya, Titi memanfaatkan pay later dan kartu kredit. Program pay later ini mirip kartu kredit yang banyak ditawarkan di lokapasar.
”Pay later sih yang bikin merusak kehidupan ekonomi kami,” katanya berseloroh sambil tertawa.
Titi masih harus memutar otak ketika menjamu klien-kliennya. Pengeluaran akan ditanggung pribadi, sebelum akhirnya diganti perusahaan setelah dua bulan.
Upaya untuk menyeimbangkan pengeluaran dan pendapatan selaras dengan pilihan Manda dan Titi ketika merayakan pencapaian masing-masing. Mereka menggunakan uangnya untuk membeli makanan, seperti mi instan, yang dapat disantap kapan saja.

Sendi Oktoni (37), karyawan yang bekerja di Gedung Pacific Place, Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Meski perlu usaha ekstra untuk menabung lantaran merasa gaji hanya ”lewat” di awal bulan, Titi merasa pendapatannya saat ini dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Ia dan Manda meyakini, gaya hidup dan begitu pula gaji merupakan urusan tiap pribadi. Cukup atau tidak tergantung pada individu yang mengatur.
Bekerja seatap dengan mal juga dialami Sendi Oktoni (37). Pekerja swasta ini bernaung di gedung mal Pacific Place, pusat bisnis Sudirman (SCBD), Jakarta.
Tak seperti karyawan pada umumnya yang bergaya perlente, Sendi berpakaian gelap berjaket biru denim yang mulai pudar. Sambil menyeduh kopi hitam di warung, ia bercerita bahwa pengeluaran untuk dirinya sendiri minim.
Sendi jarang berkumpul dengan rekan-rekan kerjanya di kafe atau mal selepas bekerja. Hanya sesekali ia ke mal, apalagi dirinya mengakui biaya hidup di kawasan SCBD tergolong tinggi. Para pekerja perlu merogoh kocek sedikitnya Rp 25.000 untuk seporsi makanan di kantin karyawan.
Baca juga : Arti Bahagia bagi Warga Kampung Ibu Kota

Aktivitas di dapur salah satu penyedia katering sehat di kawasan Mampang, Jakarta. Keseimbangan asupan nutrisi bagi tubuh menjadi kunci kesehatan.
Namun, beruntung, Sendi tak perlu mengalokasikan banyak uang untuk makan sehari-hari lantaran perusahaan menyediakan katering. Meski demikian, sebagian karyawan lain tetap memilih untuk makan di mal yang dapat menghabiskan hingga Rp 100.000 per porsi.
”Pendapatan mereka (pekerja) semakin tinggi, biasanya gaya hidup mengikuti, apalagi yang masih single,” ujar Sendi.
Sesekali, lelaki asal Depok, Jawa Barat, ini menggunakan sebagian pendapatannya untuk menyalurkan hobinya sebagai pencinta sepeda motor. Terkadang, ia menyisihkan hampir Rp 500.000 guna membeli suku cadang sepeda motornya.
Sendi yang telah berkeluarga tak tergoda meski bekerja di tengah kawasan elite Jakarta. Ia memilih memanfaatkan seluruh fasilitas kantor sehingga mampu menekan keuangannya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata upah atau gaji bersih pekerja formal pada 2022 di bidang industri dan jasa sebesar Rp 6,5 juta serta Rp 5,7 juta per bulan.
Rata-rata pengeluaran per kapita daerah perkotaan DKI Jakarta sebesar Rp 2,5 juta untuk satu bulan. Jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun berkisar 3,5-4,7 persen pada 2020-2021. Pertumbuhannya melesat hingga 8 persen pada 2022.
Berdasarkan data tersebut, maka proporsi pengeluaran bagi pekerja industri dan jasa hampir setengah dari pendapatannya, yakni 39 persen serta 44 persen pada tahun lalu.

Pengunjung menenteng tas belanjaan di mal Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu (18/3/2023). Sejumlah orang mampu menghabiskan uangnya untuk berbelanja barang mewah untuk membuat mereka bahagia dan dipamerkan di media sosial.
Sasaran kepuasan
Para pekerja kantoran di Jakarta dapat digolongkan sebagai kelas menengah atas. Namun, cara mengendalikan pengeluaran memang jadi urusan tiap individu.
Menurut penelitian Alemu dan Zewdie (2021) berjudul ”Consumers’ Impulse Buying Behavior: Structured Systematic Literature Review”, perilaku impulsif seseorang berkaitan dengan karakteristik demografi, jender, usia, pendidikan, dan pendapatan. Hal ini cenderung terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Selain itu, lingkungan fisik, seperti pencahayaan, desain, tampilan produk, dan lokasi toko, turut memengaruhi perilaku impulsif.
Dari kacamata sosiologi, gaya hidup para pekerja kantoran Jakarta tergolong cosmopolitan urbanic. Sosiolog Universitas Nasional, Jakarta, Sigit Rochadi, menambahkan, mereka cenderung ingin mengonsumsi barang-barang kekinian serta menikmati lingkungan sekitar guna menopang gaya hidupnya.
Untuk generasi ini sudah berubah. Jadi, (kepuasan) materi, keinginan terkenal melalui media sosial, itu jadi tujuan mereka. Jadi, dunia sebagian pindah dari realitas sosial ke realitas dunia maya.
Mereka tergolong sebagai generasi Y atau milenial yang lahir tahun 1980-1990-an. Mayoritas pekerja ini bukan lagi karyawan kontrak. Artinya, mereka orang mapan dari sisi pendapatan.

Suasana di Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (21/3/2023), pada jam pulang kerja karyawan.
Sigit menambahkan, meski sebagian kelas menengah kesulitan untuk menabung, gaji mereka juga dialokasikan untuk asuransi. Sebab, mereka sadar pentingnya kesehatan dan produktivitas.
Gaya hidup para pekerja erat kaitannya dengan lingkungan sekitar. Pasalnya, hal tersebut diciptakan secara kolektif dari mulut ke mulut. Alhasil, banyak orang mengunjungi pusat perbelanjaan, termasuk menikmati makan di tempat, terjadi karena unsur itu.
”(Individu bergaya hidup sederhana) Bukan anomali, bukan suatu pengecuali gaya hidup kelas menengah. Memang barangkali mereka tak memiliki grup teman sebaya yang membentuk gaya hidupnya,” ujar Sigit.
Pekerja kantor lain yang kerap ke mal dan mengikuti tren cenderung aktif informasi. Mereka suka memamerkan apa yang dimiliki sekaligus menunjukkan identitas kelompok.
”Untuk generasi ini sudah berubah. Jadi, (kepuasan) materi, keinginan terkenal melalui media sosial, itu jadi tujuan mereka. Jadi, dunia sebagian pindah dari realitas sosial ke realitas dunia maya,” kata Sigit.

Para karyawan kantor sepulang kerja di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Kondisi ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung puas akan pendidikan yang membentuk perjalanan hidup individu. Mereka juga sadar politik sehingga menilai dirinya jadi kekuatan politik.
Apa pun gaya hidup yang dipilih, kesadaran untuk mengeluarkan tiap rupiah penting adanya. Tren memang bersifat dinamis dan tak pernah habis. Namun, siapa pun berhak menentukan definisi serta standar kebahagiaan masing-masing.