Larangan Impor Pakaian Bekas, Upaya Beralih ke Produk Lokal
Para pedagang resah kala pemerintah mempertegas regulasi larangan impor pakaian bekas. Namun, pengamat menilai ini langkah tepat untuk mengajak masyarakat mencintai produk dalam negeri sekaligus melindungi UMKM.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pedagang menolak larangan pemerintah mengimpor pakaian bekas, apalagi tak diikuti solusi untuk memperbaiki nasib mereka selanjutnya.
Pemerintah memperketat pelarangan jual-beli pakaian bekas impor. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Regulasi ini diberlakukan guna melindungi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mereka kehilangan pemasukan lantaran pangsa pasarnya diambil alih pakaian bekas impor.
Kebijakan pemerintah tersebut mendapat respons negatif dari para pedagang. Salah satunya Roy Tivana (36) yang menolak rencana pemerintah memusnahkan baju-baju impor bekas.
”Pedagang-pedagang ini mau bekerja apalagi? Usaha impor pakaian bekas sudah sepi karena pemerintah memusnahkan ini (pakaian-pakaian bekas impor),” ujar Roy di Metro Pasar Baru, Jakarta, Senin (20/3/2023).
Imbasnya, penjualan pakaian bekas yang semestinya ramai menjelang Ramadhan pun sepi. Roy menambahkan, sejak ia berdagang mulai 2001, baru kali ini pemerintah berencana memusnahkan bal-bal pakaian bekas impor.
Menanggapi isu kesehatan yang timbul atas pemakaian baju-baju bekas, Roy menjamin bahwa produk-produknya bersih dan aman digunakan. Alasannya, ia tak pernah menerima keluhan dari pelanggan. Selain itu, Roy juga selalu mencuci dan menggosok pakaian dagangannya sebelum menjualnya.
Roy mengatakan, sekali stok dapat memesan 3-4 bal. Harganya pun bervariasi, mulai Rp 7 juta hingga Rp 13 juta per bal. Ia hanya mengambil keuntungan sekitar Rp 10.000 dari tiap pakaian yang terjual. Sementara itu, ia banting harga untuk pakaian rusak yang masih dapat dijual. Keuntungan yang diperoleh hanya Rp 1.000 per pakaian.
Pendapatan kotor yang dikantongi sekitar Rp 2 juta. ”Untuk balik modal udah enggak ada. Modal enggak balik,” katanya.
Hal senada dikatakan pedagang pakaian bekas impor lainnya, Kahar (63). Ia menyebut, usahanya membantu masyarakat kelas ekonomi menengah-bawah untuk mendapat pakaian dengan harga terjangkau. Selain itu, Kahar juga bertanggung jawab terhadap delapan karyawannya.
Para pedagang berharap mereka mendapat jalan keluar atas kebijakan pelarangan jual-beli pakaian bekas impor. Sebab, memusnahkan pakaian tanpa solusi sama dengan melanggengkan ketidakpastian nasib mereka.
Berharap diizinkan, dilegalkan izinnya, karena rakyat lagi susah. (Ini) Membantu rakyat kecil juga.
Roy berharap pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih baik bagi mereka. Pemusnahan pakaian juga bukan jalan keluar. Terpisah, Kahar tetap berharap agar usaha ini dapat diizinkan.
”Berharap diizinkan, dilegalkan izinnya, karena rakyat lagi susah. (Ini) Membantu rakyat kecil juga,” ujar Kahar.
Pihak pengelola Mal Blok M, Yuandra Y Hoga, menyatakan belum akan menertibkan para pedagang pakaian bekas di gedungnya. Sebab, ia belum mendapat informasi soal tindak lanjut di lapangan dari pemerintah.
Cinta produk lokal
Impor baju bekas merupakan isu lama yang kembali mencuat. Pakaian bekas telah terjual setidaknya ke 400 pedagang eceran baju bekas impor di Pasar Senen pada 2006. Sebanyak 10 kontainer baju bekas bisa dilempar ke pasaran dalam sepekan. Angka ini hanya mewakili kondisi Pasar Senen, belum termasuk lokasi-lokasi lain (Kompas, 18/11/2006).
Menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, pakaian bekas impor merupakan solusi bagi masyarakat bawah yang membutuhkan sandang murah. Namun, keberadaan baju bekas impor berdampak negatif terhadap industri tekstil dalam negeri.
Pasar industri tekstil dan pakaian tak bisa berkontribusi maksimal. Penyerapan tenaga kerja pun tak maksimum. Akibatnya, kontribusi industri tekstil terhadap pertumbuhan ekonomi juga jadi terbatas.
Piter menambahkan, impor baju bekas memang harus dilarang dan ditindak tegas. Baju-baju bekas yang masih dimiliki importir dan dapat dikategorikan barang bukti impor ilegal dapat dimusnahkan. Namun, baju bekas yang sudah beredar dan diperdagangkan UMKM tak perlu disita dan dimusnahkan, kecuali pemerintah dapat mengganti kerugiannya.
Kebijakan pemerintah tak cukup berupa larangan. ”Pemerintah harus mencarikan solusi bagi masyarakat, khususnya kelas bawah, akan tersedianya sandang murah,” ujarnya.
Upaya untuk membangun rasa cinta dan bangga pada produk dalam negeri juga perlu digaungkan terus-menerus. Tanpa itu semua, fenomena impor baju bekas akan terus berlanjut.
Semua orang perlu turun tangan untuk mengubah cara pikir bahwa segala sesuatu harus murah. ”Mindset semua harus murah membuat kita tidak produktif. Industri dikorbankan,” kata Piter.
Ia menekankan, perspektif yang perlu dikembangkan adalah masyarakat yang mampu membeli. Mahal bukanlah masalah jika semua orang dapat menjangkaunya.
Larangan impor limbah baju bekas memang tak bisa ditawar sekaligus bukan keputusan yang menguntungkan pedagang. Namun, regulasi itu merupakan solusi konkret.
”Dalam jangka panjang, industri garmen bangkit, pedagang bisa melanjutkan berdagang dengan produk-produk nasional yang lebih bermartabat,” katanya.