Jelang Ramadhan, Penjualan Barang Masih Lesu di Pasar Tanah Abang
Penjualan barang-barang identik dengan Ramadhan masih lesu, padahal bulan puasa tinggal menghitung hari. Meski daya beli masyarakat mulai tumbuh, kondisinya belum dapat mengerek perekonomian pedagang pasar.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Kurma yang dijajakan di kios Blok C Pasar Tanah Abang, Jakarta, Minggu (19/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pedagang kurma, busana muslim, dan peralatan shalat mengaku penjualan mereka masih lesu meski bulan suci Ramadhan sudah di depan mata. Para pedagang sebaiknya memperluas jangkauan pasarnya menggunakan teknologi digital secara daring.
Pedagang busana muslim, Heri (63), menganggap penjualan belum mencapai kondisi normal. Situasi justru masih lebih baik pada tahun lalu dibandingkan tahun ini, padahal beberapa hari lagi sudah memasuki bulan puasa.
”Kemungkinan (konsumen) dari daerah lesu, apalagi sekarang harga tiket (pesawat) mahal,” ujar Heri, pemilik toko Kamiliano, di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Minggu (19/3/2023).
Saat ini, penjualan pakaian secara grosir sekitar Rp 20 juta per hari di satu toko, jauh lebih rendah daripada tahun lalu yang masih bisa mencapai Rp 60 juta per hari. Jumlah nominal itu pun masih belum mampu menyamai kondisi sebelum pandemi Covid-19 ketika seorang pelanggan dapat memborong hingga Rp 300 juta.
Ikhwan (32), pedagang yang menjual berbagai peralatan shalat di Blok C Pasar Tanah Abang, Jakarta, Minggu (19/3/2023). Barang yang ditawarkan di antaranya berupa peci, serban, dan sajadah baik impor maupun lokal.
Heri menambahkan, penjualan pakaian grosir yang tak maksimal setidaknya tergantikan dengan penjualan satuan. Dalam sehari, terutama akhir pekan, Heri dapat meraup omzet Rp 10 juta. Angkanya meningkat dari Rp 8 juta per hari pada tahun 2022.
”Paling banyak eceran itu pakaian anak-anak karena mereka harus ganti terus. Ukurannya berubah tiap waktu. (Penjualan) Pakaian dewasa enggak seramai anak-anak,” tambahnya.
Meski demikian, Heri mengatakan, tren penjualan sejak tahun lalu masih belum dapat dikatakan kembali normal seperti sebelum pandemi Covid-19. Saat diterpa krisis, Heri mulai memperluas jangkauan dagangannya secara daring, termasuk melalui lokapasar.
Hal senada dikatakan pedagang lain, Ikhwan (32). Ia menyebut, para pelanggan asal daerah, antara lain Aceh, Padang, Maluku, dan Papua, tak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Padahal, selama ini mereka selalu diandalkan untuk membeli secara grosir.
Pedagang kurma, Temun (45), menilai penjualan kurma menjelang Ramadhan telah kembali normal di kiosnya di Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta, Minggu (19/3/2023). Ia menyebut sehari dapat mengantongi hingga Rp 15 juta atau meningkat dibandingkan saat kasus Covid-19 memuncak, yakni Rp 5 juta.
Sementara itu, pedagang kurma, Temun (45), menganggap bahwa penjualan kurma telah membaik saat ini. Bahkan, ia menilai transaksi telah kembali normal.
Saat puncak pandemi Covid-19 melanda sekitar dua tahun terakhir, Temun hanya mengantongi omzet Rp 4 juta-Rp 5 juta per hari. Kini, ia bisa menjual kurma dan camilan khas Timur Tengah lainnya hingga Rp 15 juta per hari.
Hal ini tampak dari kios Temun di Blok B yang ramai konsumen. Mereka rela mengantre untuk menimbang kemudian membayar kurm, sembari sesekali mencicipi buah yang dijajakan itu.
Konsumen memadati Pasar Tanah Abang sekitar pukul 10.30. Semakin siang, jumlahnya bertambah.
Salah satunya terjadi di Blok B. Orang-orang berjejalan hingga harus mengantre untuk melangkah di jalan utama. Sebab, sebagian pengunjung menjajal pakaian hingga berdiri di selasar, bahkan jalan utama. Belum lagi mereka yang tiba-tiba berhenti hanya untuk melihat-lihat pajangan pedagang pakaian.
Sejumlah pembeli datang dalam satu rombongan meski tak semuanya membeli dengan jumlah banyak. Tua-muda berburu pakaian muslim, peralatan ibadah, serta kurma menjelang Ramadhan.
Tampilan layar Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti.
Menanggapi tren perdagangan yang masih lesu, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, hal ini menunjukkan peralihan pasar luring ke daring. Walau aktivitas masyarakat telah berangsur normal, pedagang pasar yang masih mengandalkan toko fisik justru perlahan ditinggalkan masyarakat.
”Pasar luring jauh berkurang meskipun fenomena sudah normal kembali. Tetapi, kondisi pandemi mempercepat era disrupsi di mana orang gaya hidupnya berubah,” kata Esther.
Ia menambahkan, orang-orang yang enggan beradaptasi dengan era perubahan akan tergilas zaman. Hal ini tak menutup kemungkinan pada para pebisnis yang hanya mengandalkan toko fisik.
”Kalau hanya buka toko fisik saja, jangan terlalu berharap, enggak mungkin (pendapatan) mereka akan sama. Mereka harus buka dua (jenis toko),” tambahnya.
Selain itu, daya beli konsumen perlahan meningkat meski masih relatif belum normal seperti sebelum pandemi. Guna mempertahankan hal ini, pendapatan masyarakat juga mengikuti dengan kenaikan pula. Upaya tersebut tak lepas dari peran pemerintah yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dengan berbagai investasi yang masuk, tak hanya bergantung pada modal atau penggunaan mesin.
Suasana di Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang dipadati pengunjung, Minggu (12/3/2023). Jelang bulan puasa, Pasar Tanah Abang diserbu pengunjung yang hendak berbelanja pakaian muslim, perlengkapan shalat, serta hijab.
Menurut data EcommerceDB, Indonesia merupakan pasar terbesar ke-10 dunia yang diprediksi meraup pendapatan hingga 52,9 juta dollar AS atau setara Rp 812,8 miliar pada 2023. Pasar lokapasar Indonesia berkontribusi terhadap pertumbuhan global hingga 17 persen.
Konsumen
Di antara para pengunjung Pasar Tanah Abang, terdapat tiga warga negara asing yang melihat kondisi pasar sembari memilih-milih produk di depan toko sarung. Mereka tampak menikmati keramaian di tengah pasar.
Saif Mumtaz, warga negara Oman, mengatakan, kondisi pasar ini berbeda dengan di tempat asalnya. Di negaranya, tak banyak toko yang menjajakan kain seperti di Indonesia. Mereka hanya dapat membeli barang serupa di toko-toko bermerek di pusat perbelanjaan.
Namun, Saif memutuskan tak membeli apa pun karena barang-barang di Pasar Tanah Abang tak dapat dicoba. Ia enggan mengambil risiko karena standar ukuran pakaian antara Indonesia dan Oman berbeda.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Pengunjung dari mancanegara, Sashi (Malaysia), Rajin (Malaysia), dan Saif Mumtaz (Oman), mengunjungi kios peralatan shalat di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Minggu (19/3/2023). Saif membatalkan niatnya membeli lantaran pakaian yang dijual tak dapat dicoba, sedangkan standar ukuran di Indonesia dan Oman berbeda.
Rekannya, Rajin, warga negara Malaysia, tak berbelanja karena alasan yang sama. Namun, ia menilai bahwa budaya berbelanja menjelang Ramadhan serupa dengan di negerinya.
”Orang-orang (Malaysia) akan membeli barang (muslim), ramai juga di pasar menjelang Ramadhan,” ujar Rajin sambil menanti temannya berbelanja.