Bahagia Itu Bisa Dapat Uang untuk Makan Dua Hari
Kebahagiaan kaum terpinggirkan di Ibu Kota itu tak muluk-muluk. Berhasil bertahan atau dapat uang sekadar menambal lapar hari itu kerap jadi satu-satunya kepuasan mereka dalam menjalani hidup.

Pasangan suami istri Andry (38) dan Iis (48) yang bekerja sebagai pemulung tengah beristirahat di sebuah ruko di dekat Pasar Palmerah, Jakarta Barat, pada Jumat (17/3/2023) malam.
Hidup tanpa rumah, menggelandang di jalanan dari hari ke hari, hingga sumber nafkah tidak pernah pasti, harus dilalui sebagian warga di Jakarta. Kehidupan layak dan nyaman sulit mereka gapai. Di tengah segala keterbatasan itu, kisah mereka bertahan demi tak tergilas kemiskinan kerap jadi satu-satunya kepuasan menjalani hidup.
Selasar rumah toko di salah satu sisi Pasar Palmerah, Jakarta Barat, tampak gelap, Jumat (17/3/2023) malam. Lampu sorot kendaraan yang melintas sekilas menerangi beranda itu.
Samar-samar terlihat ada orang yang sedang duduk bersila. Yang lainnya, ada pula yang berbaring. Yang tengah duduk ternyata pasangan suami istri. Mereka menikmati satu bungkus nasi berlauk ayam goreng. Menggunakan tangan, mereka melahap makan malam seharga Rp 18.000 itu.
Bulir-bulir nasi tersisa yang melekat di kertas bungkusan dengan teliti dikumpulkan oleh Iis (48) dan perlahan dimasukkan ke mulut. Tak lama, suaminya, Andry (38), tiba-tiba pergi.
Lelaki bertopi hitam yang membiarkan masker biru langit kumal melekat di dagunya itu kembali muncul membawa sebungkus bubur kacang hijau. Bubur itu diisap pelan hingga setengah.

”Ini, kamu habisin, ya,” kata Andry menyerahkan plastik berisi sisa bubur itu kepada istrinya.
Tempat mereka menikmati sarapan malam itu bakal jadi tempat beristirahat. Sehari penuh, pasangan yang memiliki empat anak tersebut sudah berkeliling ke beragam tempat, dari Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, hingga Jakarta Barat.
Setiap jengkal jalanan Jakarta, kawasan pertokoan, kawasan bisnis, permukiman elite hingga padat telah mereka kunjungi. Di setiap langkah mereka, benda-benda plastik, potongan kardus, hingga paku atau beragam material berbahan besi yang mereka temukan adalah barang mewah nan berharga.
Benda-benda itu dikumpulkan dalam karung yang dipikul bergantian. Saat mentari bakal tenggelam, isi karung yang dipikul sehari penuh itu dibawa ke tempat pengepul rongsokan.
Baca juga : Angkot Depok Semakin Uzur di Tengah Stagnasi Angkutan Massal
”Satu hari dapat paling banyak Rp 50.000. Kalau lagi susah, kami simpan dulu. Nanti ditimbang besok sorenya,” kata Iis.

Pemulung mengumpulkan botol plastik yang tersangkut di pelampung penangkap sampah di Kanal Banjir Barat, Jakarta, Minggu (12/1/2020). Botol plastik menjadi salah satu incaran pemulung karena memiliki nilai ekonomi.
Saat mentari terbenam, mereka biasanya menginap di beranda toko yang sepi dan dirasa nyaman. Jika di sekitar daerah Palmerah, tempat mereka menginap adalah beranda toko salah satu sisi luar Pasar Palmerah.
Barang yang mereka gunakan sebagai alas untuk menginap berupa karung yang sehari-hari digunakan untuk menampung barang rongsokan. Tas berisi pakaian ganti dijadikan bantal.
Pasangan yang menikah 13 tahun lalu itu biasanya hanya seminggu sekali kembali ke tempat anak-anaknya tinggal di kolong Tol Grogol. Anak-anaknya pun tidak tergantung pada orangtuanya lantaran mereka bekerja dan punya penghasilan.
Dua anak yang sudah berusia belasan tahun setiap hari mencari nafkah dengan mengamen di jalanan Jakarta. Sementara anak-anak lain yang masih berusia belia berjualan tisu di perempatan jalan wilayah Grogol.
Berawal dari sakit
Andry baru bekerja sebagai pemulung sejak 2019. Lelaki asal Indramayu, Jawa Barat, itu dulu bekerja serabutan sebagai buruh bangunan di wilayah Jakarta Utara.

Keluarga pemulung berkeliling di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dengan gerobak untuk mengumpulkan barang bekas, Minggu (10/5/2020).
Saat itu, dia bersama istri dan anak-anaknya masih memiliki tempat tinggal dengan menyewa rumah petak di wilayah Angke, Jakarta Utara. Penghasilan yang tak seberapa dan tanpa kepastian itu ditopang istrinya yang memang sejak awal mereka berjumpa sudah jadi pemulung.
”Tangan saya kena paku saat kerja bangunan. Saya terpaksa berhenti dan sempat dirawat satu bulan di rumah sakit,” kata Andry.
Andry sejak awal bekerja dan menikah tak memiliki asuransi kesehatan. Tabungan keluarga pun tak mereka miliki. Akibatnya, mereka sempat kesulitan mendapat akses ke rumah sakit.
Beruntung, di tengah upaya mengurus berkas ke dinas sosial, petugas keamanan di kantor dinas sosial di Jakarta Utara yang memiliki kemiripan wajah dengan Andry bermurah hati. Petugas keamanan itu menyerahkan berkas asuransi kesehatan dan identitas dirinya untuk digunakan dalam mengakses fasilitas kesehatan.
Baca juga : Sepi Pembeli, Pedagang Pasar Modern Pamulang Diliputi Ketidakpastian
Setelah pulih, Andry putus komunikasi dengan sejumlah kerabat yang biasa bekerja bersama sebagai buruh bangunan. Tak punya pilihan, dia membantu istri memulung.

Pemulung menarik gerobak di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, pada malam takbiran, Rabu (12/5/2021).
Penghasilan dari pekerjaan yang dijalani sejak empat tahun itu tak lagi cukup untuk menyewa kontrakan. Mereka memilih jalanan sebagai rumah. Keluarga itu pun tak lagi berharap lebih. Bagi mereka, penghasilan yang diperoleh sudah cukup jika bisa untuk mengisi perut.
”Saya bahagia kalau uang yang saya dapat bisa untuk makan dua hari,” kata Iis, perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, tersebut.
Saya bahagia kalau uang yang saya dapat bisa untuk makan dua hari.
Di tempat lain, di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, sejumlah pedagang kali lima yang berdagang suvenir ataupun minuman kemasan pun harus berjuang demi mendapat pundi rupiah. Mereka harus kucing-kucingan dengan petugas satuan polisi pamong praja yang berjaga-jaga di kawasan Monas hingga area parkir IRTI Monas.
”Ini sembunyi-sembunyi. Saya sudah dua kali kena tangkap,” kata Sirul (58), pedagang suvenir di lapangan parkir IRTI Monas, Sabtu (18/3/2023).
Sirul setiap kali tertangkap petugas bisa merugi hingga Rp 1 juta karena dagangannya disita. Petugas yang menertibkan mereka adalah orang-orang yang paling dia benci.

Seorang pedagang mainan tengah dikerumuni pembeli di lapangan parkir IRTI Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3/2023).
Lelaki asal Medan, Sumatera Utara, itu sudah jadi pedagang suvenir sejak 30 tahun lalu di kawasan Monas. Pekerjaan yang digeluti bertahun-tahun itu tak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga menyekolahkan putrinya hingga bergelar sarjana.
”Istri saya sudah meninggal enam tahun lalu. Sekarang dagang untuk diri sendiri,” kata ayah satu anak itu.
Di tengah kesulitan berdagang karena harus mewaspadai petugas, Sirul kerap asyik mengobrol bersama turis-turis mancanegara. Dia cukup fasih berbahasa Inggris lantaran pernah mengikuti kursus pada 1991. Keseruan mengobrol dan mendengarkan cerita dari para turis tentang negara asalnya jadi salah satu kebahagiaan lelaki yang tinggal di Setiabudi, Jakarta Selatan, itu.
”Kadang-kadang saya diajak temani mereka jalan-jalan. Itu bikin senang, apalagi kalau dapat tip. Ha-ha-ha,” ucapnya.
Standar hidup layak
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Abe Widyanta, mengatakan, basis konstruksi kebahagiaan memang individual, tetapi ada dimensi tertentu yang tak individual.
”Seluruh manusia punya dimensi pemenuhan kebutuhan atau layanan dasar. Ketika itu tercukupi dan mencapai standar hidup layak, itu adalah bentuk kebahagiaan,” kata Abe saat dihubungi, Minggu (19/3/2023) siang.

Seorang pedagang minuman tengah menjajakan dagangannya di sekitar Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3/2023).
Konstruksi kebahagiaan tidak terlepas dari aspek-aspek kesejahteraan baik jiwa maupun raga. Di Indonesia, pemenuhan aspek kesejahteraan tercantum dalam beragam peraturan perundang-undangan. Dalam kehidupan bersama terdapat misi atau impian agar semua entitas mencapai dimensi bertahap, mulai dari level pelayanan dasar sampai tingkat tertentu hingga hak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak.
”Sekelompok masyarakat yang hidup dengan pekerjaan yang berbasis harian, hanya cukup untuk makan sehari barangkali sudah dianggap sebagai kebahagiaan. Tetapi, mereka semestinya bisa dapat lebih dari itu agar memastikan anak-anak mereka punya kehidupan yang lebih layak ke depan,” ucap Abe.
Paradigma pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ternyata melahirkan ketimpangan yang menganga lebar. Hanya segelintir yang menikmati kue pembangunan.
Di negara dunia ketiga, masalahnya ada pada pembangunan yang parsial dan bias sektoral. Cara pandang pembangunan dalam aspek kebahagiaan sering kali belum jadi sasaran prioritas.
”Paradigma pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ternyata melahirkan ketimpangan yang menganga lebar. Hanya segelintir yang menikmati kue pembangunan,” kata Abe.
Franz-Magnis Suseno dalam buku Kuasa dan Moral menyebut, manusia sendirilah yang menjadi tujuan utama pembangunan. Menghadirkan indikator kebahagiaan ketimbang indikator ekonomi makro, gambaran kondisi kesejahteraan masyarakat akan lebih tercapai (Kompaspedia, 21/2/2022).

Sirul (58), pedagang suvenir, tengah berbincang dengan turis mancanegara di lapangan parkir IRTI Monas, Jakarta Pusat, pada Sabtu (18/3/2023).
Pembangunan yang memprioritaskan manusia diharapkan mampu mengubah luapan frustrasi warga yang tergilas pembangunan menjadi luapan kegembiraan. Kelak, luapan frustrasi kaum terpinggirkan berubah dari ”ah, Jakarta...” menjadi ”wow, Jakarta...” dengan senyum tersungging lebar di mulut. Semoga....