Angkot Depok Semakin Uzur di Tengah Stagnasi Angkutan Massal
Pemerintah Kota Depok harus menemukan solusi untuk menghadirkan transportasi publik yang lebih baik. Dengan hanya mengandalkan angkot menjadi tidak ideal, apalagi banyak kendaraan moda ini dalam keadaan semakin uzur.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·5 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Masyarakat Kota Depok menanti kehadiran terobosan angkutan massal baru untuk melayani ketersediaan transportasi publik. Kebijakan ini semakin perlu, di tengah semakin uzurnya transportasi yang masih diandalkan, yakni angkutan kota atau angkot. Opsi transportasi yang lebih baik akan membuat masyarakat beralih sekaligus mengurangi kemacetan.
Sepanjang 2022, Pemerintah Kota Depok mencabut izin sebanyak 375 izin angkot. Hal ini karena angkot-angkot tersebut sudah tidak memenuhi syarat perizinan serta memiliki fisik yang tidak layak. Kendati demikian, hingga kini belum ada terobosan angkutan publik yang lebih baik.
Jumat (17/3/2023) sore, saat jam pulang kantor di Terminal Depok, banyak penumpang berganti moda, dari kereta rel listrik (KRL) ke angkot. Di terminal yang berdampingan dengan Stasiun Depok Baru ini, masih banyak terdapat angkot dengan kondisi fisik berkarat, usang, dan cat terkelupas. Kendari demikian, angkot-angkot tersebut masih aktif mengangkut penumpang.
Sejumlah sopir mengakui, kendaraan yang mereka kemudikan sudah cukup uzur. Namun, mereka sebagai penyewa tidak punya pilihan karena perawatan angkot diatur pemiliknya.
”Ini kurang lebih sudah 15 tahun. Sejak saya kemudikan tujuh tahun lalu, kondisinya masih seperti ini. Tapi, sebenarnya ada yang lebih tua (masih beroperasi), bahkan di atas 20 tahun,” kata Somad (59), sopir angkot rute Terminal Depok-Kampung Sawah.
Minimnya pilihan transportasi membuat masyarakat pengguna angkutan umum harus tetap setia. Rismayanti (45), warga Depok Dua, memilih naik angkot ketika pulang kerja setelah turun dari Stasiun Depok Baru.
Lokasi pemberhentian yang terjangkau karena hanya beberapa langkah dari pintu keluar stasiun sangat memudahkan Rismayanti. Dia tidak lagi memikirkan kondisi fisik transportasi tersebut.
”Mau naik apa lagi? Ini saja pilihannya walaupun kondisinya berdempetan, yang penting bisa sampai ke rumah. Kalau naik ojek pasti mahal,” kata Rismayanti.
Serupa dengan Rismayanti, Afrian (31) juga memilih naik angkot untuk menuju rumahnya di Kalimulya karena keterbatasan pilihan.
”Kadang naik ojol (ojek daring), cuma karena di sini enggak bisa pesan, jadi naik angkot saja. Sudah seharusnya ada (transportasi publik) yang lebih baik sehingga penumpang nyaman saat berganti (moda),” ujarnya.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menganggap ketergantungan Depok pada angkot hanya menjadi bom waktu. Apalagi, dengan usia semakin uzur, mengharapkan peremajaan dari angkot sulit terealisasi. Cepat atau lambat, angkot-angkot tersebut akan musnah, di sisi lain moda pengganti belum juga dipersiapkan.
Menurut Djoko, banyak kepala daerah Indonesia, termasuk di Kota Depok, tidak terlalu serius mengurus transportasi massal. Hal semakin diperparah dengan pedoman pembangunan sejumlah kepala daerah pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Dalam UU tersebut tidak memasukan transportasi publik sebagai kebutuhan dasar.
”Akibatnya, banyak kepala daerah yang mengesampingkan persoalan ini. Untuk kasus di Depok, kita tidak bisa berharap banyak, angkot-angkot yang ada hanya peninggalan. Tinggal menunggu saja, pasti akan musnah,” kata Djoko.
Djoko menambahkan, Depok sebagai daerah penyangga Jakarta seharusnya sudah mulai peduli terhadap ketersediaan transportasi publik yang baik. Apalagi, dengan adanya pemberian dana hibah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada daerah-daerah penyanggahnya.
”Kalau keluhannya anggaran, kan, sudah ada dana hibah dari DKI. Itu bisa dijadikan untuk merintis transportasi publik yang lebih layak,” ujar Djoko.
Djoko menekankan, Depok sebagai penyangga dan punya pekerja yang bolak-balik seharusnya bisa menjamin ketersediaan transportasi massalnya. Dalam catatan Kompas, Kota Depok merupakan penyumbang komuter terbesar menuju Jakarta sebanyak 296.000 jiwa atau 14,7 persen dari total komuter. Hal ini seharusnya didukung dengan transportasi yang terintegrasi dengan wilayah tempat tinggal para komuter.
Keberadaan KRL dan bus Jabodetabek Residence Connexion (JRC) belum membuat cakupan layanan angkutan umum di Depok memadai. Dari jumlah warga di wilayah berpopulasi tinggi di Depok (1,5 juta), hanya 21,5 persen (322.000) yang terlayani angkutan umum massal. Dengan demikian, pengguna transportasi umum hanya bergantung pada moda angkot.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok Eko Herwiyanto mengakui bahwa memang kondisi angkutan umum di wilayahnya belum memadai. Hal ini membuat transportasi pribadi masih menjadi pilihan yang berakibat pada kepadatan lalu lintas.
Padahal, kapasitas jaringan jalan di Depok sudah hampir penuh, ditandai sering munculnya titik-titik kemacetan. Selama 2022 Dishub Kota Depok mencatat, 7 dari 12 jalan utama memiliki perbandingan volume kendaraan dengan kapasitas jalan (V/C ratio) di atas 0,84 yang artinya sudah tidak stabil. Jalan Raya Bogor dengan V/C ratio 0,95, Jalan Sawangan Raya (0,93), Jalan Ir H Juanda (0,92), Jalan Margonda Raya (0,91), Jalan Parung Raya (0,90), Jalan Arif Hakim (0,89), dan Jalan Cinere (0,87).
Sejatinya, Depok memiliki rencana untuk merevitalisasi mobil angkot Depok yang saat ini sudah dinilai buruk. Menurut rencana, angkot diwajibkan memiliki pendingin udara.
Namun, rencana ini belum konkret kapan diberlakukan. Sebab, Dishub Depok juga memperpanjang usia laik jalan mobil angkot dari 15 tahun menjadi 18 tahun setelah desakan dari operator setempat. Begitupun dengan peremajaan belum menemui titik tengah antara pemerintah, sopir, dan pemilik angkot.
Sejumlah sopir merasa kebijakan yang ditawarkan masih memberatkan. Mereka ingin pemerintah harus memberikan terobosan yang bisa menguntungkan ke semua pihak. Apalagi, saat ini jumlah penumpang sudah mulai membaik dibanding dua tahun terakhir saat masih banyak pembatasan kegiatan.
”Sekarang pendapatan kami mulai membaik. Kalau pemerintah mau bikin kebijakan, dibicarakan dulu. Kami harus mempertibangkan, jangan sampai hanya memberatkan kami,” kata Abdijah (52), sopir angkot rute Terminal Depok-Bojong Gede.