Prajurit Larva Lalat Hitam Jadi Ikhtiar Tangerang Selatan Atasi Sampah
Budidaya maggot dipilih Pemkot Tangsel sebagai bagian dari upaya pengelolaan sampah dari hulu ke hilir. Jika budidaya larva lalat hitam ini digencarkan hingga tingkat kelurahan, isu sampah kota bakal tereduksi drastis.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·5 menit baca
Sampah menjadi masalah yang cukup pelik di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Tangerang Selatan, Banten. Perlu kesadaran dan kolaborasi dari berbagai pihak sehingga pengelolaan sampah bisa dilakukan dari hulu hingga hilir. Pembudidayaan maggotmulai dilirik karena dianggap bisa mengurangi timbulan sampah organik.
Alternatif pengelolaan sampah menjadi penting, apalagi tempat pembuangan sampah di wilayah Tangsel saat ini sudah cukup kritis. Unit Pelaksana Teknis Tempat Pembuangan Akhir (UPT TPA) Cipeucang Tangsel terus mencari solusi untuk mengatasi persoalan sampah. Saat ini, volume sampah di TPA Cipeucang telah mencapai 402.990 ton dari tiga tempat pembuangan yang ada.
TPA yang berada di Serpong tersebut memiliki tiga lokasi pembuangan (landfill). Tempat pembuangan 1 seluas 2,5 hektar, pembuangan 2 seluas 1,7 hektar, serta pembuangan 3 seluas 0,8 hektar.
”Karena landfill 1 dan 2 sudah penuh, otomatis saat ini kita hanya mengandalkan landfill 3,” kata Kepala UPT TPA Cipeucang Muhammad Firdaus, Selasa (14/3/2023).
Dari catatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tangsel, timbulan sampah mencapai 970 ton per hari. Dari angka tersebut, persentase sampah organik 49,71 persen. Adapun 50,24 persen merupakan sampah anorganik serta 0,05 berasal limbah B3 rumah tangga.
Beban dari TPA Cipeucang sebagai satu-satunya pembuangan akhir di Tangsel semakin berat. Dari total hampir 1.000 ton sampah dalam sehari di Tangsel, TPA Cipeucang hanya bisa menerima sekitar 400 ton dalam sehari. Biasanya sebanyak 400-600 ton sampah yang telah mengendap dialihkan ke TPA Cilowong di Kota Serang. Akan tetapi, sejak awal 2023, pengalihan terhenti sementara, menunggu perpanjangan kerja sama yang berakhir tahun ini.
”Selain memaksimalkan penataan sampah di TPA Cipeucang, kami juga berupaya mengedukasi masyarakat agar bisa mengelola sampahnya secara mandiri. Budidaya maggotsedang digalakkan, bahkan TPA Cipeucang sendiri telah memiliki pembudidayaan sendiri,” ujar Firdaus.
Maggotmerupakan larva lalat jenis black soldier fly (BSF). Sejak menetas dari telur, larva ini terus makan dan mengonsumsi bahan-bahan organik, termasuk sampah sisa makanan, mulai dari 15-25 hari sebelum masuk fase prepupa, pupa, hingga menjadi lalat.
Budidaya maggotdiUPT TPA Cipeucang dikelola bagian pengolahan kompos sejak 2017. Namun, pemudidayaan baru berjalan efektif dalam empat tahun terakhir. Pembudidayaan dilakukan di sebuah bangunan berukuran 30 x 10 meter. Di dalamnya terdapat 40 biopond maggot dengan ukuran bervariasi. Dalam sehari, maggot yang ada di dalam biopond tersebut akan menghabiskan hingga 1 ton sampah organik.
”Sejauh ini, sampah organik yang kami ambil adalah dari limbah sejumlah rumah makan di sekitar TPA,” kata Kepala Komposter UPT TPA Cipeucang Ues Sulkurni.
Budidaya maggot menjadi salah satu alternatif yang tengah digalakkan DLH Tangsel. Sejumlah tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R) diberdayakan untuk mengelola sampah organik menjadi pakan maggot.
Di tempat kami saja bisa mengurangi sampah organik 1 ton per hari. Kalau di tiap kelurahan punya, akan semakin banyak sampah yang berkurang menuju TPA.
Menurut Ues, maggotsangat berpotensi untuk mengatasi masalah sampah, khususnya yang organik. Menurut dia, jika budidaya maggotbisa diberdayakan di banyak lapisan masyarakat, pengelolaan sampah bisa dilakukan di rumah tangga atau di bank sampah serta TPS3R. Dengan demikian, sampah yang dibawa ke TPA menjadi berkurang.
Ues berharap DLH Tangsel bisa bergerak cepat melakukan penyuluhan kepada warga dari tingkat RT, RW, hingga kelurahan. ”Di tempat kami saja bisa mengurangi sampah organik 1 ton per hari. Kalau di tiap kelurahan punya, akan semakin banyak sampah yang berkurang menuju TPA,” katanya.
Sirkulasi maggot
Ues meyakini, jika dengan sosialisasi yang baik, masyarakat akan tertarik dengan usaha budidaya maggot. Pemerintah perlu memberikan dukungan, baik itu penyuluhan maupun pengadaan biopond atau bahkan hingga alat pencacah sampah.
Kemudahan dalam membudidayakan maggot dirasakan salah satu pembudidaya asal Pamulang, Dadan Haeruromana (59). Dadan menyebut, untuk memulai usaha budidaya maggot tidak membutuhkan banyak tempat dan dana. Apalagi, sirkulasi maggotyang cukup sederhana akan memudahkan pembudidaya.
Awalnya, telur lalat tentara hitam menetas dalam 2-4 hari. Satu gram telur biasanya akan menjadi 4-5 kilogram maggot. Selama 15-25 hari, maggotakan mulai mengonsumsi sampah hingga menjadi prepupa. Seperti di TPA Cipeucang, 40 biopond maggot bisa menghabiskan hingga 1 ton sampah organik.
”Ketika menjadi maggot, sudah bisa dijual jadi pakan hewan ternak, baik dalam bentuk utuh maupun dikeringkan. Selanjutnya (jika dibiarkan), maggotakan menjadi prepupa hingga menjadi pupa. Pupa tersebut biasanya akan diletakkan dalam ruangan terpisah hingga menjadi lalat dewasa,” ujar Dadan.
Selanjutnya, lalat dewasa tersebut akan memasuki musim kawin. Setelah kawin, pejantan akan mati dahulu. Kemudian, setelah bertelur, betina akan menyusul mati. ”Lalat yang telah mati bisa menjadi pakan hewan, bahkan menjadi makanan maggotkembali. Dengan demikian, sirkulasi sampah dan maggotakan terus berputar” tuturnya.
Bernilai ekonomi
Seperti yang diungkapkan Ues, budidaya maggot juga bernilai ekonomi. Dadan merasakan hal tersebut. Mulai dari maggothingga menjadi prepupa. Maggotbisa dijual sebagai pakan ternak lele dan unggas.
”Saya sendiri punya ternak lele. Jika pakai pakan biasa, panen lele biasanya dalam waktu tiga bulan. Namun, kalau pakai maggot,dalam dua bulan sudah bisa panen. Adapun kalau dijual, peminatnya juga banyak karena masyarakat mulai tahu manfaatnya,” kata Dadan.
Selain sebagai pakan ternak, maggotjuga banyak diburu sejumlah perusahaan sebagai komoditas ekspor. ”Saya punya beberapa kenalan, mereka akan meminta maggotsebagai komoditas ekspor, sebagai bahan baku kosmetik,” ujar Dadan.
Ues dan Dadan mengharapkan peran aktif dari Pemkot Tangsel mendukung budidaya maggot sehingga bisa diperkenalkan kepada masyarakat secara luas. Apalagi, maggot bisa menjadi bagian dari upaya hulu menangani sampah.
Kompos TPA Cipeucang saat ini hanya melayani sampah organik sisa makanan dari industri rumah makan di sekitar. ”Jika pemerintah bergerak lebih maksimal, mungkin rumah makan yang berada di satu daerah akan dikelola oleh budidaya di setiap RT/RW atau kelurahan setempat,” kata Ues.
Sebagai pembudidaya, Dadan berharap para pembudidaya yang ada saat ini didukung dengan aksi nyata, seperti penyuluhan secara maksimal, pengadaan biopond, serta mesin pencacah sampah di TPS3R agar lebih produktif.
Saat ini, DLH Tangsel melalui Kepala Seksi Kemitraan dan Pemberdayaan Masyarakat DLH Tangsel Odji Restanto tengah berkoordinasi dengan 15 pembudidaya yang tersebar di lima kecamatan. Selain itu, ada sembilan perumahan yang disasar masuk dalam program maggot rumahan.