”Porter” Stasiun Pasar Senen, antara Profesionalitas dan Sistem Kekeluargaan
”Porter” atau tukang angkat barang penumpang di Stasiun Pasar Senen sudah ada sejak lama. Saat ini, kegiatan mereka diatur secara profesional. Namun, menjadi ”porter” di sini ditentukan hubungan keluarga dan koneksi.
Belum sampai lima menit saat Amelia (35) tiba di tempat parki taksi di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, seorang tukang angkat barang atau porter mendekatinya. Dengan sapa ramah dan senyum, porter itu menawarkan bantuan membawa satu tas gendong dan satu koper milik Amelia.
Amelia tak pikir panjang untuk menerima jasa porter tersebut membawa barangnya hingga ke peron penumpang.
”Membantu bangetapalagi kalau jalan sendiri dan bawa barang banyak. Mereka datang langsung nawarin sehingga kita enggak perlu cari,” kata Perempuan asal Magelang, Jawa Tengah, itu bergegas masuk ke pintu keberangkatan, Kamis (9/2/2023).
Sekitar setengah jam setelah mengantar barang penumpang itu, porter bernama Siswanto (42) keluar dan berdiri di salah satu tiang depan pintu kedatangan. Ia menunggu giliran untuk kembali menawarkan jasa angkut barang kepada penumpang.
Baca juga: Beban Itu Telah Dipikul Bapak…
Para porter di Stasiun Pasar Senen memiliki aturan atau cara kerja dalam mencari penumpang agar tidak saling rebutan sehingga bisa memicu keributan dan bisa membuat penumpang tidak nyaman.
”Porter yang sudah mendapat dan menuntaskan tugasnya tidak langsung balik ke situ lagi untuk nawarin angkut barang. Jadi harus memberikan kesempatan untuk porter lainnya yang belum dapat. Itu mengatur agar tidak rebutan dengan porter lainnya. Porter-nya pencar ke beberapa titik,” ujar ayah dua anak itu.
Tak hanya itu, untuk memudahkan koordinasi dan tertib alur kerja menawarkan jasa angkut, para porter yang berjumlah 174 orang itu juga dibagi jam kerjanya. Jam kerja pertama pada pukul 07.00-19.00 (tim ganjil) dan pukul 19.00-07.00 (tim genap) untuk jam kerja kedua.
Seragam yang dipakai tim porter itu juga berbeda. Untuk tim ganjil seragam biru, sementara tim genap seragam merah. Penggunaan seragam itu digagas langsung oleh para porter dengan persetujuan pihak Stasiun Pasar Senen.
Baca juga: Dibuang Dulu, Dinikmati Kemudian
Siswanto yang saat itu masih berdiri mengamati para penumpang tiba-tiba memberikan kode lirikan mata dan jempol kepada porter lain untuk mempersilakan membawa barang penumpang.
Wajah Slamet BL (39), sang porter itu, sedikit tersenyum dan menghampiri penumpang menawarkan membawa tas. Namun, penumpang itu menolak jasanya. Slamet lalu berjalan sembari mencari penumpang lainnya. Lagi, jasanya ditolak.
Tak patah hati, Slamet terus mencari penumpang yang ingin menggunakan jasa porter. Setelah beberapa kali ditolak, akhirnya ada penumpang yang mau menggunakan jasanya.
Dalam sehari setidaknya ada 5-10 penumpang yang dilayani oleh satu porter, bahkan bisa lebih jika stasiun ramai oleh calon penumpang. Dalam menjalankan jasa angkut barang, porter tidak menuntut atau memberlakukan tarif. Mereka menerima bayaran seikhlasnya dari penumpang
”Memang banyak yang menolak. Itu risiko, tidak masalah, tidak marah. Kita harus ramah sama penumpang,” kata Slamet.
Baca juga: Rambut Palsuku Penyemangatku
Saking banyaknya penolakan, Slamet pun tak sempat menghitung jumlah penumpang yang menolak. Begitu juga jumlah penumpang yang menerima jasanya juga luput dari ingatannya.
”Dalam sehari tidak menentu hasilnya, beda-beda. Biasanya minimal dapat Rp 20.000-Rp 25.000 (satu kali angkut barang). Ada kasih Rp 30.000-Rp 50.000, bahkan ada Rp 100.000, tetapi jarang-jarang dapat segitu,” ujar pria yang sudah bekerja sebagai porter sekitar lima tahun itu.
Rata-rata penghasilan per bulan para porter berkisar Rp 4 juta-Rp 5 juta. Namun, jika musim libur anak sekolah dan hari raya, penghasilan mereka bisa lebih banyak. Saat musim libur seperti itu, dalam satu hari para porter bisa mendapatkan Rp 200.000 hingga Rp 400.000.
Pekerjaan sebagai porter bagi Slamet lebih menjanjikan ketimbang pekerjaan serabutan lain yang pernah ia jalanin. Menurut dia, dari segi penghasilan dalam sebulan sudah jelas besarannya sehingga memudahkan dalam perencanaan keuangan.
Uang hasil keringat itu bisa ia sisihkan untuk kehidupannya di Jakarta dan selebihnya untuk keluarga di kampung halamannya di Kebumen, Jawa Tengah.
Baca juga: Kesejahteraan Kuli Angkut
Saat ini, Slamet sedang mempersiapkan tabungan untuk anak pertamanya masuk ke jenjang sekolah menengah atas (SMA). Ia juga harus berpikir memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 2 tahun.
”Biasanya pulang kampung dua bulan sekali jika ada rezeki lebih. Kangen kalau dipikir-pikir. Tetapi harus bekerja biar bisa menyekolahkan anak. Yang tua sudah kelas 9 SMP dan untuk adik-adiknya juga,” ujar Slamet yang bersyukur bisa menjadi porter saat semuanya sudah terkoordinasi sistem kerjanya dengan baik.
Sementara bagi Siswanto, yang sudah berkerja sejak 2003, merasakan perubahan besar dan positif dalam pelayanan transportasi kereta api. Sejak pertama menjadi porter 20 tahun lalu, kondisi pelayanan hingga jasa porter sangat semrawut dan tidak terkoordinasi dengan baik. Siapa saja bisa menjadi porter, tidak berseragam, dan rebutan membawa barang penumpang.
Namun, kondisi seperti itu mulai perlahan berubah dan membaik sejak Ignatius Jonan menjabat Direktur Utama PT Kreta Api Indonesia dan berlanjut menjadi Menteri Perhubungan. Ia membenahi wajah perkeretaapian Indonesia.
”Kalau tidak salah sekitar 2010 saat zaman Pak Jonan mulai berbenah sampai ke porter-nya juga dibenahi. Jadilah seperti ini sekarang terkoordinasi dengan baik oleh manajemen dan dari kami juga,” ujar Siswanto.
Alhamdulillah, pekerjaan ini bisa mencukupi keluarga saya, terbukti bisa bertahan sampai sekarang. Memang cukup, tidak lebih, tetapi saya bersyukur.
Perubahan itu juga ternyata berdampak pada penghasilan Siswanto. Meski tidak bisa dikatakan banyak, pekerjaan sebagai porter bisa mencukupi kehidupan keluarganya.
”Alhamdulillah, pekerjaan ini bisa mencukupi keluarga saya, terbukti bisa bertahan sampai sekarang. Memang cukup, tidak lebih, tetapi saya bersyukur. Anak pertama bisa sekolah sampai lulus SMA. Memang ada keinginan untuk kuliahin anak, tetapi ternyata biaya kuliah mahal, ya. Semoga anak kedua yang SMP ini bisa kuliah jika ada rezeki lebih,” katanya.
Bertahannya Siswanto dari pekerjaan itu juga tak lepas dari kekeluargaan yang terjalin sesama porter. Apalagi saat ini sistem kerja sudah jauh lebih terkoordinasi dengan baik.
Tidak sembarang orang bisa menjadi porter di Stasiun Pasar Senen. Seakan meneruskan tradisi, profesi porter hanya bisa didapatkan jika memiliki kedekatan keluarga atau kolega yang juga sesama porter.
”Untuk menjadi porter ini, sistem kekeluargaan atau biasanya turun-menurun dari bapaknya atau dari keluarganya. Jika tidak ada saudara, kolega, atau tetangga yang dekat, pokoknya bukan orang jauh, enggak bisa. Bahkan, ada dari bapak ke anak ke mantu. Saya bisa ke sini juga karena keluarga,” katanya.
Mereka yang terpilih itu kemudian wajib menunjukkan kartu identitas dan membayar administrasi. Setelah itu, koordinator porter akan melaporkan ke pihak stasiun jika ada porter baru. Terkait biaya administrasi, Siswanto tidak bersedia memberikan tahu berapa yang harus dikeluarkan.
Perekrutan melalui sistem keluarga itu, kata Siswanto, untuk memudahkan koordinasi dan meminimalisasi hal-hal tidak diinginkan atau ke depan terjadi masalah. Jika yang menjadi porter orang di luar keluarga porter atau pihak tidak dikenal, dikhawatirkan tidak bekerja sesuai aturan yang sudah disepakati lalu membuat suasana semrawut serta menganggu kenyamanan penumpang.
Kendati demikian, porter yang baru masuk dari rekomendasi keluarga sesama porter tetap diberikan pelatihan dan cara kerja. Hal paling penting yaitu bisa ramah kepada penumpang dan sopan saat menawarkan jasa angkut barang.
Untuk menjadi porter ini, sistem kekeluargaan atau biasanya turun-menurun dari bapaknya atau dari keluarganya.
Ekosistem pelayanan
Pekerjaan porter tak hanya terkait angkut barang penumpang semata. Para porter juga harus bisa melakukan pelayanan lebih seperti memberikan informasi jika ada penumpang yang bingung.
”Banyak dijumpai penumpang bingung jam keberangkatan, keretanya yang mana, di peron berapa, dan lainnya. Jadi, kami harus tahu pengetahuan itu untuk bisa menginformasikan dengan benar. Harus pasti mengerti hal itu,” ujar Siswanto.
Tak hanya itu saja, sebagai bentuk pelayanan, para porter juga ikut memberikan salam dan sikap hormat kepada penumpang di dalam kereta api.
”Selesai antar barang hingga ke kursi penumpang dan kereta hendak jalan, porter yang ada di situ ikut juga memberikan sikap hormat. Jadi ada jadwalnya, ada 11 porter yang ikut memberikan penghormatan. Lebih kurang program ini sudah dua tahun. Kami senang ikut dilibatkan juga,” ujar Siswanto.
Menurut Eva Chairunisa, Kepala Humas PT KAI Daop 1 Jakarta, para porter merupakan ekosistem yang tak terpisahkan dan memiliki peran penting dalam pelayanan transportasi publik kereta api.
”Semua di stasiun dari petugas hingga porter menjadi satu ekositem yang melayani penumpang agar penumpang nyaman,” kata Eva.
Transformasi jasa porter juga berkembang semakin baik seiring penguatan pelayanan PT KAI kepada publik. Hal itu bisa terjadi karena kerja sama manajemen dan para porter yang terus dilakukan agar penumpang kereta juga puas.
Begitu pun dengan melibatkan para porter dalam memberikan sikap hormat juga bagian penting dalam pelayanan kepada penumpang. Pengormatan kepada penumpang menjadi bentuk rasa terima kasih kepada penumpang karena sudah menggunakan jasa transportasi kereta api.
”Sikap profesional dalam bekerja, ramah, rapi dengan seragam, hingga mengerti cara menyampaikan informasi terkait perjalanan kereta, dan ikut memberikan sikap hormat menjadi nilai lebih mereka. Itu bisa berimbas dari penghasilan mereka,” kata Eva.
Pengalaman menjadi porter bagi Siswanto dan Slamet tidak hanya soal uang jasa angkut barang, tetapi di situ mereka saling belajar menghargai dan menghormati. Menjadi porter berarti turut menjadi pelayan publik yang harus dijalani dengan sepenuh hati.