Rambut Palsuku Penyemangatku
"Hati gembira adalah obat", mantra mujarab memompa semangat hidup para penyintas kanker. Rambut palsu jadi salah satu jawaban untuk tampil cantik dan percaya diri demi memupuk kegembiraan dalam hati.
Suara para pedagang yang bersahut-sahutan mempersuasi konsumen terdengar dari berbagai sudut Pasar Baru, Jakarta Pusat, siang itu. Mereka berlomba mendapatkan hati pengunjung, meski hanya sekadar mampir untuk melihat-lihat.
Dari kejauhan tampak gulungan rambut terurai rapi di atas sebuah meja lapak salah satu pedagang. Ada rambut pirang sepanjang pundak yang terpasang di atas maneken. Ketika jari tangan menyisir rambut itu, halus serta lembut terasa dari tiap helai yang tergerai.
Sambil tergopoh-gopoh, pemilik lapak, Sri Rejeki (52) menghampiri. Ia berapi-api menjabarkan beragam jenis rambut yang dijualnya. Ada rambut palsu atau wig yang berbahan rambut asli dan rambut palsu. Tinggal pasang di kepala, setiap konsumen pun memiliki rambut indah baru sesuai selera. Ada pula bahan rambut untuk keperluan hair extension (memanjangkan rambut). Harganya pun variatif pada rentang Rp 300.000 hingga Rp 6,5 juta.
Selain pecinta mode, rambut-rambut palsu ini juga banyak dicari sejumlah penyintas kanker. Tak heran, kasus kanker di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejak 2018, jumlahnya bertambah 13,8 persen dengan total 396.914 orang pada 2020.
“Kalau buat (penyintas) kanker, rata-rata cari wig. Kalau dari rambut asli, harga untuk (rambut) pendek-panjang Rp 6,5 juta sampai Rp 7,5 juta,” ujar Sri, Jumat (17/2/2023).
Baca juga : Dibuang Dulu, Dinikmati Kemudian
Ketahanan serta kemudahan perawatan membuat harga wig berbahan rambut asli lebih mahal ketimbang sintetis. Bahan tersebut hanya dapat bertahan satu hingga dua bulan, berbeda dengan wig berbahan rambut asli.
“Kalau ini sampai dunia akhirat, sampai kita enggak ada umur (bisa bertahan), yang penting jangan dipotong. Kalau dipotong ya habis,” ujarnya sambil tertawa.
Di Pasar Baru, Sri memiliki dua lapak yang seluruhnya menjual rambut palsu maupun potongan. Masing-masing lapak dijaga kedua anaknya. Sembari menjaga cucu-cucunya, ia ikut mengawasi barang-barangnya dari kejauhan.
Wig jadi salah satu andalan produknya. Meski tak senyaman berbahan rambut asli, wig sintetis masih jadi favorit para pasien yang tengah menjalani kemoterapi. Alasannya, harga tergolong lebih murah. Sebab, dengan merogoh Rp 450.000, rambut tiruan berukuran pendek berhasil menutupi kepala gundul akibat zat-zat kimiawi.
Terdorong rasa iba bagi para penyintas kanker, Sri masih dapat menurunkan lagi harga wig tersebut hingga menyentuh Rp 250.000. “Ya sudah deh neng, kasihan. Orang biar langganan. Walaupun kami untungnya kecil yang penting berkah,” kata perempuan dengan delapan cucu ini.
Baca juga : Warga Jakarta Puas Tinggal di Rusun Sederhana
Senada dengan Sri, pedagang wig lain tergerak hatinya untuk ikut meringankan beban penyintas kanker. Meski tak mengenal mereka secara personal, tetapi Fitri (39) selalu memberi potongan harga.
Siang itu, Fitri tampak lelah menggendong anaknya yang rewel sambil menjaga dagangannya. Deretan wig artifisial berjajar rapi di balik etalase kaca tepat di sebelah eskalator dalam Mal Harco, Pasar Baru. Strategisnya tempat itu menarik perhatian pengunjung yang sesekali melirik sederet pajangan rambut palsu.
Rambut-rambut palsu berukuran pendek yang dijajakannya mayoritas juga dicari penyintas kanker. Jika harga normal, Fitri mematok Rp 150.000 per wig, tetapi konsumen penyintas hanya merogoh Rp 100.000. Dengan nominal tersebut, masih ada juga beberapa konsumennya yang menawar.
“Saya mencoba memposisikan diri saja. Kalau saya yang seperti itu bagaimana. Niat ingin bantu juga. Kita jadi enggak ngomongin untung-rugi ya,” ujar pedagang sekaligus pemilik Salon Astika itu.
Harapan besar tak hanya tersirat dari konsumen-konsumennya yang mengejar kesembuhan. Namun, Fitri memiliki asa serupa. Kelak, ketika usahanya sudah berkembang, perempuan berambut bob ini ingin bekerja sama dengan yayasan kanker, bahkan memberikan wignya secara cuma-cuma pada mereka yang membutuhkan.
Baca juga : Angkutan Logistik dan Bus Listrik Karya Anak Negeri
Merapalkan mantra
Wig, baik asli potongan rambut manusia maupun sintetis memberi secercah harapan bagi para penyintas kanker untuk dapat melanjutkan hidupnya seperti sedia kala. Penyakit tak menghalangi mereka untuk tampil cantik dan trendi layaknya rerata kaum urban ibu kota yang suka bergaya. Meski tampak remeh, tetapi wig memiliki peran besar tersendiri untuk mendongkrak kepercayaan diri pemakainya.
“Kalau mereka masih punya karier, masih berkomunikasi dengan orang lain, jadi keluar rumah itu penting banget. Karena secara estetika itu, kan, harus tetap merasa cantik,” kata Annie Kuswardani (52), penyintas kanker payudara.
Selama ini, ia terus “merapalkan” mantra agar tetap hidup secara positif. Menurutnya, hati gembira adalah obat. Alhasil, tetap tampil percaya diri adalah kunci untuk menghadapi dunia, salah satu cara menaklukkan penyakitnya.
Lambat laun, kepercayaan dirinya mulai tumbuh meski enam kali kemoterapi telah dilakukannya. Kala rambutnya mulai tumbuh, Annie pun menyadari makna rambut palsu untuk dirinya.
“Penyintas pakai wig karena ingin tetap kelihatan cantik, supaya enggak dikasihani orang lain. Selain itu, (wig) menghilangkan pandangan buruk orang-orang. Itu gunanya pakai wig biar enggak diperlakukan berbeda dengan orang yang sehat,” tutur Annie yang telah menginjak tahun ketujuh pascavonis dokter bahwa dirinya mengidap kanker.
Baca juga : Bertaruh Nyawa demi Konten di Medsos
Kalau rambut hilang, rasanya jadi insecure, sedih. Jadi pakai wig supaya tetap terlihat normal
Rambut-rambut palsu pun jadi koleksinya. Ia memiliki lima wig yang mendorongnya untuk lebih menikmati hidup. Fashionable, satu kata yang menggambarkan dirinya saat memilih-milih wig sesuai suasana hatinya.
Serupa dengan Annie, penyintas kanker payudara lainnya, Kenny Fabanyo (30) menyebut pentingnya rambut bagi perempuan. Bak mahkota, rambut diperlakukan spesial karena jadi perhatian utama saat bertemu dengan orang lain.
“Kalau rambut hilang, rasanya jadi insecure, sedih. Jadi pakai wig supaya tetap terlihat normal,” ujar karyawan swasta ini.
Meski begitu, Kenny menilai wig bukan satu-satunya cara untuk menumbuhkan rasa percaya diri penyintas kanker. Kerendahan hati untuk menerima kondisi jadi penentu untuk berdiri tegap. Selain itu, validasi positif lingkungan sekitar turut mendongkrak keberanian penyintas.
Terkadang rasa percaya diri yang telah dipupuk sedemikian rupa dapat hancur dengan mudahnya karena opini-opini buruk orang terdekat. “Aku dulu dibilang kurang dekat sama Tuhan, jadi bahas aib. Ini justru keluarga yang berani ngomong kayak gini,” kata Kenny.
Baca juga : Tidak Ada yang Instan untuk Mengatasi Kemacetan Tangerang Selatan
Seiring berjalannya waktu, Kenny dapat berdamai dengan diri sendiri. Beberapa wig miliknya disumbangkan pada para penyintas kanker lainnya. Lovepink Indonesia jadi tempatnya bernaung sekaligus menyebarkan mantra-mantra positif bagi rekan sejawat bernasib sama.
“Rambut itu memang akan hilang (karena kemoterapi). Akan tetapi anggap saja tiap helai yang hilang sekaligus menggugurkan penyakit itu. Rambut juga akan kembali lagi pada akhirnya,” kata perempuan yang diketahui mengidap kanker pada 2020 lalu itu.
Masalah dan solusi
Rambut palsu tentu jadi opsi untuk tampil cantik dan unik. Sayangnya, tak semua orang dengan mudah mengakses rambut tiruan ini.
Annie serta Kenny sepakat, harga yang mahal jadi kendala utama wig tak dapat dinikmati seluruh penyintas kanker. Biaya pengobatan yang mahal, acapkali membuat pasien tak terpikirkan untuk menggunakan aksesori ini.
“Penderita kanker enggak hanya butuh obat, tapi juga butuh asupan makanan bergizi. Jadi mereka enggak menganggarkan uang untuk beli sesuatu yang menurut mereka belum jadi prioritas, kayak wig,” kata Annie.
Selama ini, lokasi untuk mendapatkan rambut palsu terpusat di kota-kota besar. Padahal, penderita kanker berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Edukasi soal penutup kepala juga masih terbatas hanya di grup penyintas kanker, sehingga kesadaran untuk menggunakan rambut palsu masih minim.
Guna menjawab sebagian persoalan ini, Annie dan Kenny meminjamkan, bahkan mendonasikan wig-wignya bagi para penyintas kanker lainnya. Misi menumbuhkan harap bagi sesama pasien membentuk solidaritas pula di antara para penyintas kanker.
Tak hanya berhenti pada simpati, empati yang berujung tindakan nyata banyak dilakukan anak muda. Ignatia Ivana (27), salah satu donatur rambut mengatakan, seseorang yang memotong rambut terlalu pendek bisa menyesal berhari-hari, apalagi jika semuanya rontok tak tersisa. Perspektif itu mendorongnya untuk memotong 30 sentimeter bagian rambutnya dan didonasikan bagi penyintas kanker.
Anak-anak muda lain tak ingin kalah dengan melakukan aksi dalam skala lebih besar. Bernadeta Elie (22), kerap disapa Brenda, urun rencana yang tak hanya berakhir wacana. Ia bersama empat kawannya mendirikan gerakan “Mahkota Rambutku” mengajak siapa saja mendonasikan rambutnya bagi para penyintas kanker.
“Mereka (para penyintas kanker) enggak ingin terlihat sakit, semua ingin terlihat sehat. Mereka enggak ingin diperlakukan beda. Apalagi perempuan, rambut buatku sendiri itu penting banget. Rambut jelek saja bisa kesal seharian, apalagi mereka yang menderita kanker,” tutur Brenda, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Baca juga : Tanda Bahaya Rentetan Kekerasan Seksual di Sekolah Berasrama di Banten
Biaya jahit dan pengiriman yang hanya mengandalkan donasi acapkali memaksa Brenda dan kawan-kawan untuk merogoh kocek pribadi. Namun, persoalan itu tak menghentikannya jadi jembatan kebaikan banyak orang.
Ironi kehidupan penyintas kanker menumbuhkan solidaritas saling bantu dari banyak orang. Kebesaran hati mereka menunjukkan harapan besar bagi para penyintas kanker agar tetap memupuk asa dan cita-cita yang sempat tertunda. Wig, jadi salah satu aksesori sederhana yang dapat mengubah hidup pasien.
Rambut palsuku penyemangatku.