Ormas Tuntut Tanggung Jawab, Pertamina Fokus Tangani Korban Plumpang
Pertamina dianggap jadi pihak yang bertanggung jawab atas insiden Terminal Bahan Bakar Minyak di Plumpang, Jakarta Utara. Sebuah organisasi masyarakat menuntut agar jabatan Direktur Utama Nicke Widyawati dicopot.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Segelintir orang menuntut mundurnya Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati imbas kebakaran terminal Bahan Bakar Minyak Plumpang, Jakarta Utara. Mereka mengadu ke Komnas Hak Asasi Manusia untuk melakukan investigasi khusus.
Menurut Wakil Ketua Umum DPP Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (Pekat IB) Lisman Hasibuan, kebakaran Plumpang merugikan ratusan warga di sekitar Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jakarta Utara. Kejadian serupa pernah terjadi pada 2009, tetapi PT Pertamina (Persero) seolah tak belajar dari peristiwa tersebut.
”Direktur Utama Pertamina saat ini kurang sosialisasi juga kepada masyarakat dan dampak-dampak yang (dapat ditimbulkan) jika terjadi ledakan ataupun pipa bocor,” ujar Lisman di Gedung Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, Senin (6/3/2023).
Seharusnya, Pertamina dapat mencegah terbakarnya Terminal BBM Plumpang. Sebab, ada rentang waktu antarkejadian yang sudah berulang ini. Selain itu, lokasi tangki terhitung sangat dekat dengan rumah warga. Belum lagi soal bau BBM yang dapat mengganggu kesehatan warga.
Lisman berharap agar Komnas HAM dapat bertindak tegas dan mengusut pihak Pertamina, setidaknya Direktur Utama (Dirut) Nicke Widyawati serta tim teknis Depo Pertamina Plumpang. Ia juga mengklaim sejumlah terminal BBM lain di Indonesia juga berdekatan dengan rumah warga.
”Kenapa Dirut Pertamina baru muncul setelah kejadian? Harusnya dia muncul sosialisasi untuk masyarakat,” tambahnya.
Menanggapi aduan tersebut, komisioner Pengaduan Komnas HAM, Hari Kurniawan, akan mendiskusikan masalah yang diangkat Pekat IB. Hal ini akan membantu Komnas HAM memutuskan langkah selanjutnya, antara pemantauan atau mediasi atau keduanya.
”Kalau terkait hak kesehatan berarti ada hak kesehatan yang dilanggar, ada kerugian yang diderita warga. Ini bisa kami mediasikan,” ujar Hari.
Apabila mediasi jadi langkah yang diambil, berarti Komnas HAM akan menengahi antara warga dan Pertamina sebagai korporasi. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dapat terlibat untuk pengambilan kebijakan selanjutnya.
Sementara itu, Vice President Pertamina Fadjar Santoso menolak mengomentari aduan yang dilayangkan pada Komnas HAM. Saat ini, fokus perusahaan pelat merah itu pada penanganan korban serta warga terdampak.
”Enggak ada (komentar). Negara demokrasi, semua punya hak berpendapat,” katanya secara tertulis.
Polemik Tanah Merah
Pada 2009, terjadi musibah serupa di depo Pertamina Plumpang. Namun, dampaknya tidak semasif peristiwa Jumat (3/3). Setelah itu, pemerintah berencana untuk merelokasi warga sekitar. Upaya itu bahkan pernah dilakukan sebelumnya, yakni Pertamina yang membebaskan lahan dan menimbunnya dengan tanah merah sehingga lebih tinggi pada 1992. Kawasan itu lalu disebut ”Tanah Merah” (Kompas, 22/1/2009).
Meski hidup di bawah ancaman bahaya, Ketua RW 009 Rawa Badak Selatan Abdus mengatakan agar terminal BBM Pertamina, Plumpang, dapat dipindahkan ke tempat lain. ”Kami masih betah tinggal di kampung Tanah Merah ini, anak-anak juga lahir di sini. Sudah turun-temurun orang-orang tua kami terdahulu juga lahir di sini,” tambahnya.
Ketika ditanya terkait sertifikat atau bukti kepemilikan lahan tinggal, Abdus menegaskan bahwa tanah yang ditinggalinya bersama warga lain memiliki kajian akademis. Dalam catatan itu ada pula histori perjalanan Tanah Merah. Meski demikian, ia enggan membahas lebih lanjut mengenai perjalanan sejarah Tanah Merah, termasuk kaitannya dengan kepemilikan lahan.