Tilang Langsung Masih Diandalkan ketimbang Tilang Elektronik
Penindakan langsung dinilai masih penting untuk mengatasi minimnya budaya berkeselamatan saat berlalu lintas.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penindakan langsung bagi para pelanggar lalu lintas masih menjadi andalan ketimbang sistem penilangan elektronik di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pengawasan langsung dinilai masih penting untuk mengatasi minimnya budaya berkeselamatan saat berlalu lintas.
Data Operasi Keselamatan Jaya 2023, yang berlangsung pada 7-20 Februari 2023, menunjukkan ada 6.469 penindakan dengan sistem electronic traffic law enforcement (ETLE), baik statis maupun bergerak. Sebanyak 4.703 penindakan dengan ETLE statis dan 1.766 penindakan ETLE bergerak.
Penindakan dilakukan di lima wilayah Jakarta, Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Tangerang, dan Tangerang Selatan. Tilang elektronik kini menggantikan tilang manual walaupun jumlahnya masih terbatas. Saat ini, ETLE statis baru menyebar di 50 titik lebih, ditambah 11 ETLE bergerak (mobile) yang dapat berpatroli di jalanan.
”Penilangan yang dilakukan dengan ETLE Statis di giat 2023 turun 4,31 persen dibandingkan dengan giat di tahun 2022,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko di Jakarta, Selasa (21/2/2023).
Di sisi lain, peneguran langsung tetap dilakukan aparat di jalan. Dalam operasi tahun ini, aparat melakukan 34.132 peneguran terhadap pelanggar aturan lalu lintas. Jika dibandingkan kegiatan serupa pada 1-14 Februari 2022 lalu, hanya ada 5.838 teguran. Artinya, jumlah pelanggaran lalu lintas yang ditemui aparat secara langsung naik sampai 484,7 persen.
Upaya represif masih perlu dilakukan selama kompetensi halus masyarakat dalam berkendara, seperti budaya keselamatan, masih rendah. Ilmu kedisiplinan ini perlu terus diajarkan di lingkungan keluarga hingga sekolah. (Sony Susmana)
Pelanggar didominasi oleh jenis pelanggaran antara lain tidak memakai sabuk pengaman, tidak menggunakan helm, melawan arus, melanggar rambu lalu lintas, dan menggunakan ponsel saat berkendara. Pelanggaran lainnya seperti tidak menggunakan helm, pengendara di bawah umur, dan pengunaan strobo tanpa izin.
”Direktorat Lalu Lintas berupaya mengedepankan upaya prefentif dan edukatif pada masyarakat di jalan. Target operasi ini adalah sebagai upaya meminimalisasi kecelakaan lalu lintas dan mengurai kemacetan yang disebabkan pengendara yang tidak tertib serta menumbuhkan kesadaran berlalu lintas,” katanya.
Meski demikian, kecelakaan lalu lintas belum bisa ditekan. Menurut data Operasi Keselamatan Jaya tahun ini, angka kecelakaan mencapai 174 kasus atau meningkat hingga 655 persen dibandingkan operasi pada tahun lalu. Kecelakaan paling banyak melibatkan 124 sepeda motor dan 27 mobil penumpang. Mayoritas korban adalah pelajar dan pekerja dengan rentang usia 15 sampai 39 tahun.
Melihat data tersebut, Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI) Sony Susmana menilai penilangan atau penindakan di tempat masih diperlukan untuk memastikan kondisi lingkungan jalan benar-benar aman dan terkontrol. Ini terbukti dari data yang menunjukkan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas lebih banyak saat tidak adanya tilang manual.
”Kalau tilang elektronik, kan, tegurannya nanti. Padahal risiko kecelakaan harus dicegah segera, enggak bisa nanti-nanti,” ujarnya saat dihubungi hari ini.
Upaya represif, menurutnya, masih perlu dilakukan selama kompetensi halus masyarakat dalam berkendara, seperti budaya keselamatan, masih rendah. Ilmu kedisiplinan ini perlu terus diajarkan di lingkungan keluarga hingga sekolah.
”Ini sebuah ilmu yang butuh proses waktu yang tidak sebentar, serta perlu konsistensi dalam menerapkannya, terutama anak-anak muda yang cenderung masih mencari jati diri dengan melakukan hal-hal yang negatif,” katanya.