Sate Taichan Dicari, tetapi Juga Dicaci karena Bikin Macet
Halang rintang dihadapi pedagang sate taichan. Meski lahir di Senayan, banyak dari mereka tidak diterima berjualan di sekitar Senayan karena dianggap biang kesemrawutan lalu lintas.

Pedagang sate taichan menyalakan papan lampu penanda merek jualan mereka di Jalan Tentara Pelajar, Gelora, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023) malam.
Mendengar nama sate taichan, orang pasti akan langsung menghubungkannya dengan Senayan. Daerah di pusat Jakarta itu menjadi pemuas lidah pemburu kuliner populer tersebut. Namun, bagai pungguk merindukan bulan, sate taichan belum juga mendapat tempat yang layak di Senayan.
Gerimis yang turun, Jumat (10/2/2023) malam, tak menyurutkan aktivitas sejumlah petugas satuan polisi pamong praja yang berjaga dan mengawasi trotoar dan jalur sepeda di sisi timur Jalan Tentara Pelajar, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Teng! Jam menunjukkan pukul 22.00, tugas pun berakhir. Mereka lantas naik ke mobil dinas dan meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka pergi, belasan sepeda motor yang menarik gerobak dagangan datang berentetan dari arah Jalan Gelora, seberang kompleks Gedung DPR. Gerobak-gerobak itu langsung menempati posisi empunya, para pedagang sate taichan.
Tina (38), penjual sate taichan bermerek Aulia, bersama suaminya, Kastari, dan beberapa karyawan sigap menyusun barang-barang. Mereka mendirikan tenda, menggelar terpal untuk alas lesehan, memasang lampu bersumber genset, menyusun belasan meja plastik, dan mengatur barang jualan.

Pedagang sate taichan membawa gerobak jualannya dengan sepeda motor ke Jalan Tentara Pelajar, Gelora, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023). Kegiatan ini baru mereka lakukan di atas pukul 22.00 setelah petugas satpol PP yang biasa berjaga di jalan itu pergi.
Trotoar lebar nan gelap itu pun disulap menjadi rumah makan tenda yang terang dengan beberapa lampu putih. Lapak mereka menghidupkan trotoar yang sepi karena berbatasan dengan tembok lapangan Persatuan Menembak Indonesia (Perbakin) dan rel kereta api.
Selain lapak sate taichan, gerobak penjual minuman ringan ikut meramaikan trotoar malam itu. Denyut perputaran uang ini juga dimanfaatkan warga sekitar dengan menjadi juru parkir. Tidak hanya laki-laki, perempuan pun ikut serta turun ke jalan.
Tina juga memiliki juru parkir kepercayaan yang membantu menggaet pembeli. Ia berjaga di batas jalur sepeda sambil sesekali melambaikan lengannya untuk mengarahkan kendaraan yang mungkin saja membawa pelanggan.
Jalan itu sudah lengang, tetapi kemunculan juru parkir di setiap lapak sate taichan di sana sesekali memperlambat laju mobil dan sepeda motor. Lengkingan suara klakson pun bermunculan karenanya.
Baca juga : Gedung Tinggi Versus Punggung Jenderal Sudirman

Pedagang sate taichan menggelar terpal untuk alas duduk di tenda mereka di Jalan Tentara Pelajar, Gelora, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023).
Dalam waktu kurang dari 10 menit setelah lapak Aulia siap, mereka mendapatkan pelanggan pertamanya. Empat gadis remaja datang dengan mobil taksi daring. Perut lapar dan keinginan melanjutkan mengobrol membawa mereka ke sana. Mereka pun memesan seporsi sate taichan yang dihargai Rp 25.000 sampai Rp 30.000 jika dengan lontong.
”Ini pertama ke sini. Kebetulan tadi habis main di mal. Cuma karena mal keburu tutup dan kita masih mau lanjut ngobrol lagi, kita cari tempat yang enak sampai tengah malamlah,” kata Ria (22).
Sesaat kemudian, tamu lainnya ikut berdatangan ke lapak Aulia. Dalam waktu setengah jam, 10 pembeli duduk secara lesehan di sana. Jalur sepeda yang sebagian sudah tidak memiliki pembatas stick cone pun terisi dua mobil dan satu sepeda motor pembeli.
Soal selera
Bagi Ria dan kawan-kawannya, mencicipi sate taichan bukan hal baru. Ria pernah menyicip sate kreasi ini yang dijual pedagang kaki lima di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
”Yang unik dari sate taichan kan rasa gurih dan pedasnya. Saya biasa nilai dari sambelnya, sih. Ini mau coba di sini. Mana tau lebih enak dari yang sebelumnya pernah saya makan,” tuturnya.
Sate taichan sebenarnya tak lebih dari sate ayam pada umumnya. Bedanya di bumbu. Sate ayam biasanya dibakar dan dibumbui kacang atau kecap, sedangkan sate taichan hanya dibumbui garam atau penyedap dan jeruk nipis. Sate yang matang lalu disajikan dengan jeruk nipis, bumbu gurih tambahan, dan sambal racikan.

Sate taichan
Salah satu penggemar sate taichan, Novianti Saputra (25), mengatakan, ia menyukai sate taichan dibandingkan sate jenis lainnya karena menyukai bumbu pedas asin. Sementara, Anastasia (21) sering mengunjungi sate taichan di Jalan Tentara Pelajar karena sudah punya langganan.
Sate taichan masih terbilang baru di dunia kuliner Jakarta. Makanan ini terkenal sejak 2015-2017. Kawasan Senayan diyakini menjadi tempat awal mula sate ayam polos tersebut. Namun, ada banyak versi cerita tentang asal-muasal resep sate tersebut (Kompas, 2/4/2017).
Kisah paling terkenal selama ini adalah cerita tentang sepasang kekasih, ada juga yang menyebutnya mereka pasangan suami istri, beda kewarganegaraan. Mereka pada satu waktu datang memesan beberapa porsi sate madura di salah satu gerobak pedagang, yang memang sebelumnya juga banyak berjualan di area itu.
Sang pria, yang diduga berkewarganegaraan Korea Selatan, mengaku tidak cocok dengan rasa sate ayam bumbu kacang khas Madura. Ia lalu minta diizinkan membakar dan mengolah sendiri sate sesuai seleranya, tanpa kecap manis atau bumbu kacang. Sebagai pengganti, turis itu meminta bumbu sambal, yang memang juga disediakan pedagang. Saat ditanya apa nama sate yang cara pengolahannya dianggap aneh itu, ”si turis” hanya bilang, ”sate taichan”.
Cerita versi lain juga disampaikan Koordinator Paguyuban Pedagang Sate Taichan Senayan Tentara Pelajar, Muhamad Muchlis. Pria yang membuka lapak di Jalan Tentara Pelajar dan berdagang sate taichan sejak masa pandemi itu mengatakan, sate taichan awalnya dikreasikan seorang atlet yang sedang ke Indonesia untuk bertanding di Senayan.
”Atlet ini kurang suka bumbu kacang sate Madura sehingga dia buat menu sendiri terus dinamai taichan. Karena orang lain juga suka, sate itu sempat dicari dan dinamain ’sate atlet’. Dari situ, mulai muncul pedagang-pedagang sate taichan,” kata pria yang tinggal di Gelora itu.

Warga menyantap sate taichan di pinggir jalan Jalan Tentara Pelajar, Gelora, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023) malam.
Pedagang-pedagang sate taichan ini sejak awal berjualan dengan konsep kaki lima. Mulanya, mereka berjualan di Jalan Asia Afrika Pintu 1 Senayan. Antusiasme masyarakat yang tidak terbendung membuat daerah itu semakin ramai pedagang baru. Pedagang-pedagang ini pun rela melayani tamu dari sore hingga pagi. Cuan itu pun ikut digarap Muchlis dengan menjadi penyedia kebutuhan daging para pedagang.
Menjelang perhelatan Asian Games 2018 yang memanfaatkan kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, para pedagang pun direlokasi ke area parkir Senayan City dengan alasan ketertiban. Di sana banyak pedagang resah karena manajemen yang buruk dan persaingan sengit antarpedagang terkait posisi lapak.
Hingga kemudian, pandemi di 2020 membuat pengelola Senayan City menutup tempat tersebut untuk pedagang. Sebagian para pedagang sate taichan berpencar, salah satunya ke Jalan Tentara Pelajar.
Pernah juga sampai ada pelanggan saya yang trauma sama razia. Ceritanya waktu itu dia lagi makan. Tahu-tahu datang petugas. Pelanggan saya ini ikutan panik terus jatuh waktu mau kabur
Nasib pedagang
Hingga kini, sekitar 20 pedagang sate taichan bertahan di Jalan Tentara Pelajar. Halang rintang pun mereka hadapi karena tidak mengantongi izin berjualan di situ.
Para pedagang awalnya bisa mulai berjualan pukul 17.00. Namun, alasan jam pulang kantor membuat pemerintah daerah mengarahkan mereka untuk berjualan lebih malam, yakni pukul 19.00. Ketika jalur sepeda dibuat, mereka justru diminta berdagang lebih malam mulai pukul 22.00.
Pembatasan waktu ini pun berdampak ke pedagang lain, termasuk Tina. Walakin, saat ini mereka bisa berdagang sampai pagi, tetapi sate yang terjual tidak sebanyak ketika mereka bisa buka usaha di sore hari.
”Dulu biasa habis 10 kilogram (daging ayam) sehari. Kalau malam minggu paling kenceng, bisa sampai 15 kg. Sekarang, 400 tusuk sekitar 7 kg paling bagus. Boro-boro bisa nyicil sepeda motor, karyawan aja enggak kebayar,” tutur ibu tiga anak yang berdagang sate taichan sejak masih membuka lapak di Jalan Asia Afrika.
Selain sulitnya mendapatkan pembeli, situasi ini juga membuat Tina dan pedagang lainnya suka kucing-kucingan dengan petugas. Dulu, ia lebih sering mendapat masalah ketika ada razia. Ini membuatnya trauma sehingga memilih tetap mempekerjakan orang untuk membantu mengangkut barang.
”Pernah juga sampai ada pelanggan saya yang trauma sama razia. Ceritanya waktu itu dia lagi makan. Tahu-tahu datang petugas. Pelanggan saya ini ikutan panik terus jatuh waktu mau kabur,” kata Tina.

Pedagang sate taichan baru menggelar alas tenda mereka di atas trotoar di Jalan Tentara Pelajar, Gelora, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023) malam.
Muchlis sebagai pemimpin paguyuban pedagang di Jalan Tentara Pelajar mengatakan, mereka sedang mengajukan izin untuk mendapatkan legalitas ke DPRD DKI Jakarta. Hal ini karena diskusi dengan pemerintah kota terkait ingin merelokasi mereka kembali ke Senayan City dengan alasan ketertiban.
Paguyuban menginginkan lokasi di Jalan Tentara Pelajar dijadikan lokasi binaan. Terkait penentuan lokasi binaan, terdapat beberapa dinas yang dilibatkan, yakni Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi Usaha Kecil dan Menengah DKI Jakarta, Dinas Bina Marga DKI Jakarta, dan Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Pemerintah DKI Jakarta.
”Setiap dinas tersebut sudah kami sampaikan pengajuannya. Kami juga sudah audiensi ke DPRD DKI, Desember lalu. Nantinya kami ingin himpun semua pedagang sate taichan menjadi satu wadah di bawah paguyuban sate taichan Gelora Senayan,” kata Muchlis.
Penyediaan lokasi binaan tidak hanya memberi legalitas, tetapi juga mendukung usaha pedagang agar lebih tertata dan rapi. Jalan Tentara Pelajar juga dipilih karena lokasinya yang strategis. Lokasi tersebut merupakan jalur orang kembali dari kantor menuju luar daerah Jakarta. Selain itu, orang-orang yang sering nongkrong malam mencari tempat makan santai di jalan tersebut.
”Pelanggan sate taichan itu tipenya datang langsung duduk. Bukan yang harus parkir dan mencari tempat lagi,” katanya.
Ia pun berharap banyak pada pembahasan sate taichan di DPRD DKI Jakarta. Menurut informasi, pembahasan itu sudah diagendakan pada pertengahan Februari 2023.
”Target kami bisa mendapatkan kepastian legalitas yaitu Maret 2023 atau paling lambat setelah Lebaran 2023,” ujar Muchlis.
Kepala Suku Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Jakarta Pusat Derliana Melinda Sagala mengungkapkan, Wali kota Jakarta Pusat sudah merencanakan agar pedagang sate taichan dapat kembali berjualan di Mal Senayan City. Pihak Mal Senayan City pun sudah menyetujuinya dan sudah berkoordinasi dengan para pedagang. Area berjualan masih sama seperti lokasi berjualan saat sebelum pandemi Covid-19.
Bukan persoalan dilarang atau tidak dilarang, yang jadi persoalan bagaimana menata ulang supaya mereka lebih tahu aturan, ada ketertiban, dan tidak menjadikan tempat mereka rawan masalah sosial. (Yayat Supriatna)
Pedagang yang berjualan di Jalan Tentara Pelajar tidak diperkenankan berdagang karena area tersebut fungsinya tidak untuk berjualan. Keberadaan pedagang yang berjualan di trotoar Jalan Tentara Pelajar itu juga acapkali menimbulkan kemacetan.
”Semua pedagang yang berjualan di trotoar diatur lokasi berjualannya dan tercantum dalam surat keterangan wali kota,” ujarnya saat dihubungi.
Pembinaan dan manajemen
Yayat Supriatna, pengamat tata kota dari Universitas Trisaksi, menilai, pedagang kaki lima seperti sate taichan hanya membutuhkan pembinaan dan manajemen yang baik. Mereka perlu diberi ruang dialog yang baik dengan pemerintah agar pengaturan tidak hanya bersifat represif dengan larangan-larangan.
”Bukan persoalan dilarang atau tidak dilarang, yang jadi persoalan bagaimana menata ulang supaya mereka lebih tahu aturan, ada ketertiban, dan tidak menjadikan tempat mereka rawan masalah sosial,” ujar Yayat yang dihubungi terpisah.

Trotoar di sepanjang Jalan Asia Afrika, Jakarta Pusat, dipenuhi pedagang kaki lima dan penjual sate taichan, Sabtu (26/5/2018).
Selain ruang dialog, pemerintah juga perlu ikut bertanggung jawab mengatur ruang-ruang publik untuk dimanfaatkan sebagai kawasan ekonomi. Daerah yang diminati pelaku usaha itu sebaiknya diatur dengan baik, dari lokasi berdagangnya, waktu bukanya, dan tempat parkir.
”Misalnya di Hong Kong, ada Ladies Market. Ketika pasar itu buka, jalan ditutup untuk pedagang malam hari jadi sasaran orang untuk cari barang murah, makanan enak. Perlu juga di Jakarta ada jalan di pusat kota yang bisa dikelola dengan tertib, untuk menghidupkan kawasan dengan hal baru,” tuturnya.
Tidak adanya pembinaan dari pemerintah, lokasi-lokasi tempat pedagang kaki lima berjualan yang sempat tren akan cepat meredup. Nasib pedagang sate taichan, kata Yayat, bisa sama dengan kafe tenda yang tren di Jakarta setelah krisis moneter 1998. Warung yang menghadirkan suasana ”kafe” atau restoran dengan penataan apik itu bermunculan di banyak wilayah di Jakarta. Bahkan, di kawasan Semanggi sempat muncul Kafe Tenda Semanggi. Namun, kafe-kafe itu tidak bertahan lama (Kompas, 26/3/2017).
”Jadi, harus ada ruang interaktif untuk dialog karena pedagang kaki lima ini yang menghidupkan kehidupan malam di Jakarta. Di Jakarta, ruang kota yang hidup kebanyakan diinsiasi pelaku usaha informal, jalan-jalan sepi menjadi ramai karena mereka jualan di situ. Itulah yang membuat kehidupan kota ini berkembang,” ujarnya.
Baca juga : ”Citayam Fashion Week”, Kembalinya Kota untuk Warga