Beragam cara dan trik digunakan penjahat untuk mencuri dan merampok harta benda warga yang masih beraktivitas di malam hari.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ratusan kasus kejahatan jalanan di wilayah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya terungkap selama kurun 30 hari. Beragam cara dan trik digunakan ratusan penjahat itu untuk mencuri dan merampok harta benda warga yang masih beraktivitas pada malam hari.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi mengatakan, selama kurun 30 hari ada 199 kasus kejahatan jalanan yang diungkap aparat kepolisian dari Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya dan jajajaran tingkat kepolisian resor di Polda Metro Jaya. Total tersangka atau pelaku yang tertangkap mencapai 296 orang.
”Dari ratusan pelaku itu, 24 orang di antaranya residivis. Mereka ini terlibat pembegalan, mencuri kendaraan bermotor, pencurian dengan pemberatan (merampok) di wilayah hukum Polda Metro Jaya dan melakukan berkali-kali,” kata Hengki di Polda Metro Jaya, Kamis (16/2/2023) siang.
Hengki mengatakan, selain residivis, ada juga 14 pelaku yang mencuri, membegal, dan merampok demi membeli narkoba. Para pelaku itu biasanya terlibat kejahatan saat dalam pengaruh alkohol atau pengaruhi obat-obatan (narkoba).
”Kasus-kasus kejahatan jalanan ini juga melibatkan anak di bawah umur. Jumlahnya ada 10 orang. Ada juga geng motor, jumlahnya tiga kelompok,” ujar Hengki.
Ratusan kejahatan jalanan yang terungkap selama satu bulan itu menimbulkan kerugian material dan imaterial yang tak sedikit. Tujuh warga menderita luka ringan, satu orang luka berat, dan satu korban meninggal.
Kendaraan bermotor milik warga di wilayah Polda Metro Jaya yang hilang dan disita polisi dari para pelaku mencapai 129 kendaraan. Rinciannya, 121 sepeda motor dan 8 unit mobil atau kendaraan roda empat.
”Uang hasil kejahatan yang kami sita mencapai Rp 15.660.500. Kemudian handphone ada 111 unit,” tuturnya.
Modus dan trik penjahat
Hengki mengatakan, dari ratusan kejahatan jalanan yang terungkap selama satu bulan itu, polanya sama, yakni waktu kejahatan biasanya terjadi mulai pukul 00.00 malam hingga dini hari atau pukul 04.00 sampai pukul 05.00. Lokasi sasaran penjahat adalah ruang publik, seperti jalan raya, tempat parkir, ataupun kawasan perumahan.
”Para pelaku ini biasanya rombongan atau lebih dari satu orang dengan membawa senjata tajam dan mencuri dengan kekerasan,” kata Hengki.
Penjahat, kata Hengki, saat menyasar korban, biasanya mengikuti kendaraan yang dikemudikan korban, melukai, dan merampas telepon seluler atau kendaraan korban. Sebagian pelaku bahkan menggunakan cara dengan berpura-pura menjadi aparat kepolisian untuk mencuri atau merampok.
Cara yang dilakukan itu adalah pura-pura bertindak sebagai aparat dan merazia kendaraan warga yang melintas. Saat razia itu, mereka mengancam dan merebut harta benda korban dengan cara-cara kekerasan.
”Kendalanya, para pelaku setelah ditangkap (menjalani pidana dan setelah bebas) tidak ada efek jera. Oleh karena itu, kami sudah menjalin kerja sama dengan kejaksaan. Terhadap kasus-kasus menonjol dan meresahkan masyarakat, kami harapkan bisa dituntut maksimal,” ucap Hengki.
Hambatan lain yang sering ditemui polisi, para pelaku kejahatan jalan masih anak-anak. Penanganan hukum terhadap anak di bawah umur pun berbeda, yakni jangka waktu penahanan biasanya hanya tujuh hari, kemudian perpanjangan penahanan yang singkat, dan vonis pengadilan pun tak maksimal. Akibatnya, tak ada efek jera dan mereka setelah bebas memiliki potensi besar untuk mengulangi kejahatan serupa.
”Ke depan, kami berdiskusi bersama pemangku-pemangku kepentingan. Anak-anak ini (mencari solusi) agar tidak menjadi pelaku kejahatan yang berulang,” tutur Hengki.
Frustrasi
Kejahatan jalanan di wilayah Jakarta dan sekitarnya merupakan persoalan lama yang meresahkan masyarakat. Keresahan ini pernah direkam Kompas satu tahun lalu melalui Jajak Pendapat Kompas, 12-14 Januari 2022 ini. Hasilnya saat itu, mayoritas responden, yakni 84,3 persen, menyatakan tindakan kriminal yang dilakukan sekelompok remaja sudah mencapai tataran mengkhawatirkan dan menimbulkan keresahan warga.
Keresahan ini kerap kali berakhir dengan luapan frustrasi. Warga pun sering kali main hakim sendiri saat berhasil menangkap para pelaku kejahatan jalanan itu.
Contoh kasus bentuk luapan frustrasi warga yang terjadi di Jakartan dan sekitarnya adalah kasus penyiksaan tiga remaja yang terlibat begal di Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, pada 25 November 2022. Kasus lain di Bekasi, dua pelaku begal tewas seusai mencoba mencuri sepeda motor seorang warga di Kampung Kobak Rante, Desa Karangreja, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, pada 10 Januari 2023 siang. Kedua pelaku tewas di rumah sakit setelah dikeroyok warga.
Warga ingin menunjukkan bahwa dengan cara itu mereka bisa menghadapi ancaman begal. Upaya melindungi diri dan memproteksi lingkungan dianggap sebagai tindakan rasional.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, amukan masa terhadap pelaku begal hingga kejahatan jalanan lain dipengaruhi beragam faktor. Amukan warga dinilai sebagai bentuk pertahanan diri.
”Warga ingin menunjukkan bahwa dengan cara itu mereka bisa menghadapi ancaman begal. Upaya melindungi diri dan memproteksi lingkungan dianggap sebagai tindakan rasional,” kata Rakhmat.
Amukan warga dalam merespons kejahatan jalanan yang berulang juga dinilai sebagai akumulasi dari emosi warga yang kian memuncak. Warga semakin tertekan, terancam, hingga berujung pada kekecewaan lantaran kejahatan di jalanan tak kunjung berkurang.
”Ini ekspresi dari rasa frustrasi dan kemarahan publik. Kejahatan jalanan yang berulang jadi keresahan kita semua,” ucap Rakhmat (Kompas, 13/2/2022).