Kafe Terbuka, Oase Jakarta
Tren optimalisasi lahan hingga meredanya pandemi Covid-19 meningkatkan kebutuhan interaksi masyarakat di luar rumah. Sejumlah kafe terbuka kini menjadi oase di Ibu Kota.

Sejumlah pengunjung saat menikmati makanan dan minuman di halaman belakang Chillax Sudirman, Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Nongkrong dan makan di luar ruangan kembali menjadi fenomena di Jakarta. Tren optimalisasi lahan hingga meredanya pandemi Covid-19 meningkatkan kebutuhan interaksi masyarakat di luar rumah. Sejumlah kafe terbuka kini menjadi oase di Ibu Kota.
Deretan bangunan kafe dan restoran maksimal dua lantai dan beberapa kedai tampak mencolok di antara gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Bangunan berwarna pastel yang mengombinasikan gaya klasik dan minimalis menarik mata pengunjung tempat bernama Chillax, yang berlokasi di tengah kawasan bisnis Sudirman, tepatnya Setiabudi, Jakarta Selatan.
Kyla Zahra (21) sampai menyempatkan datang dari Depok, Jawa Barat. Di sana ia menjajal pengalaman alfresco dining atau makan di tempat terbuka seperti di kafe dan restoran ala Eropa. Dengan uang Rp 70.000 ia bisa menyicip kuliner istimewa. Memang cukup mahal untuk kantong anak muda, tetapi ia puas.
Di sana, ia bersama temannya juga menyempatkan diri berfoto di tiap sudut area dengan luas bangunan 5.000 meter persegi itu. Area lorong utama Chillax menjadi spot foto favoritnya. Tiga jam hanya untuk makan dan membuat konten media sosial pun tidak berasa lama.
"Tempatnya menarik di tengah kota dengan pemandangan gedung-gedung tinggi. Awalnya, saya kira areanya luas karena melihat di media sosial, ternyata tidak. Tapi seru dan tidak mengecewakan. Rencananya akan balik lagi ke sini," kata Kyla yang pertama kali datang ke situ, Sabtu (11/2/2023).

Lorong utama Chillax Sudirman, Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Area yang diresmikan sejak awal Desember 2022 itu cukup mudah diakses dengan transportasi publik. Kyla datang menggunakan MRT dan turun di Stasiun MRT Setiabudi. Selain MRT, akses ke tempat tersebut juga dapat menggunakan Transjakarta, turun di Halte Karet.
Seorang karyawan yang kantornya yang tidak jauh dari Chillax seperti Nurul (42) mengutarakan, tempat itu menjadi pilihan untuk makan saat jam istirahat. Tempatnya yang terbuka, cocok untuk melepas penat saat kerjaan menumpuk di kantor.
"Alternatif makanan di sini lumayan banyak dan jarang ditemui di mal. Cocok untuk berkumpul bersama teman-teman. Namun, tidak cocok untuk rapat yang sifatnya serius karena tempatnya berisik," katanya.
Saat jam makan siang hingga sore hari, Chillax memang ramai dikunjungi pegawai kantor sekitaran Jalan Sudirman-Thamrin. Tempat itu akan semakin ramai dikunjungi saat malam hari. Bahkan saat akhir pekan, lebih dari 6.000 orang per harinya berkunjung ke situ.
Baca juga : Gedung Tinggi Versus Punggung Jenderal Sudirman
Direktur Chillax Jane Kenny mengatakan, awalnya Chillax dirancang untuk gedung perkantoran. Namun, karena sektor properti sedang lesu, perusahaan pengembang Keppel Land dan InHype Group bekerja sama dan membangun konsep kafe ruang terbuka.
“Kami sadar kalau dibuat tertutup seperti mal kompetitornya sudah terlalu banyak. Ruang terbuka seperti ini, selain dibutuhkan, memang belum ada di Jakarta Selatan. Chillax itu chill and relax. Kalau ke mal relax, tapi tidak dapat chill-nya. Di sini didukung oleh suasananya,” tutur Jane.

Orang saat melintas di depan tulisan Chillax, Jalan Sudirman Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Tak butuh waktu lama untuk mempromosikan Chillax ke penyewa. Saat ini, tempat itu sudah terisi penuh dengan 26 gerai. Mayoritas dari mereka tidak memiliki cabang di pusat perbelanjaan. Ini yang menjadi nilai tawar Chillax.
“Ini yang membuat orang penasaran untuk mencoba. Ada beberapa merek yang kami cari. Ada juga tenant yang ingin bergabung, tetapi tetap kami saring,” katanya.
Untuk meningkatkan jumlah pengunjung, Chillax memiliki beberapa acara rutin setiap satu kali dalam seminggu. Ada pertunjukan komedi dan panggung musik. Selain itu, aula serba guna dengan luas 500 meter persegi juga diadakan kegiatan setiap minggunya seperti bazaar.
Tempat seperti ini kalau bisa lebih diperbanyak lagi. Selama pandemi saya memang lebih sering mengunjungi ruang terbuka yang ada tempat bermainnya dan mulai meninggalkan mal
Berjarak 5 kilometer dari Chillax, One Satrio di Jalan Mega Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, juga menawarkan konsep ruang terbuka dan berbagai macam gerai kuliner kekinian dengan harga menengah. Pengunjung dapat secara gratis memanfaatkan tempat itu untuk merasakan suasana berbeda di tengah hiruk pikuk Jakarta.
Area seluas 3,6 hektar itu dikelilingi gedung-gedung perkantoran dan mal-mal besar Ibu Kota. Berjarak 1-3 kilometer dari tempat tersebut terdapat Mal Ambasador, Lotte Shopping Avenue, Kuningan City, ITC Kuningan, dan Plaza Festival. One Satrio dibuka untuk umum pada pukul 08.00 - 22.00.

Seorang anak saat bermain di taman One Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (11/2/2023)
Selain untuk makan ataupun minum, pengunjung juga senang berswafoto di instalasi yang desainnya Instagramable. Ada juga yang mengajak bermain hewan peliharaannya, menikmati tempat bermain anak, ataupun sekadar santai menikmati ruang terbuka hijau.
Tempat ini pun menjadi favorit keluarga, seperti Utari Diah (31), warga Kalibata, Jakarta Selatan. Ia datang membawa anaknya pada hari kerja karena akhir pekan dinilai terlalu ramai.
”Tempat seperti ini kalau bisa lebih diperbanyak lagi. Selama pandemi saya memang lebih sering mengunjungi ruang terbuka yang ada tempat bermainnya dan mulai meninggalkan mal,” ujarnya.
Senada, Angela (32), warga Cawang, Jakarta Timur, menilai, tempat tersebut lebih menarik daripada mal yang kurang paparan sinar matahari. ”Area bermainnya bagus dan gratis. Kalau lapar bisa langsung cari gerai makan sekitar sini,” katanya.
Baca juga : Integrasi dan Kesetaraan Layanan Ungkit Gaya Hidup Berangkutan Umum

Sejumlah anak saat bermain di salah satu fasilitas arena bermain One Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (11/2/2023)
Optimalisasi lahan
Deputy General Manager PT Jakarta Setiabudi Internasional Risnanty K Putri mengungkapkan, lahan tempat berdirinya One Satrio awalnya akan digunakan untuk membangun perkantoran, apartemen, hotel, dan ritel. Namun, pandemi menunda pembangunannya.
”Kondisi Covid-19 menunjang untuk membuka ruang terbuka hijau. Menurut rencana memang dibuka bukan untuk bangunan yang besar seperti mal, tetapi ritel yang lebih kecil. Dibuat dengan dominan ruang terbuka sambil menunggu serta melihat tren ekonomi dan permintaannya seperti apa,” kata Risnanty, Januari 2023.
Area yang diresmikan pada Desember 2022 itu dikonsepkan untuk memfasilitasi ruang komunitas. Berbagai macam fasilitas disediakan, seperti jogging track, pet park, dua arena bermain anak, Wi-Fi gratis, dan tempat sampah berkelanjutan.
”Kami mau menjadikan One Satrio sebagai rumah para komunitas. Kami mengupayakan menyediakan berbagai fasilitas, yang berbayar hanya shower room dan loker untuk pesepeda. Jadi, bisa titip sepeda, mandi, langsung berangkat kerja,” ucapnya.
Pengalaman serupa juga ditawarkan Urban Forest Cipete, Jakarta Selatan. Area seluas 1,7 hektar yang dikonsepkan sebagai hutan kota juga dibuka untuk komersial. Dibuka sejak 3 September 2022 itu dapat dikunjungi secara gratis. Di sana terdapat beberapa gerai kuliner dan area bermain anak berbayar.
Pihak manajemen operasional Urban Forest Cipete menyebutkan, tempat mereka memang untuk kepentingan komersial. ”Bangunan awal dari kami, bagi hasil selama masa kontrak tergantung kerja sama. Minimal 3-5 tahun,” ucap anggota staf manajemen operasional Urban Forest Cipete yang enggan disebut namanya.

Lorong utama Chillax Sudirman, Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Urban Forest Cipete dibangun karena kebutuhan akan ruang terbuka meningkat pacapandemi. Area yang hanya berjarak 2 kilometer dari Stasiun MRT Cipete Raya itu kini masih dalam tahap pembangunan. Beberapa pekerja ada yang masih membetulkan jalan dan rumput. Ke depannya, tempat ini diharapkan jadi alternatif relaksasi warga Jakarta.
Daripada tersiksa menempuh perjalanan pulang yang melelahkan, mending kongko, healing, menikmati suasana, melepas kejenuhan di ruang terbuka (Yayat Supriyatna)
Pengamat properti, Arief Raharjo, menilai tren penggunaan lahan untuk area komersil sudah menjadi tren sejak sebelum pandemi. Contohnya pengalihan gedung tua menjadi tempat nongkrong yang kini populer di Jakarta, seperti aset milik Peruri yang diubah menjadi Mbloc dan Gedung Filateli yang menjadi Posbloc. Ini didorong kondisi penyediaan perkantoran yang berlebih dan permintaan akan ruang perkantoran dan apartemen jual yang mulai menurun.
"Pengembang pun mencari tipe konsep pengembangan sementara untuk mengoptimalisasi lahan yang belum bisa termanfaatkan secara optimal. Solusi seperti dibangunnya Chillax atau Urban Forest menjadi upaya untuk mengaktivasi lahan agar lebih fungsional," jelasnya.
Hal ini kebetulan sejalan dengan tren belanja masyarakat selama dan setelah pandemi, yaitu mencari pengalaman makan di ruang terbuka. "Sudah tentu dengan pemilihan konsep dan tipe tenant F&B yang baik, seperti konsep kafe, grab and go, maupun restoran terbuka dapat menarik pengunjung," imbuh Arief.
Kebutuhan baru
Pengamat konsumerisme, Idi Subandy Ibrahim, melihat bahwa tren di masyarakat hari ini belum lepas dari pengaruh pembatasan aktivitas selama dua tahun akibat pandemi Covid-19. Kerinduan masyarakat akan interaksi langsung dengan lingkungan dan manusia pun mendukung penyediaan ruang publik seperti itu.
"Itu tidak terlepas dari kerinduan akan ruang tatap muka, warga perlu saling bertemu walaupun tidak mengobrol. Ada kebutuhan bahwa orang harus hadir secara riil dalam dunia nyata, tidak hanya di dunia maya," kata Idi.
Tren ini, menurutnya, juga tidak lepas dari fenomena perkotaan yang terbatas ruang publik atau ruang hijaunya. Kehadiran ruang terbuka baru oleh swasta ini bisa menjadi ruang baru untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki komunitas perkotaan.

Warga mengisi akhir pekannya dengan berwisata di ruang terbuka hijau (RTH) Taman Langsat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (25/9/2022).
Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai, antusiasme masyarakat mengunjungi ruang terbuka baru yang dikelola swasta menunjukkan ruang publik yang dikelola pemerintah tidak lebih menarik.
"Tempat ruang terbuka yang enggak ada unsur bisnis atau ada daya tarik, malas orang datang. Orang itu mau datang karena ada daya tarik, selain rekreatif, ada kuliner, tempat pertemuan atau kongko-kongko," ujarnya yang dihubungi terpisah.
Ruang terbuka yang semakin diminati, juga menjawab kegelisahan warga Jakarta yang biasa hidup dalam ruang-ruang sempit nan sesak. Suasana ini dirasakan mayoritas warga, dari dalam rumah, transportasi, ruang aktivitas bekerja di kantor, sampai pusat belanja atau tempat makan dalam ruangan. Pada akhirnya, warga membutuhkan ruang terbuka untuk berkontemplasi, berinteraksi, hingga berinteraksi.
"Tingkat kejenuhan warga Jakarta sudah tinggi di mana-mana. Sekarang kita merasakan macet makin parah dan orang butuh waktu beberapa jam untuk pulang ke rumah. Daripada tersiksa menempuh perjalanan pulang yang melelahkan, mending kongko, healing, menikmati suasana, melepas kejenuhan di ruang terbuka," kata Yayat.
Baca juga : ”Citayam Fashion Week”, Kembalinya Kota untuk Warga