Integrasi dan Kesetaraan Layanan Ungkit Gaya Hidup Berangkutan Umum
Kemacetan di Jakarta kembali meningkat. Salah satu solusi atasi macet, masyarakat perlu didorong menggunakan angkutan umum dalam kegiataan sehari-hari. Untuk itu, perlu layanan angkutan umum yang setara dan terintegrasi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat pandemi Covid-19 mulai melandai, kemacetan di Jakarta semakin meningkat sehingga Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek terus mendorong warga menggunakan angkutan umum. Untuk menjadikan angkutan umum sebagai gaya hidup, diperlukan kesetaraan layanan. Pengamat menilai itu harus dikerjakan melalui integrasi antarmoda angkutan umum serta kebijakan yang membuat warga tertarik memakai transportasi publik.
Direktur Angkutan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Tatan Rustandi, Rabu (15/2/2023), dalam bincang-bincang bagian dari kampanye Jalan Hijau BPTJ bersama Radio Sonora bertajuk ”Capek Kan Bawa Kendaraan Sendiri! Kuy, Mending Naik Transports Umum Aja” menjelaskan, guna mengatasi kemacetan, warga harus didorong beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Agar masyarakat mau menggunakan angkutan umum dan menjadikan angkutan umum sebagai gaya hidup, perlu ada pembenahan angkutan umum dan sistem angkutan umum.
DKI Jakarta, disebut Tatan, sudah melakukan pembenahan. Di Jakarta sekarang sudah beroperasi MRT dan Transjakarta dengan standar layanan yang luar biasa.
Saat Jakarta sudah melakukan pembenahan layanan dan sistem transportasi secara luar biasa, menurut Tatan, harus diikuti dengan kesetaraan standar layanan yang sama di wilayah sekitar Jakarta. ”Kesetaraan layanan tidak hanya di Jakarta, tetapi di Jabodetabek,” kata Tatan.
Untuk itu, layanan angkutan seperti Transjakarta harus dibangun di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Di Bodetabek, saat ini sistem layanan angkutan setara Transjakarta yang dibangun baru di Bogor. Kementerian Perhubungan menginisiasi dengan membangun layanan angkutan buy the service (BTS) Bus Kita di Bogor.
Sistem transportasi yang dibuat modern juga nyaman, tepat waktu, dan tentu berkeselamatan, lanjut Tatan, akan mengubah peradaban masyarakat bagaimana berperilaku dalam kegiatan sehari-hari. Apabila saat masih menggunakan angkutan kota masyarakat membuang sampah sembarangan, begitu naik Bus Kita, Transjakarta, dan MRT, masyarakat menjadi jauh lebih beradab, lebih bagus.
Selain itu, pembenahan untuk membentuk kemudahan terhadap angkutan umum juga harus diciptakan. ”Tanpa didukung sistem transpor yang baik di sekitarnya, kemacetan tetap akan terjadi,” kata Tatan.
Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna, yang hadir dalam diskusi tersebut juga menyatakan adanya kemacetan di mana-mana saat ini ketika pandemi mulai melandai. Itu menunjukkan ada persoalan dengan tata kelola manajemen transportasi umum.
Dari 35.000 pelanggaran setiap hari yang terekam dari 58 kamera CCTV kepolisian, yang disurati hanya 700. Artinya penegakan hukum kurang.
Yayat mencontohkan, ketika seorang warga naik MRT atau kereta komuter, warga itu akan mendapatkan kepastian waktu kedatangan dan headway yang jelas. Namun, begitu naik Transjakarta, warga tidak mendapati adanya kepastian waktu.
”Jadi, kalau menurut saya, integrasi secara kelembagaan itu penting. Karena ujungnya apa? Integrasi kepada tarif, integrasi antarmoda, integrasi pengaturan jadwal waktu,” kata Yayat.
Yayat yang sudah lebih dari 30 tahun menggunakan angkutan umum kereta komuter menyatakan, ia mau menggunakan angkutan umum, selain karena komitmen, juga karena ada jaminan ketepatan waktu. Jika menggunakan kendaraan pribadi dan melewati jalan tol, ia tidak yakin dengan perhitungan waktu perjalanan karena kemacetan jauh lebih tidak bisa diprediksi daripada gangguan layanan angkutan umum.
Menurut Yayat, hal lain yang mendorong orang mau pindah dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum adalah bagaimana trust atau kepercayaan dibangun, yaitu kalau berpindah ke angkutan umum, penumpang benar-benar dimanusiakan.
Persoalan lain yang mesti dibenahi untuk mengendalikan kemacetan adalah persoalan tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (ETLE). Saat ini, berdasarakan penerapan, tilang ETLE tidak efektif.
”Saya menyatakan itu karena dari 35.000 pelanggaran setiap hari yang terekam dari 58 kamera CCTV kepolisian, yang disurati hanya 700. Artinya penegakan hukum kurang,” ujar Yayat.
Ia meminta supaya tilang ETLE dilakukan dengan sanksi yang tegas, yang besar. ”Lalu, bagaimana dengan persoalan supaya orang mau berpindah? Adakan integrasi, penguatan kelembagaan. Sinergikan Jabodetabek ini dalam satu sistem yang sama,” kata Yayat.