Meikarta, Impian Kota Mandiri, dan Cecar Wakil Rakyat
Gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan pengelola Meikarta kepada konsumennya akhirnya dicabut. Konsumen menyambut baik pencabutan gugatan itu dan berharap pengembang segera mengembalikan uang mereka.
Konsep kota mandiri kelas dunia yang digagas Meikarta pada 2017 kini berada di persimpangan jalan. Jumlah unit terjual hingga luas lahan berubah, sebagian konsumen merasa ditipu. Perlawanan Meikarta di awal 2023 dengan mengggugat 18 pembelinya ke meja hijau pun akhirnya dicabut.
Pembangunan Meikarta pada 2017 digagas dengan luar biasa. Ide kota mandiri kelas dunia itu, letaknya strategis. Berada di jantung ekonomi Indonesia, koridor Jakarta-Bandung, Meikarta disebut akan menjadi kota metropolitan luar biasa, benchmark untuk Asia Tenggara.
Semua bangunan di kota mandiri itu desainnya tak monoton. Inspirasi desain modern itu datang dari bangunan model Amerika Serikat, Eropa, Asia dengan tujuan menghasilkan streetscape atau representasi visual ruang jalanyang indah.
Adapun terkait hunian, Meikarta menawarkan hunian apartemen beragam tipe, mulai dari tipe studio hingga empat kamar tidur. Desain setiap tower apartemen pun berbeda-beda dengan menitikberatkan desain per lantai menyerupai bunga.
Baca juga: Tak Kunjung Serah Terima Unit, Sebagian Pembeli Apartemen Meikarta Tuntut Pengembalian Uang
Saat acara Grand Launching Meikarta di Maxxbox Orange County, Lippo Cikarang, 17 Agustus 2017, disebutkan kalau tahap pertama pembangunan dibuka lahan seluas 500 hektar. Ratusan hektar lahan itu mampu menampung 22 juta meter persegi bangunan. Animo masyarakat saat itu untuk memiliki hunian di Meikarta sangat tinggi. Pada saat grand launching, jumlah unit yang dipesan diklaim telah mencapai 93.000 unit (Kompas.id, 19/8/2017).
Pembangunan kota mandiri kelas dunia yang digagas Meikarta berakhir mencemaskan konsumen sejak Maret 2018. Proyek Meikarta yang pembangunannya masif selama 7 bulan atau dari Agustus 2017 itu tiba-tiba terhenti pada Maret 2018.
Terhentinya pembangunan Meikarta berbuntut panjang dan berbuah korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Oktober 2018 menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin bersama tiga kepala dinas dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro sebagai tersangka suap perizinan pembangunan Meikarta yang berawal dari operasi tangkap tangan pada 14 Oktober 2018.
Cecar wakil rakyat
Rencana pembangunan kota mandiri hingga penyebab mangkraknya pembangunan Meikarta akhirnya tergambar saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara sejumlah pemimpin Lippo Grup dan Komisi VI DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin (13/2/2023).
Selama RDPU yang berlangsung sekitar dua jam, sejumlah anggota Komisi VI DPR berulang kali mencecar petinggi PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) dan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) terkait polemik Meikarta.
Presiden Direktur PT LPCK Ketut Budi Wijaya mengatakan, PT MSU, anak usaha PT LPCK, sebenarnya dihukum melalui keputusan pengadilan. Dalam putusan pengadilan Nomor 328/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jakarta Pusat, pada 18 Desember 2020, PT MSU dihukum untuk menyelesaikan dan menyerahkan semua unit apartemen yang dipesan konsumen dengan batasan waktu paling lambat 2027.
”Pernah disampaikan ada pesanan mencapai 100.000 unit. Tetapi, sebetulnya setelah kami telusuri, terakhir itu totalnya 18.000 unit,” kata Ketut, dikutip dari Youtube TVP Parlemen.
Jumlah pemesanan yang membengkak mencapai ratusan ribu unit terjadi karena pihak yang mengelola proyek Meikarta awalnya merupakan konsorsium asing dari China. Konsorsium yang terlibat dalam proyek Meikarta disebut sekitar 10 konsorsium. Namun, para konsorsium asing itu pada akhir 2018 meninggalkan proyek Meikarta.
Selama konsorsium mengelola proyek itu, pemesanan membengkak hingga mencapai ratusan unit karena dikelola oleh agen-agen properti yang direkrut konsorsium. Agen-agen tersebut menggelembungkan jumlah pemesanan demi mendapatkan komisi.
”Mereka (konsorsium) ini datang dengan broker. Mereka menawarkan untuk mengembangkan suatu kota dengan cepat. Perkembangan PT LPCK saat itu, kami membutuhkan bantuan,” kata Ketut.
Ketut saat dicecar sejumlah anggota Komisi VI DPR RI terkait alasan hilangnya para konsorsium itu tak mampu menjawab. PT LPCK yang menjalin kerja sama dengan berbagai konsorsium asing untuk membangun proyek Meikarta pun belum menempuh langka hukum untuk meminta pertanggungjawaban konsorsium asing yang menghilang sejak 2018.
Waktu itu, jualannya 500 hektar, akan dikembangkan menjadi 2.000 hektar. Faktanya sekarang, 84 hektar. Apakah mungkin 84 hektar itu (mampu) untuk 18.000 unit,
Fokus dari PT LPCK saat ini adalah menyelesaikan pembangunan Meikarta agar tak mangkrak. Keseriusan PT LPCK diwujudkan dengan memberi suntikan dana segar Rp 4,5 triliun kepada PT MSU selaku pengelola proyek Meikarta untuk menuntaskan pembangunan ribuan unit yang telah dipesan konsumen. PT LPCK memiliki tanggung jawab menyelesaikan proyek Meikarta lantaran 49 saham perusahaan PT MSU dikuasai PT LPCK.
Dalam RDPU itu pula, sejumlah anggota DPR RI Komisi VI mempertanyakan izin luas lahan yang telah dikantongi proyek Meikarta. Salah satu anggota DPR RI yang mempertanyakan izin lahan yang dimiliki PT LPCK adalah anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade.
”Waktu itu, jualannya 500 hektar, akan dikembangkan menjadi 2.000 hektar. Faktanya sekarang, 84 hektar. Apakah mungkin 84 hektar itu (mampu) untuk 18.000 unit,” kata Andre.
Kepastian luas lahan dan jumlah unit yang terbangun dibutuhkan demi memberikan kepastian kepada konsumen yang telah mencicil atau bahkan melunasi pembayaran unit apartemen. Sebab, mereka yang membeli apartemen di Meikarta rata-rata merupakan warga kelas menengah ke bawah. Warga kalangan ini terus mendesak dan menuntut Meikarta agar uang yang telah mereka keluarkan dikembalikan pengembang.
Gugatan dicabut
Tuntutan sejumlah konsumen Meikarta itu diinisiasi mereka yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM). Komunitas ini sejak 2022 terus bergerilya mendatangi sejumlah pihak, baik itu DPR maupun bank tempat konsumen membayar cicilan Meikarta.
Mereka bergerilya menuntut pengelola Meikarta mengembalikan uang yang telah dikeluarkan untuk membeli lunas atau mencicil apartemen. Para konsumen itu sudah tak tertarik memiliki hunian di Meikarta lantaran pengembang dinilai wanprestasi atau ingkar janji. Konsumen awalnya dijanjikan mendapat hunian pada 2019 hingga awal 2020.
Tuntutan para konsumen itu berakhir memilukan. Uang mereka tak kembali dan pembeli Meikarta justru digugat perdata oleh PT MSU ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. PT MSU dalam gugatannya menyebut 18 orang melakukan perbuatan melawan hukum atau mencemarkan nama baik perusahaan. Sebanyak 18 orang itu pun digugat membayar ganti rugi Rp 56 miliar.
Sidang perdana gugatan perbuatan melawan hukum yang dimulai di PN Jakbar pada 24 Januari 2023 akhirnya dicabut. Pencabutan gugatan itu disampaikan langsung Presiden Direktur PT LPCK Tbk Ketut Budi Wijaya saat RDPU pada Senin (13/2/2023).
Meski ada pernyataan dicabut, gugatan dengan nomor perkara 1194/Pdt.G/2022/PN Jkt.Brt itu masih terdaftar dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan (SIPP) PN Jakbar. Dalam SIPP PN Jakbar, perkara itu masih berstatus persidangan.
Baca juga: Meikarta Gugat Pembelinya atas Dugaan Pencemaran Nama Baik
Yulisar dari Humas PN Jakbar, saat dihubungi, Selasa (14/2/2023), mengatakan, gugatan oleh PT MSU masih terdaftar di SIPP PN Jakbar lantaran majelis hakim akan membacakan penetapan yang mengesahkan pencabutan gugatan tersebut. Penetapan pencabutan gugatan bakal digelar di ruang sidang.
Kuasa hukum PKPKM, Rudy A Siahaan, mengatakan, sidang pencabutan gugatan akan digelar pada 28 Februari 2023. Pencabutan gugatan oleh PT MSU disebut sebagai kabar baik.
”Kami juga berharap (PT MSU) segera mengembalikan dana yang telah konsumen setor selama ini. Dana dari anggota PPKM itu Rp 30 miliar dari total 130 anggota,” kata Rudi.