Kisah 1.081 Perjalanan Kereta Komuter dan Stasiun Manggarai
Kepadatan penumpang KRL di Stasiun Manggarai merupakan satu dari rangkaian asam garam keseharian komuter. Sebagian punya taktik agar lolos dari kepadatan, ada yang terbiasa, dan sisanya beralih moda transportasi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Tiang beton menghambat derap langkah pelaju di peron jalur 6 dan 7 sudah jadi keseharian Dwi (25). Terutama semenjak pergantian atau peralihan sistem persinyalan, operasional, atau pelayanan untuk meningkatkan penggunaan kereta api (switch over/SO) kelima di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan.
Pekerja kantoran di Setiabudi ini tak memilih alternatif transportasi publik lain sebab jika turun di Stasiun Tebet, dia akan langsung berhadapan dengan kemacetan lalu lintas di Jalan Prof DR Satrio, Jakarta Selatan.
”Mau enggak mau tetap transit di Manggarai. Macet bikin tua di jalan. Jadi, harus hati-hati supaya enggak terjepit atau jatuh ke rel,” katanya sembari berseloroh seusai berdesak-desakan di Stasiun Manggarai, Kamis (9/2/2023).
Saban hari Dwi berangkat dari Stasiun Citayam di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pukul 07.30 dan kembali dari Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, pukul 18.00. Waktu kepulangan harus tepat agar tak kemalaman di jalan.
”Meleset beberapa menit bikin kemalaman. Jarak tunggu (kereta) paling cepat 10 menit dan siap desak-desakan lagi,” ujarnya.
Kepadatan penumpang menjadi pemandangan harian di Stasiun Manggarai, yang dalam proses akhir pembangunan dan penataan sebagai stasiun sentral di Ibu Kota. Penataan SO kelima sejak pertengahan 2022 ini membuat jalur 1 dan jalur 2 hanya melayani kereta api jarak jauh dan jalur 3 dinonaktifkan.
Layanan PT Kereta Commuter Indonesia pun disesuaikan, yakni lintas Bekasi/Cikarang Line ada di jalur 6 dan jalur 7. Sementara layanan lintas Bogor Line ada di jalur 10, jalur 11, jalur 12, dan jalur 13.
Gerbongnya belum terlalu padat, tetapi beberapa kali betul-betul penuh seperti dulu sebelum pandemi Covid-19. Memang sudah jadi risiko berdesakan di dalam kereta
Kepadatan penumpang di stasiun dan kereta sudah lumrah bagi Dimas Ignatius (37). Karyawan swasta yang berangkat dari Stasiun Bojonggede, Bogor, ke Stasiun Juanda , Jakarta Pusat, ini menyesuaikan waktu dengan berangkat pukul 04.45 dan langsung pulang ke rumah pukul 15.02, kecuali ada keperluan lain.
”Gerbongnya belum terlalu padat, tetapi beberapa kali betul-betul penuh seperti dulu sebelum pandemi Covid-19. Memang sudah jadi risiko berdesakan di dalam kereta,” kata Dimas.
Dalam laman resminya, PT Kereta Commuter Indonesia mengoperasikan 1.081 perjalanan kereta komuter di Jabodetabek mulai pukul 04.00 hingga pukul 24.00 setiap harinya. Perjalanan sebanyak itu mengangkut 22,7 juta orang sepanjang Januari 2023.
Rata-rata jumlah penumpang setiap Senin mencapai 762.769 orang. Volumenya lebih tinggi 35 persen ketimbang penumpang pada akhir pekan sebesar 563.834 orang per hari.
Pindah moda
Sisi lain dari kepadatan penumpang kereta komuter membuat sebagian orang pindah moda transportasi publik. Mereka beralih ke angkutan umum lain ataupun kembali mengandalkan kendaraan pribadi.
Eva (24) awalnya rutin berangkat bekerja menggunakan kereta komuter dari Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, ke Stasiun Sudirman. Ia berangkat dari rumah pukul 05.30, tetapi kerap terlambat sampai kantor karena harus transit.
”Masuk jam 08.00, tapi keretanya hoki-hokian. Kadang tunggu lama, kadang cepat. Itu pun juga harus bertarung sama lautan manusia, sampai kantor sudah kusut,” ucap Eva.
Semenjak bermukim di Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat, ia beralih dari kereta komuter ke bus Jabodetabek Residence Connexion milik Perusahaan Umum (Perum) Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD). Bus melayani rute Grandhika City Lifestyle ke Plaza Senayan, Jakarta Pusat.
”Kalau berangkat jam 7.00 sampai kantor jam 7.48. Harganya Rp 25.000. Semua penumpang duduk,” katanya.
Pilihan berbeda diambil Budi (42). Warga Tambun, Bekasi, ini rutin mengendarai sepeda motor atau menyetir mobil ke kantor di Jakarta seiring pandemi Covid-19. Sempat terpikirkan untuk kembali ke kereta komuter, tetapi urung karena kepadatan di stasiun.
”Pendemi belum usai dan aku lihat repot (padat) di Manggarai. Kalau kendaraan pribadi, istri dan anak bisa berangkat bareng, sekali jalan,” ucap Budi sambil tertawa.
Ia bakal kembali ke angkutan umum apabila kepadatan mulai terurai. Begitu pun saat Light Rail Transit (LRT) Jabodebek sudah beroperasi.
Peron sempit
Kereta Commuter Indonesia mendata persebaran komuter pada hari kerja masih terfokus pada jam sibuk, yakni pukul 05.30 sampai pukul 07.30 dan pukul 16.00 hingga pukuk 18.00. Manajemen juga mengoperasikan kereta komuter pengumpan (feeder) tambahan relasi Manggarai–Angke/Kampung Bandan pergi pulang dan Manggarai–Bekasi pergi pulang pada jam sibuk.
Sebanyak 31 perjalanan per hari dengan waktu tunggu 15-30 menit diharapkan dapat mengurai kepadatan. Namun, upaya itu harus didukung peningkatan akses stasiun agar perpindahan penumpang lancar.
Tak hanya megah, tapi fungsinya (tidak optimal). Hitung puluhan tahun ke depan. Jangan sampai penumpang jatuh di peron, tertemper (tertabrak) kereta, bahayakan keselamatan, dan perjalanan
Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Aditya Dwi Laksana menyebutkan, perubahan pola operasi setelah SO kelima dan transit sebetulnya bukan masalah selama infrastruktur memadai. Akan tetapi, kondisi peron jalur 6 dan 7 jalur yang sempit dengan tiang beton di tengahnya membuat mobilitas penumpang terbatas. Bahkan, akses naik-turun penumpang untuk berpindah jalur menjadi sangat terbatas.
”Jadinya padat saat tiga jurusan kereta masuk bersamaan. Frekuensi perjalanan juga belum seimbang antara jalur Bogor dan Bekasi. Harus duduk bersama bahas kendala dan penyesuaian sebelum rampungnya pembangunan sebagai stasiun sentral,” ucap Aditya, Kamis sore.
Selain kereta komuter pengumpan tambahan, Aditya menyarankan peron diperluas bertahap dan akses naik-turun penumpang ditambah. Semuanya mempertimbangkan pertumbuhan pengguna, frekuensi perjalanan, dan kapasitasnya.
”Tak hanya megah, tapi fungsinya (tidak optimal). Hitung puluhan tahun ke depan. Jangan sampai penumpang jatuh di peron, tertemper (tertabrak) kereta, bahayakan keselamatan, dan perjalanan,” ujarnya.
Pada akhirnya, Aditya berharap seluruh kawasan Stasiun Manggarai benar-benar memadai sebagai stasiun sentral jaringan kereta komuter di Jakarta. Sarana dan prasarana di dalamnya mendukung naik-turun ratusan ribu penumpang dan bagian luar punya akses jalan yang cukup, jalur pedestrian, parkir memadai, dan arena perpindahan antarmoda, serta area komersial.